Sebuah Peristiwa di kadang ayam.
Di sebuah kadang
hiduplah seekor anak
ayam betina. Tumbuhlah ayam
itu hingga dewasa dan siap bertelur. Kemudian pemilik ayam membuatkan sarang
untuknya, dan tentu saja ada saja ayam jago yang datang menemani si ayam betina
setiap harinya. Hingga suatu peristiwa itu terjadi, si jago membuahi ayam
betina. Si ayam betina merasa mulas-mulas tanda ada telur yang siap keluar,
kemudian ia siap-siap bertelur di sarang
yang sudah disiapkan. Cukup lama si
ayam betina di sarang, kemudian terdengar bunyi ‘petok-petok’ cukup keras dari
si ayam betina. “Entah ia bahagia, kemudian ia bersyukur dan ingin memberi
tahukan ke pemiliknya, atau ia kaget ada telur keluar dari kloakanya.”
Mungkin karena
risih dan berisik, Pemilik ayam tersebut komentar dengan cukup keras. “Heh!!
Lek wes metu, yo uwes, meneng! Ojo rame ae!” Hahaha, ada-ada saja pemilik ayam
itu. Tapi tetap saja si ayam petok-petok sampai berhenti dengan sendirinya.
Mungkin sudah puas atau sudah cukup hitungannya.
Hari berganti,
waktupun berlalu, dimana setiap hari ayam betina itu terus bertelur, juga ‘petok-petok’
setiap selesai bertelur. Pemilik ayam juga sudah tidak lagi berkomentar. Mungkin
sudah terbiasa mendengar ayamnya petok-petok setiap hari. Setelah semua telur
yang dikandung si ayam betina telah dikeluarkan dan ia memutuskan untuk
mengerami telur-telurnya itu. Si ayam betina mengerami telurnya dengan berdiam
diri di sarangnya, tidak mengeluarkan suara, tidak makan, dan hanya diam saja.
Hal itu dilakukan setiap hari, dan Si ayam hanya sehari sekali turun sebentar
untuk makan sekedarnya saja, hanya cukup untuk menyambung hidupnya saja.
Kemudian ia melanjutkan lagi aktivitasnya mengerami telur-telurnya.
Itulah peristiwa
yang terjadi di sebuah kandang ayam. Hanya itu dan tidak ada yang istimewa di
peristiwa tersebut. Hanya ayam yang bertelur kemudian mengerami telur-telurnya.
Sudah, ya itu saja. Bagaimana jika kita mencoba membuka cakrawala wawasan yang lebih luas?
Kita coba melihat pesan yang ada dibalik induk ayam dan telurnya. Ayo kamu
ikuti aku dalam petualangan wawasan.
Kita mulai
petualangan kita mulai dari telur. Telur bentuknya bulat, dan statusnya mati. Telur adalah benda mati karena telur tidak bisa bergerak, bernapas,
tidak tumbuh, dan sebagainya. Tidak ada tanda-tanda mahluk hidup pada telur.
Maka ketika si ayam betina bersuara petok-petok setelah bertelur, telurnya
tetap diam saja. Itulah telur, fisiknya tertutup cangkang, sifatnya mati, maka
tidak akan merespon apapun rangsang dari luar. Ia (telur) hanya akan bereaksi
sendiri ketika induk ayam mulai mengeraminya.
Mari kita lihat
diri kita, adakah fase telur ada dalam diri kita? Maksudnya adalah keadaan
dimana diri kita tidak menerima seruan, menolak saran, mengabaikan masukan,
marah pada kritik. Kita memang status adalah mahluk hidup, mahluk maksudnya
ciptaan. Ciptaan karena kita hanya mendapati / menemukan diri kita tiba-tiba
ada di dunia ini. Kita tidak pernah merencanakan siapa bapak kita, kita tidak
pernah bisa memilih terlahir dari ibu yang mana. Kita semua hanya menemukan
diri kita tiba-tiba sudah ada di dunia, kemudian sering berjalannya waktu kita
belajar mencoba mengendalikan badan ini dengan semua anggota badannya. Seiring
mahirnya kita mengendalikan badan ini, kita mulai mengaku-aku tangan ini tangan
kita, kaki ini kaki kita, mata ini mata kita, mulut ini mulut kita. Semakin
kita tumbuh, semakin banyak yang kita akui milik kita, pakaian ini pakaian
kita, rumah ini rumah kita, tanah ini tanah kita, negeri ini negeri kita.
Semakin jauh kita melangkah semakin banyak yang kita aku-aku sebagai milik
kita.
Ingatlah kawan,
kita yang menemukan diri kita tiba-tiba hidup tanpa pernah merencanakannya,
maka ada Sang Pengedali sesungguhnya terhadap diri kita dan jagat raya ini.
Ingatlah kawan status kita hanyalah mahluk hidup, mahluk yang artinya ciptaan maka butuh adanya Sang Pencipta
untuk bisa ada. Ya, Pencipta benar adanya, semua hal disekitar kita ini nyata
adanya begitu pula dengan Sang Pencipta itu benar-benar Wujud nyata adanya. Kita yang menemukan diri kita tiba-tiba sudah
hidup, maka fase yang kita lalui sebelum ini adalah mati. Siapakah yang mampu
memberikan kehidupan kepada kita? Dialah Sang Pencipta, Sang Maha Hidup,
dariNya semua kehidupan di dunia ini berasal. Maka semua kehidupan yang kita
jalani ini pasti akan kembali kepada Sang Pemberi Kehidupan, Dialah Sang
Pencipta, Dialah Tuhan. Masihkah kita ingkar akan adanya Tuhan?
Kawan, sebagai
manusia kita tentu berbeda dengan ayam. Perbedaannya adalah kita diberi akal
oleh sang pencipta, sedangkan ayam tidak, yang artinya ayam menjalankan
hidupnya otomatis tanpa diberikan kesadaran, tanpa berfikir, tanpa akal dan
mengakali. Manusia berbeda, dia dibekali kesadaran, diberikan akal, dan bebas
menentukan pilihan, bebas menolak, bebas menerima. Dalam arti lain manusia
melewati dua kali fase tertutup / tercangkang / kafir / cover, dan dua kali
fase hidup / terbuka / terlahir selama di dunia ini. Karena sebab akal itu tadi,
maka ada dua fase tersebut.
Fase tertutup / mati pertama
Fase tertutup
pertama manusia atau fase mati, fase tercangkang, fase kafir, fase cover adalah
ketika manusia belum menjadi sesuatu, masih dalam bentuk zygot atau sel telur
atau masih sekedar sari-pati makanan. Dimana di fase ini manusia masih bagian
benda mati, zat mati yang artinya ia tidak menerima rangsang, tidak mendengar
seruan, bergeraknya karena digerakan oleh rangsangan dari luar. Fase ini terus
berkembang sampai memasuki fase hidup, tetapi tetap terkurung / tertutup dalam
Rahim ibunya. Tentu saja fase ini tidak pernah terasa bagi kita, karena pada
fase itu kita statusnya masih mati, dan kita tidak mengingat sesuatu apapun
dalam fase ini. Walaupun ada penelitian kita bisa menerima rangsang ketika
distimulus oleh ibu saat dalam kandungan pada usia kandungan tertentu. Tetap saja hasil penelitian itu bukanlah kebenaran
mutlak, tapi juga tidak sepenuhnya salah. Masih diantara bisa iya benar, bisa
juga tidak. Kemudian ketika kita terlahir maka kita telah memaksuki fase hidup
pertama.
Fase hidup pertama
Fase hidup pertama
adalah ketika terlahir sebagai anak dari ibu dan bapak kita. Ya kita telah
terlahir dan hidup, kita sudah bisa menerima rangsangan dari luar, kita sudah
merespon rangsangan itu, kita mulai menjawab seruan / panggilan dari ibu dan
bapak kita. Ketika kamu membaca artikel ini bisa dipastikan kamu sudah ada pada
fase hidup pertama ini. Dalam fase ini kita melakukan semua ciri-ciri aktivitas
hidup. kita bernapas, kita makan, kita minum, kita bergerak, kita tumbuh dan
berkembang. Semakin tumbuh besar badan kita, kita juga mulai tertarik dengan
lawan jenis yang artinya ada naluri untuk mempertahankan kelangsungan hidup
dengan menurunkan keturunan baru. Tetapi pada saat yang bersamaan kita juga
telah memasuk fase tertutup / terkurung / mati / kafir / cover kedua.
Fase tertutup / mati kedua
Setelah Fase hidup
yang pertama, kita juga telah memasuki fase tertutup / mati yang kedua dikarenakan
akal kita. Memang kita telah hidup, tapi pada kenyataanya hidup kita masih
terkurung / tertutup / tercangkang dalam kolong langit. Kita juga masih
terkurung dalam jagat raya yang artinya dalam fase hidup pertama ini kita juga
terkurung / tertutup / kafir / cover yang berlapis-lapis. Belum lagi kita juga
terkurung dalam jasad / badan kita. Badan kita dibekali oleh indra yang
kemampuannya terbatas. Jauhnya jangkakuan mata kita melihat terbatas, begitu
juga dekatnya juga terbatas. Besarnya ukuran benda yang kita lihat juga bisa
menjadi pembatas mata melihat, terlalu kecilnya ukuran sebuah benda juga tidak
bisa kita lihat. Sekalipun kita meretas batas-batas kemampuan indra kita,
tetapnya itu masih juga dalam batas-batas tertentu saja.
Secara akal kita
juga masih tertutup / mati, ketika kita yang mempercayai bahwa yang ada
hanyalah segala sesuatu yang bisa kita terima rangsangnya melalui semua indra
kita. Kita tidak bisa percaya jika sesuatu itu tidak kita saksikan sendiri
melalui indra kita. Secara pemikiran kita juga masih tertutup / mati / kafir,
jika hanya menganggap pemikiran / pendapat kitalah yang benar, sedangkan pendapat orang lain salah, atau kita menganggap jika
sesuatu itu tidak bisa diturunkan ciri-cirinya secara ilmiah maka itu salah dan
tidak patut untuk dipercayai. Kita juga masih kafir / tertutup / mati ketika belum bisa menerima pendapat
orang lain, kita belum bisa menerima
sudut pandang orang, kita belum bisa membebaskan akal kita dari cara berfikir
dalam batasan indra. Maka untuk hidup lagi dalam fase yang kedua kita harus
mulai membuka akal, mencoba melihat sesuatu lebih dari satu sisi, mengukur
dengan berbagai alat ukur, dan menerima pemikiran orang lain. Kita harus
membebaskan akal dari penjara / batasan indra, kita harus membebaskan akal
untuk berfikir jauh melebihi batasan jangkauan tangan dan kaki kita. Maka pada
saat itu kita ada dalam detik-detik memasuki fase hidup yang kedua. Pada fase
mati kedua ini adalah mati secara akal atau metafisika, jasad kita hidup selayaknya
mahluk hidup tapi secara akal / pemikiran kita masih mati belum terbuka. Fase
mati kedua ini adalah mati dalam jasad yang hidup. Kita hidup secara fisik,
hidup di derajat satu, tapi kita masih tertutup / mati secara akal, mati di
derajat dua.
Fase hidup yang kedua
Fase hidup yang
kedua ini juga kita jalani bersamaan dengan fase hidup yang pertama, artinya
ketika kita menjalani fase hidup yang pertama, kita hidup secara jasad, secara
raga, tapi disaat yang sama kita juga memulai fase mati pertama secara akal,
jika kita berkembang secara akal maka kita juga akan memasuki fase hidup yang
kedua. Fase hidup yang kedua bermula ketika kita sudah mulai terbuka secara
akal. Terbuka terhadap cara pandang, kita sudah mulai memandang segala sesuatu
minimal dari dua sisi. Kita mulai menerima masukan, pandangan dari orang lain.
Kita akan benar-benar terlahir hidup secara akal ketika kita menerima adanya
keberadaan Tuhan. Ketika kita sadar yang awalnya kita mati kemudian tahu-tahu
kita sudah hidup sebagai manusia, saat pertanyaan siapakah pemberi kehidupan
sesungguhnya? Ya itulah Tuhan. Ketika kita bisa menerima bahwa ada sesuatu yang
memulai segalanya yaitu Tuhan, maka pada saat itu kita terlahir untuk yang
kedua kalinya. Pada saat itu kita telah hidup secara metafisika yang artinya
kita hidup di
derajat dua kehidupan. Status
kita hidup
(secara akal, secara metafisika)
pada jasad yang hidup (fisik).
Pada saat kita
telah terlahir pada fase kedua ini, kita hanya menyakini adanya Zat / Sesuatu
yang memulai semuanya, yang mengendalikan semuanya, yang mengerakkan semuanya
yaitu Tuhan. Pada saat yang sama kita dihadapkan dengan banyaknya pilihan akan
bertuhan. Lalu Tuhan yang mana yang sebenar-benarnya Tuhan? Untuk mengetahui Tuhan yang
sebenar-benarnya Tuhan, tentu saja kita harus mengujinya. Mengujinya dalam
artian menetapkan standar nilai, bahwa sesuatu itu memang benar layak dan
memenuhi syarat disebut sebagai Tuhan. Tentu saja syarat pertama Tuhan itu
wajib ada “Wujud”, karena ini juga menjadi syarat untuk kita terlahir di fase
hidup kedua ini. Kemudian untuk menentukan Tuhan yang benar kita harus
melakukan beberapa uji dengan akal kita, karena kenyataannya ternyata setelah
kita terlahir, kita juga mendapati begitu banyak pilihan bertuhan, dan juga
mendapati berbagai umat pemeluk agama, dimana semua pemeluk agama itu juga
bertuhan. Baik mari kita ikuti beberapa uji berikut, untuk mendapatkan standar nilai bahwa sesuatu bisa dikatakan
Tuhan, atau Tuhan itu harusnya memenuhi standar nilai tersebut.
Uji pertama
Uji
pertama kita lakukan dengan bekal perangkat yang menyertai, melekat pada diri
kita yaitu panca indra. Kelima indra kita, telinga, mata, hidung, mulut /
lidah, dan kulit, dari semua indra yang menyertai kita, kelima-limanya bekerja
secara terbatas. Di Luar batas
indra itu, kita tahu di sana ada sesuatu yang sama dengan yang bisa kita lihat
saat ini. Untuk melihat sesuatu yang ada di luar batas indra, kita butuh
meretas batas itu. Cara paling mudah meretas batas indra adalah dengan berjalan
mendekati sampai batas di mana indra kita (mata) bisa melihat. Setelah kita
mendekat sampai batas jangkauan indra (cakrawala), ternyata di sana ada sesuatu
yang sama dengan yang ada di awal kita melihat tadi, sedangkan awal kita mulai
tadi sekarang juga telah menjadi cakrawala. Cara kedua meretas batas indra
adalah dengan mengunakan alat, untuk meretas jangkauan jauhnya batas indra kita
bisa menggunakan teropong, untuk meretas batas kecilnya benda yang kita lihat
kita menggunakan mikroskop. Tetapi tetap saja, dengan meretas batas indra, yang kita temui dari hasil meretas itu tetaplah
mahluk (ciptaan), sedangkan Tuhan itu kita sadari
ada diluar batas-batas indra, maka standar nilai yang bisa kita pakai adalah
Tuhan itu tak terbayangkan atau tak tercitra.
Tuhan itu ada,
tentu saja kita harus membebaskan akal kita dari batasan kemampuan indra.
Karena selama akal masih saja dipaksa bekerja dalam batasan indra, maka semua
yang kita temui tetaplah mahluk (ciptaan), sedangkan Tuhan sang Pencipta itu di
luar batas itu, tak terjangkau oleh indra. Maka Tuhan itu haruslah tidak
terbayangkan, tak tercitra, ini adalah standar nilai pertama yang bisa turunkan
dari uji pertama ini.
Tuhan itu tak terbayangkan, tak tercitra, tak tampak oleh mata, tak terjangkau oleh kelima indra. Tuhan itu mutlak Ghaib.
Uji kedua
Uji kedua
menetapkan standar nilai untuk menyatakan bahwa sesuatu itu bisa kita sebut
sebagai Tuhan, kita sudah tidak lagi menggunakan panca indra, tetapi dengan
membebaskan akal kita untuk berfikir dan berlogika untuk menetapkan standar
nilai dari hasil uji pertama (uji indra). Karena sesuatu yang kita sebut Tuhan
itu ada di luar batas indra, maka tuhan itu harusnya tak terbatas, tak hingga,
tak terkira. Logikanya adalah ketika kita meretas batas indra, yang kita temui
dari retasan batasan itu tetaplah mahluk, maka seberapapun kita mencoba meretas
batas indra, Tuhan itu di luar batas itu. Maka Tuhan itu haruslah tak terbatas,
tak hingga, tak terkira, ini adalah standar nilai kedua untuk menyatakan
sesuatu itu layak disebut Tuhan.
Tuhan itu tak terbatas, tak hingga, tak terkira. Tuhan itu Maha Besar.
Uji Ketiga
Semua hal yang
kita temukan dengan panca indra tanpa meretas batasnya ataupun dengan meretas
batasannya itu semua adalah mahluk. Semua mahluk yang ada memiliki batasan
ukurannya sendiri-sediri. Mahluk-mahluk itu berkumpul dan berkelompok dalam
ruang atauapun membentuk ruang. Mahluk terbesar yang kita temukan dengan panca
indra adalah ruang. Selain itu, mahluk-mahluk itu juga terikat / terpenjara
dalam batasan waktu. Maka ruang dan waktu itu adalah mahluk terbesar yang
saling berpasangan yang dapat kita sadari dengan logika akal kita. Tuhan itu
haruslah tak terpenjara dalam ruang dan tak terikat oleh waktu, Tuhan itu
harusnya bebas, sebebas-bebasnya. Ini adalah standar nilai yang ketiga untuk
menyatakan sesuatu itu layak disebut Tuhan.
Tuhan itu tak terpenjara dalam ruang dan tak terikat oleh waktu.
Uji Keempat
Semua hal yang
bisa kita amati dengan panca indra bersifat fisik, atau dampak dari prilaku
fisika. Maka panca indra kita bekerja secara fisika, kita juga terjebak dalam
tubuh yang bersifat fisik. Maka Tuhan itu harus ada sebelum fisik / fisika ada.
Tuhan itu haruslah prafisik, Tuhan itu haruslah metafisika. Ketika ruang tempat
tinggal kita bersifat fisik (jasad), dan status benda fisika itu mati.
Sedangkan kita tahu bahwa saat ini kita hidup. Maka Tuhan itu juga harus Maha
Hidup, Maha Awal, dan Maha Akhir. Karena semua kehidupan ini nyata adanya, dan
Hidup hanya bisa berawal dari yang hidup.
Tuhan itu harusnya Prafisika / Metafisika (Ghaib), Tuhan Itu Maha Awal, Tuhan itu Maha Hidup (tidak pernah mati). Tuhan itu menghidupkan mahluk, Tuhan itu mematikan mahluk, Tuhan itu Maha Akhir.
Uji Kelima
Jagat raya /
semesta adalah ruang terbesar yang masih bisa kita amati dengan indra kita.
Jagat raya adalah mahluk terbesar yang bisa kita amati dengan indra kita, ada sejumlah aturan yang
menjadikan dari prafisik menjadi
fisik, ada sejumlah aturan yang membuat dari fisik (mati) menjadi hidup
(hayat). Dan hal seperti itu yang bisa dilakukan oleh Tuhan, maka Tuhan Sang
Pencipta kuasa melakukan segala sesuatu, Tuhan Sang Pencipta itu Berkuasa atas
segala sesuatu.
Tuhan Sang Pencipta kuasa melakukan segala sesuatu, Tuhan Sang Pencipta itu Berkuasa atas segala sesuatu.
Uji Keenam
Jagat raya adalah
ruang terbesar yang memenjarakan kita, jasad adalah penjara terhebat diri kita,
sedangkan waktu adalah belengku terkuat yang mengikat kita. Kita tahu jagat
raya itu adalah ciptaan karena perlu diadakan, sedang jagat raya itu berfungsi
sebagai ruang dan berpasangan dengan waktu. Maka Tuhan itu berbeda dari itu,
Tuhan itu harus satu. Tuhan tidak boleh dua, tiga, ataupun banyak.
Mengapa Tuhan
harus satu ? kita gunakan matematika untuk menguji mengapa Tuhan harus satu.
1 adalah satu
2 adalah 1 X 2 (satu kali dua)
3 adalah 1 X 3 (satu kali tiga)
4 adalah 1 X 4, 2 X 2 (satu kali empat atau
dua kali dua)
5 adalah 1 X 5 (satu kali lima)
6 adalah 1 X 6, 2 X 3 (satu kali enam atau
dua kali tiga)
...
20 adalah 1 X 20,
2 X 10, 4 X 5 ( satu kali dua puluh atau dua kali sepuluh atau empat kali lima,
dan seterusnya
Uraian di atas
adalah faktor pembentukan bilangan, ketika melihat dua, yang kita lihat hanya
dua, tetapi sejatinya bahwa itu ada satu di sana, tapi tidak pernah dituliskan.
Ketika melihat tiga, sejatinya ada satu di sana tapi tidak pernah dituliskan,
ketika melihat empat sejatinya ada satu di sana, tetapi empat juga bisa disusun
oleh dua dan dua. Begitu pula dengan lima, enam, dua puluh dan seterusnya.
Dua mahluk
terbesarnya adalah ruang dan waktu, sampai yang kecilnya adalah
pasangan-pasangan dari mahluk pengisi ruang dan waktu. Tiga adalah bentuk fisik zat penyusun ruang yaitu padat, cair dan gas. Dua,
tiga, empat adalah simbolisasi dari mahluk penghuni jagat raya. Dua, tiga,
empat, lima, enam, dan seterusnya simbol dari mahluk (ciptaan).
Dua
“ada”
disebabkan karena satu, dua diciptakan langsung oleh satu. Tiga “ada” disebabkan oleh satu, tiga diciptakan langsung oleh
satu. Empat “ada” disebabkan oleh satu,
atau disusun oleh dua dan dua, dan seterusnya. Semua bilangan pasti ada sebab /
faktor dengan satu. Di saat yang sama ketika kita melihat angka itu, dua, tiga,
empat, lima, enam, dan seterusnya, satu ada tapi tidak pernah dituliskan. Satu
adalah faktor dari semua bilangan, sedangkan dua hanya bisa menjadi faktor dari
bilangan tertentu. Contoh bilangan yang faktornya bisa dari dua yaitu empat,
enam, delapan, sepuluh, dan seterusnya. Tiga hanya bisa menjadi faktor dari
bilangan tertentu juga contohnya enam, sembilan, dua belas, lima belas dan
seterunya. Selanjutnya pun demikian. Maka hanya satu, standar nilai yang bisa
menjadi faktor / sebab bilangan lain. Maka Tuhan itu wajib satu, dan hanya angka satu yang memenuhi kriteria standar
nilai sesuatu bisa disebut Tuhan.
2,3,4,5,6,...
-------> satu ada tapi tak pernah terlihat (ghaib), tak tercitra, tak
terbatas ruang, tak terikat waktu, yang awal, yang menyebabkan semua ada.
2
sejatinya 1 X 2, tetapi satu tidak
pernah dituliskan
2
sejatinya 21 ,dua pangkat
satu, tapi dianggap tidak perlu dituliskan
3
sejatinya 1 X 3, satu tidak pernah terlihat
3
sejatinya 31 ,satu tidak pernah dituliskan karena dianggap
merepotkan. 4,5,6, … dst. Hanya satu yang bisa menempati ruang dan waktu secara
bersamaan, dan hanya satu yang berkuasa atas ruang dan waktu.
Tuhan itu satu, wajib satu, tidak bisa dua, tidak bisa tiga. Tuhan itu satu tidak boleh banyak. Tuhan itu satu, tidak boleh dicitrakan, tidak boleh diserupakan, disosokkan. Tuhan itu satu, Dia menciptakan. Tuhan itu satu, tidak beranak tidak boleh diperanakkan.
Uji Ketujuh
Siapakah Tuhan
itu? Jika jawaban yang diminta dari pertanyaan ini adalah sebuah nama yang
memudahkan kita untuk menyapa, memanggil, menyebut, menyeru padaNya, maka tidak satupun manusia yang pernah lahir ke
dunia ini bisa memastikan kebenaran dari sebuah nama Tuhan. Karena Tuhan
yang Maha Besar, tak terkira , tak terhingga, mustahil ada manusia dengan
perangkat panca indra yang berkerja secara terbatas bisa menggapaiNya, mencapaiNya (mustahil).
Tuhan
itu satu, Ia Maha Hidup, Maha Kuasa atas segala sesuatu, Maha Kuasa melakukan
segala sesuatu simbolnya satu (1), Tuhan itu Maha Mematikan simbolnya Nol (0),
Tuhan itu Maha Besar, Takhingga, takterkira simbolnya (∞). Kapan Tuhan menjadi
0, kapan Tuhan menjadi 1, kapan Tuhan jadi takhingga? Berikut sedikit
ilustrasi.
21,
31, 41, 51, 61, … = 2, 3, 4, 5, 6,
…, maka seluruh jagat raya dalam kesatuan ruang dan waktu status saat itu
pangkat satu, ada karena diadakan oleh satu (Tuhan), semua kehidupan itu ada
karena diberikan oleh Tuhan (1) Sang Maha Hidup.
20,
30, 40, 50, 60, … = 1, semua yang
statusnya mati kembali kesatu. Semua pangkat nol hasilnya satu, semua kehidupan
ini hanyalah milik satu, ketika hidup diambil dia kembali ke satu Sang Maha
Hidup, Sang Pemberi Kehidupan.
∞
adalah ketika kita sadar Tuhan ada, dan Ia tak terpenjara dalam ruang, tak
terikat oleh waktu maka Ia tak pernah tergapai, takhingga.
Tidak seorangpun yang terlahir di dunia ini bisa memastikan nama Tuhan yang sebenarnya dengan bekal perangkat panca indra yang ada. Satu-satunya cara adalah, Dia (Tuhan) yang takhingga menetapkan sejumlah aturan untuk mengenalNya, dan Dialah yang memilih hamba yang mana untuk mengenalNya, kemudian Hamba tersebut diutus, diperintahkan untuk mengenalkanNya pada kita semua. Itu standar nilai mengenal Tuhan
Disinilah batasan kita sebagai mahluk dengan perangkat indra terbatas. Pada akhirnya kita juga harus menyerah, dan menunggu atau menanti utusan dari Tuhan datang menjelaskan segalanya. Pada uji ketujuh ini kita hanya bisa menyerahkan diri kita pada utusan dari Tuhan, karena memang yang Maha Besar, takhingga, takterkira, taktercitra mustahil kita pastikan indentifikasiNya dengan perangkat panca indra kita.
Menyerah pada Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam
Pada akhirnya kita
harus menyerah kepada pilihan beragama yang sudah ada. Ya karena Tuhan yang
Maha Besar, Takhingga, TakTercitra, Takterbatas, hanya Dia yang bisa
mengenalkan diriNya sendiri kepada hambaNya. Kita hanya perlu meninjau tentang
apa yang disampaikan oleh para utusanNya itu, tentang informasi yang
disampaikan kepada kita tentang Tuhan itu mengandung semua standar nilai dari
hasil uji kita. Dan semua standar nilai tentang sesuatu itu bisa disebut
sebagai Tuhan dijelaskan dan dilengkapi oleh informasi yang disampaikan
utusanNya yaitu Muhammad bin Abdullah bin Abdul Munthalib shalallahu ‘alaihi
wasalam. Dan informasi yang disampaikan itu terbukukan / terkitabkan dalam Al
Qur’an Nul Karim. Dengan adanya Al Qur’an itu mengkonfirmasi bahwa benar kitab
itu diturunkan / disadur / disalin dari kitab grand design penciptaan jagat raya yang bernama Lauhulmahfudz. Informasi
tentang Lauhulmahfudz ini mengkonfirmasi bahwa benar kitab ini (Al Qur’an) ini
disampikan oleh dzat yang tak terikat oleh waktu, tak terpenjara dalam ruang
yaitu Tuhan yang sebenarnya. Selain itu kita bisa cek kebenaran Al Quran dengan
beberapa list berikut :
Cek list kandungan informasi Al Qur’an,
sebagai tanda bahwa benar datang dari Tuhan Sang Pencipta. |
|
Ada informasi tentang Tuhan yang memenuhi
standar nilai tentang sesuatu itu bisa disebut sebagai Tuhan. Al Qur’an
menjelaskan dengan rinci bahkan menggenapi / melengkapi informasi tentang Tuhan sampai 99 sebutan tentang
Tuhan. |
Ö |
Ada informasi tentang siapa nama Tuhan.
Tuhan Itu bernama Allah Subhanahu wata’ala (Allah yang Maha Suci lagi Maha
Tinggi). Dia
(Tuhan) itu satu, padaNya bergantung segala sesuatu. Dia tidak beranak, tidak
pula diperanakan. Dan Tidak ada sesuatu apapun yang sepertiNya (takkira,
taktercitra, takterbayangkan). |
Ö |
Ada informasi tentang bagaimana jagat
raya ini diciptakan. Al Qur’an menjelaskan bagaimana jaga raya ini diciptakan
dan terdiri dari berapa lapis, dan berapa tahap waktu penciptaan. Ini mengkonfirmasi bahwa benar Al Qur’an datang
dari Tuhan yang menguasai dan memiliki ruang (jagat raya). |
Ö |
Di dalam Al Qur’an ada informasi yang
benar-benar tidak kita ketahui maksudnya, dan tidak pernah dijelaskan
maksudnya. Konfirmasi memang benar bahwa Al Qur’an datang dari Tuhan Sang Pencipta
yang Maha Mengetahui, yang Maha Besar, yang takterkira, takhingga. Sehingga manusia dengan semua
panca indra dan keterbatasan akan akal, dan seluruh waktu yang diberikan tak
mungkin sanggup untuk menggapainya, menggali, mengenali, menguraikan maksud dari
kata, kalimat, berita, informasi yang disampaikan. |
Ö |
Di dalam Al Qur’an ada informasi tentang
kejadian di masa lalu, kejadian di masa kini, dan kejadian di masa yang akan
datang. Konfirmasi bahwa benar Al Qur’an datang dari Tuhan sang pemilik
Waktu. Yang artinya juga Ia tidak terpenjara dalam ruang dan tak terikat oleh
waktu. *sebagian informasi tentang masa lalu
telah terungkap, sebagian peristiwa di suatu tempat di bumi juga sudah terungkap
seiring waktu berjalan. |
Ö |
Di dalam Al Qur’an ada informasi tentang panduan
menjalankan hidup di dunia ini, apa yang boleh, apa yang dilarang. Konfirmasi
memang benar Al Qur’an datang dari Sang Pencipta yang Maha Mengetahui
bagaimana Jagat Raya ini diciptakan dan bagimana cara menggunakannya. Karena hanya Sang Pencipta
saja yang tahu persis bagaimana dan untuk apa jagat raya ini diadakan /
diciptakan. Dan seperti apa seharusnya kita bersikap dan berlaku di dunia
ini. |
Ö |
Dari
cek list di atas, kita tahu bahwa Al Qur’an memenuhi semua kriteria bahwa Ia
benar diturunkan / didatangkan dari Sang Pencipta. Al Qur’an menjadi tidak
sempurna jika Pembawa / Penyampainya ada cacat dalam hal fisik juga akal. Atau
Al Qur’an akan cacat jika Pembawanya / Penyampainya adalah seorang peniru /
plagiat atau penghayal atau pendongeng, maka kita harus tahu riwayat
penyampainya. Walaupun kebenaran tetaplah benar, siapapun itu yang
menyampaikan. Tetapi karena ini menyangkut tentang informasi dari Tuhan yang
Maha Besar, takhingga, dimana tak seorangpun yang pernah terlahir di dunia ini
bisa mengkonfirmasi, mengecek, memastikan kebenaran itu. Maka penyampainya /
utusan / nabi / rasul yang menyampaikan menjadi penting. Ia (nabi, rasul)
haruslah murni (ummi), Ia haruslah sempurna fisiknya, Ia juga harus sehat
akalnya.
Semua
informasi tentang Nabi Muhammad tercatat/ tertulis lengkap dalam sirah
nabawiyah (riwayat perjalanan hidup Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam),
di sini (sirah nabawiyah) kita diberitakan bahwa Rasulullah itu terlahir
sebagai yatim, kemudian masa kecil diasuh dalam pengasuhan oleh suku badui yang
mana tinggal di daerah pedalaman terpencil. Di sini Rasulullah kecil jauh dari
akses informasi, tidak ada buku, tidak ada guru. Rasulullah kecil memenuhi
syarat murni (ummi). Kemudian beranjak remaja, Rasulullah remaja hidup sebagai
pengembala, Rasulullah dewasa bedagang, dan dari interaksinya dalam berdagang
inilah Rasulullah digelari sebagai yang terpercaya (al-amin), tidak pernah dusta,
tidak pernah melanggar janji dalam melakukan transaksinya juga dalam semua hal
dalam sosialisasinya. Rasulullah dewasa juga belum bisa membaca dan menulis
yang berarti ia tidak memiliki guru yang mengajarkan ia ilmu dari kitab-kitab
yang terdahulu. Rasulullah dewasa juga dikenal orang yang sangat tampan. Dari
gelar al-amin juga kita tahu bahwa Rasulullah dewasa sempurna akalnya. Maka
semua syarat bahwa Rasulullah itu harus murni (ummi), tidak mengerti ilmu dari
guru, tidak plagiat, tidak meniru, syarat-syarat itu terpenuhi. Rasulullah
dewasa juga sempurna fisiknya, sempurna akalnya dikonfirmasi dengan
kejujurannya dalam berbisnis sehingga digelari Al-Amin (yang terpecaya).
Sekarang kita tahu semua syarat sebagai utusan terbaik sudah terpenuhi. Semua
jalur informasi kepada Rasulullah terproteksi / teramankan, maka hanya ada satu
kemungkinan yaitu Rasulullah hanya mendapatkan ilmu dari Allah yang Maha Besar,
Maha Mengetahui dengan cara yang Allah kehendaki.
Dari
semua uraian di atas, kita menentukan pilihan dalam bertuhan pada Tuhan yang
bernama Allah subhanahu wata’ala (Allah yang Maha Suci lagi Maha Tinggi) yang
disampaikan oleh Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam. Pilihan ini
karena apa yang disampaikan oleh Rasulullah yaitu Al Qur’an (isi / content /
ajaran) memenuhi semua syarat standar nilai tentang sesuatu itu bisa disebut
sebagai Tuhan, bahkan melengkapinya. Yang kedua dalam Al Qur’an juga ada
informasi yang tidak diketahui maksudnya pastinya sama sekali oleh siapapun
sampai kapanpun. Informasi semacam ini adalah tanda bahwa Al Qur’an itu memang
benar datang dari Tuhan yang Maha Besar, takterkira, takhingga. Al Qur’an ini
disampaikan dalam keadaan terenkripsi / tersandikan / teramankan. Dalam hal
Sang Penyampainya yaitu Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam, Ia
memenuhi syarat bahwa Sang Penyampainya itu terproteksi / teramankan / ummi.
Kita tidak bisa menuduhnya sebagai peniru, plagiat, karena riwayat hidupnya
tercatat jelas. Rasulullah itu ummi, tidak punya guru, tidak bisa membaca, Ia
sempurna fisiknya (tampan), Ia sehat akalnya. Maka semua syarat yang kita
perlukan untuk mempercayai telah tercukupi, langkah selanjutnya adalah kita
harus menyerah kepada Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam dan
berjanji dan berusaha menetapi semua syariat yang diajarkannya.
Sampai
sini kita telah hidup pada derajat dua, yaitu kita hidup dengan akal terbuka
dan jasad yang hayat (hidup). Selayaknya jasad / badan / raga untuk bisa hidup
atau dikatakan hidup maka badan itu memerlukan makan, minum, bernafas, bergerak
atau melakukan gerak, tumbuh, menanggapi dan respon rangsang dan lain
sebagainya sebagai tanda bahwa ia hidup, maka untuk bisa dikatakan hidup secara
akal juga ada tandanya. Hidup secara akal maksudnya adalah bertuhan, dan Tuhan
itu adalah Allah subhanahu wata’ala, maka tanda bahwa kita masih hidup secara
akal adalah dengan melakukan semua syariat yang datang dari Allah subhanahu
wata’ala yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji jika diberi kemampuan
(mampu secara biaya, mampu secara badan sehat, fisik kuat).
Bagaimana
jika salah satu atau dua ciri secara akal (bertuhan) tidak kita temukan pada
diri kita atau seseorang? Selayaknya hidup secara jasad, jika salah satu atau
dua ciri-ciri secara jasad / badan tidak ditemukan pada kita atau seseorang,
maka bisa dikatakan orang tersebut sedang sakit, atau bahkan mati suri. Jika
semua ciri-ciri hidup secara jasad tidak ditemukan pada diri seseorang maka ia
dikatakan mati. Langkah mengetahui seseorang itu telah mati adalah dengan
merasakan denyut nadi atau denyut jantung, mendeteksi apakah masih bernafas,
atau melihat pupil matanya apakah masih merespon pada cahaya atau tidak. Maka
untuk mengetahui seseorang itu masih hidup secara akal adalah dengan melihat
semua ciri-ciri orang bisa dikatakan hidup. Jika semua ciri-ciri orang hidup
secara akal (bertuhan) ada pada seseorang maka ia dipastikan hidup. Jika hanya
ada satu atau dua ciri-ciri orang masih bertuhan yang kita lihat, maka bisa
kita identifikasi bahwa seseorang tersebut sedang sakit. Jika tidak kita
temukan sama sekali ciri-ciri seorang masih bertuhan maka kita perlu memastikan
bahwa seseorang tersebut telah meninggal (mati) dalam bertuhan atau sedang mati
suri saja (pingsan). Cara mengeceknya adalah bertanya pada dia, karena orang
mati / tertutup / kafir secara akal ia hanya mati akalnya saja tapi tidak
dengan jasadnya. Jika kita tanya ia masih menjawab bahwa Tuhan itu adalah Allah
subhanahu wata’ala, tetapi ia tidak melaksanakan syariat dalam beragama sama
sekali, mungkin ia sedang mati suri / pingsan atau ia sedang sakit sehingga
hilang kemampuan / kemauan untuk bergerak melaksanakan syariat. Hal itu juga
bisa menjadi indikasi ada yang salah atau kurang tepat ia mengenal Allah atau ia
berhenti dalam usaha mengenal Allah.
Itulah
tahapan perjalanan hidup manusia, yang asalnya mati (telur), lalu menetas /
terlahir, hidup. Setelah terlahir, kemudian belajar mengendalikan badan dan
anggota badan. Pada saat yang sama akal berkembang, dengan berkembangnya akal,
akalnya dalam keadaan tertutup / telur / mati disebabkan karena dengan akalnya
ia menganggap badan dan anggota badan adalah miliknya, kemudian barang-barang,
kemudian bapak-ibunya, dan seterusnya. Akalnya akan terbuka ketika ia sudah
bisa menerima pandangan, pendapat dari orang lain. Jika perkembangan akalnya
sampai pada Allah subhanahu wata’ala maka dia dan akalnya telah terlahir dan
hidup di derajat dua. Hidup dengan akal terbuka pada jasad yang hidup.
Jika
kita telah sampai pada titik tersebut, hidup di derajat dua, kita menyadari ada
Allah subhanahu wata’ala yang Kuasa atas segala sesuatu, dan Kuasa melakukan
segala sesuatu. Kita akan menerima berita bahwa masih akan ada kehidupan
setelah ini. Pada kehidupan setelah ini, kita akan diminta pertanggung-jawaban
atas segala sesuatu yang kita kerjakan saat ini. Pengembalian kehidupan dan
kesadaran akal dengan segala ingatan yang kita simpan dan semua rekaman laku /
kelakuan kita selama hidup ini, akan sangat buruk jika saat kita dimatikan dari
kehidupan ini tetapi akal kita masih tertutup / kafir akan Allah subhanahu
wata’ala. Dengan segala tanda-tanda yang Allah berikan pada setiap umat
manusia, akan rugi jika semua itu tidak membuat kita terbuka akan Allah subhanahu
wata’ala dan memutuskan untuk hidup tertutup / kafir akan diri, pemikiran dan
pendapatnya sendiri. Sungguh pengembalian yang sangat buruk. Sebuah keputusan
yang merugikan kita sendiri, dan sebuah kesombongan yang luar biasa dari
semesta ketidaktahuan. Sebuah keangkuhan dalam mengambil simpulan didasarkan
dari setitik pengetahuan dibanding jutaan-milyaran ketidaktahuan.
Dari
telur, terkurung / tertutup (kafir), dan mati, sampai pada menetas dan hidup,
ada pengetahuan, ada pengajaran yang bisa kita sarikan / turunkan dari sana.
Dengan memikirkan telur kita bisa tahu, bisa sampai pada mengenal Tuhan yaitu
Allah subhanahu wata’ala. Sekarang kita coba melihat dari sisi Si Induk Ayam
dengan laku mengeraminya.
Dilihat
dari Si Induk Ayam, maka ia statusnya hidup. Jika itu terjadi pada kita
(manusia) maka status hidup itu ada pada derajat dua. Hidup di derajat dua yang
artinya Ia hidup secara jasad, raga, jasmani, badan, dan juga hidup secara akal
yang artinya terbuka, mau menerima pendapat orang dan tingkat tertinggi adalah
menerima, dan mengakui keberadaan Allah subhanahu wata’ala. Lalu apakah yang
mendasari Si Induk Ayam untuk susah payah mengerami telur-telur itu? Tentu saja
Si Induk Ayam melakukannya secara naluri karena ayam hanya hidup di derajat
satu tanpa harus hidup di derajat dua seperti kita manusia. Jika dilihat dari
sisi kita manusia, maka Si Induk Ayam adalah kita yang telah hidup di derajat
dua kehidupan, yang artinya telah bisa menerima dan mengakui keberADAan Allah subhanahu wata’ala sehingga
kita mau melakukan tindakan / amal / tirakat / tarekat yaitu puasa dengan
tujuan menetaskan telur-telur (saudara kita yang masih hidup pada derajat
satu).
Saudara-saudara
kita yang masih hidup di derajat satu bukanlah benda mati, mereka menyadang
status hidup, mereka makan, minum, bernafas, bergerak dan berbicara, serta
melakukan aktivitas-aktivitas ciri sebagai mahluk hidup. Mereka hanya tertutup
secara akal dan pemikiran, mereka tidak bisa menerima pandangan, pendapat orang
lain. Mereka tidak mempercayai sesuatu hal di luar batas indranya. Maka kita
akan mendengar mereka berbicara “Dimana
Tuhan, Tunjukan Tuhan supaya aku bisa melihatNya? Aku akan percaya Tuhan jika
bisa melihatNya? Datangkan mukzijat jika benar Tuhan itu ada! dan masih banyak
yang lainnya”. Sehebat apapun logika dibagun, sekeras apapun kita mendebat
mereka, sebanyak apapun peringatan disampaikan, apapun itu mukzijat yang mereka
minta kita datangkan, kita tidak akan pernah mampu membuat mereka beriman, kita
tidak akan pernah mampu membuat mereka percaya Tuhan itu ada, kita tidak akan
pernah bisa membuat mereka hidup (percaya Allah subhanahu wata’ala). Karena
hidup itu adalah hak Allah, hidup itu adalah milik Allah, apapun itu baik hidup
di derajat satu, maupun hidup di derajat dua, semua itu milik Allah subhanahu
wata’ala.
Karena
hidup adalah hak Allah, maka yang kita lakukan adalah menjadi Si Induk Ayam, Si
Induk Ayam mengerami dengan berdiam diri, menahan lapar, menjaga suhu badannya,
dan membolak-balikkan telur-telurnya. Karena sia-sia saja ‘petok-petok’, ‘teriak-teriak’
tidak akan membuat telur-telur itu menetas. Percuma juga bercerita pada
telur-telur itu bahwa di dunia ini ada pohon, daun, batu, semut, rayap, padi,
jagung, motor, mobil, ponsel, atau apapun itu yang pernah ditemui Si Induk Ayam,
karena telurnya tidak akan mendengar itu. Pada akhirnya Si Induk Ayam hanya
bisa mengerami telur-telur itu, ia membisu, berdiam diri, menahan lapar untuk
menetaskan telur-telurnya. Si Induk Ayam tidak bisa memilih telur mana yang
akan menetas, Si Induk Ayam tidak bisa memastikan semua telurnya menetas. Tapi
Si Induk Ayam tetap saja mengerami telur-telurnya, walaupun tidak bisa memilih
telur yang mana yang akan menetas, walaupun tidak tahu jika telurnya nanti
gagal menetas semuanya.
Mari
lihat diri kita, sudahkah kita bisa membuka diri? Pada kita yang bisa menerima
akan keberADAan Tuhan, Allah
subhanahu wata’ala. Ada kalanya merasa aneh pada saudara-saudara yang masih
tertutup. Ada nafsu menggebu ingin mereka semua seiman. Ada hasrat membara
supaya mereka lekas sadar dan percaya. Lalu kita menantang dan mendebat mereka
semua, kita membuat forum diskusi, debat terbuka dengan mereka. Kita memaksa
mereka melakukan sesuatu yang kita pandang sesuai syariat, kita meminta mereka
menghargai, menghormati, mentoleransi ketika kita bersyariat. Kita membuat
forum / symposium / studi perbandingan agama, kita datangkan bukti-bukti
penelitian ilmiah seolah-olah kita mendatangkan mukzijat dari Allah subhanahu
wata’ala. Sekali lagi itu semua tidak akan pernah membuat seorangpun dari
saudara kita yang masih tertutup itu akan beriman (terbuka / hidup di derajat
dua). Pada akhirnya kita harus menyerah dan mulai melakukan tirakat, tarekat,
amal, laku, seperti induk ayam, ketika kita berhasil dan mengenali,
mengidentifikasi kita hidup seperti induk ayam. Semua kehebatan berlogika,
semua gemerlapnya dunia yang kita temui, semua hal tentang bukti ilmiah, semua
analogi yang kita punya, semua itu hanya akan membuat kita tunduk, tawaduk dan
berserah diri kepada Allah subhanahu wata’ala dan mulai melakukan tirakat,
tarekat, amal, laku mengerami selayaknya induk ayam. Diam, menahan diri
(mendekam), menahan lapar (puasa), menahan kantuk (terjaga), dan terus berharap
Allah mendatangan hidup (menetas = hidayah) pada telur-telur yang kita erami. Diam mungkin bisa dengan menjadi
pendengar yang baik, sahabat yang selalu ada, menahan diri (mendekam) mungkin
dengan tidak mendebat keras, kasar atau dengan tidak mencaci, memaki, memvonis,
atau menghukumi, menahan lapar (puasa) bisa dengan berbagi, dan
berempati pada kesulitan hidupnya di dunia, menahan
kantuk (terjaga) bisa dengan siap siaga jika saudara kita membutuhkan
bantuan kita, apapun itu bentuknya, kapan ia mendatangi kita.
Semua kehebatan berlogika dan beranalogi mengenal
Allah, Segala macam pengetahuan yang ada pada kita, Seluruh perbendaharaan
dunia yang di bawah pengawasan kita,
Semua itu yang membuat kita untuk melakukan tirakat, tarekat, laku, amal, MENGERAMI. Karena kita sadar Hak (kebenaran
dan kepemilikan) Hidup hanya Milik Allah saja.
Si Induk Ayam tidak bisa memilih telur yang mana yang
akan menetas. Hal itu seperti kita, tidak bisa memilih, menentukan siapa saja
yang akan mendapatkan hidayah (hayat / hidup di derajat dua). Kita tidak bisa
memaksakan seseorang mendapatkan hidayat, kita tidak bisa memilih siapa-siapa
yang akan beriman. Hidayah (memberi hayat / hidup) bukanlah kewenangan kita,
bahkan Rasulullah sekalipun tidak diberi wenang memilih-milih siapa yang akan
mendapatkan hidayah. Karena itu Rasulullah menyampaikan risalah ke semua orang,
tanpa syarat, tanpa kriteria, tanpa seleksi. Siapapun yang mendengar risalah
dari Rasulullah bebas menolak ataupun menerima. Jika menolak ia tetap dalam
ketertutupannya, tercangkang, telur, dan status mati. Jika menerima ia bisa memecah
cangkang itu, dan hidup di derajat dua dengan segala konsekuensinya.
Hidup adalah milik Allah subhanahu wata’ala, baik itu
hidup secara jasad / hidup di derajat satu, ataupun hidup secara akal / hidup
di derajat dua, semuanya milik Allah. Ketika kita telah disampaikan / diberi /
dianugrahi pada hidup di derajat dua, yang artinya kita menjadi saksi
dan menyaksikan bahwa setiap saat, setiap waktu, tanpa jeda Tuhan selalu ada dan hadir, terlibat di
semua hal yang ada pada diri dan hidup kita. Kita juga menjadi saksi bahwa
Allah itu sebenar-benarnya Tuhan yang Maha Besar, takterkira, takhingga, taktercitra,
mengkonfirmasi bahwa apa yang disampaikan oleh Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam
adalah benar. Hal itu menegaskan untuk kita bersaksi bahwa Muhammad itu
benar-benar seorang Rasul (utusan). Perlu kita sadari saat ini kita telah
menjadi Anak Ayam (menetas, statusnya hidup = mendapat hidayah, dianugrahi oleh
Allah Subhanahu wata’ala). Dan status hidup itu membawa konsekuensi seperti
perlu bergerak dan bernafas, perlu mengkais makanan, perlu minum, perlu tidur.
Atau dengan kata lain, konsekuensi hidup adalah lelah, letih, lapar, sakit,
senang, sedih, pusing, kenyang, dingin, panas dan lain sebagainya. Semua itu
menjadi siklus hidup dalam ketidakpastian, karena yang pasti hanyalah milik
Allah saja. Ketika datang siklus sedih, sakit, lapar, ditinggalkan, dikhianati,
dicurangi, dijauhi, dibuli, dikucilkan, ditelantarkan, pada saat-saat seperti
itu, lihatlah jauh ke dalam hati, apakah masih ada nama Allah di dalamnya?
Apakah pada saat itu kita masih bersaksi bahwa Allah itu sebenar-benarnya
Tuhan, tiada Tuhan selain Allah dan juga Muhammad adalah utusan Allah? Jika
jawaban atas pertanyaan tersebut adalah YA!
Maka apapun kondisi kamu saat itu, sesakit apapun kamu, selemah apapun kamu
saat itu, sesedih apapun kamu, semerugi apapun kamu, sebangkrut apapun kamu,
kata yang paling pantas kamu ucapkan adalah “Alhamdulillah, segala puji bagi Allah” karena pada saat ini kita
masih dipercaya, dianugrahi, diberi nikmat terbesar yaitu diberi hak hidup di
derajat dua. Dan laku / amal / syariat / tindakan yang tepat dan patut kita kerjakan adalah sujud yang dalam seraya mengucap “Subhanallah, Maha Suci Allah”, sesulit
apapun sujud itu kita kerjakan, secacat apapun sujud kita itu (tak sempurna)
akan tetap kita kerjakan, karena anugerah luar biasa yang telah diijinkan hidup
di derajat dua (mendapatkan hidayah). Dan menjadi kebanggaan terbesar kita
ditakdirkan untuk bisa sujud sekalipun sujud itu tidak sempurna.
Laku
/ Tarekat tidak hanya Mengeram
Mari
kita lihat juga laku / amal / tarekat / tirakat yang dilakukan oleh Si Induk
Ayam yaitu mengerami. Laku tersebut tidak membuat Si Induk Ayam berubah secara
fisik. Kita tidak bisa melihat induk ayam tersebut berubah setelah mengerami
telur-telurnya. Si Induk Ayam juga tidak pula mengajak anak-anak ayam yang
menetas untuk melakukan laku yang sama (mengerami). Hal yang dilakukan oleh Si
Induk Ayam, yaitu mengasuh anak-anak ayam hingga ia mandiri, bisa mencari makan
sendiri, bisa menjalani hidup sendiri hingga si anak-anak ayam mengenali diri
mereka sendiri. Begitu pula seharusnya kita pada saudara kita yang baru menyatakan
kesaksiannya yaitu dengan menyatakan dua kalimat syahadat. Pada mereka
janganlah kita membebani mereka dengan sejumlah amalan yang memberatkan mereka.
Janganlah kita menyuruh saudara-saudara yang baru saja menetas hidup di derajat
dua melakukan amal / laku / tarekat / tirakat yang sama yang kita lakukan yaitu
mengerami. Karena laku seperti itu hanya dilakukan oleh Si Induk Ayam. Pada
saudara kita yang baru menetas atau dianugrahi hidup di derajat dua (mendapat
hidayah) cukup kita ajarkan cara hidup di derajat dua, kita bantu mereka
bergerak mencari makan di derajat dua, sampai mereka cukup mandiri untuk bisa
hidup di derajat dua, kemudian kita lepaskan pengasuhan itu.
Dari
Induk Ayam mari kita meluaskan cakrawala pengamatan kita ke dunia binatang. Di
dunia binatang kita mendapati banyak laku / amal dari binatang kita sebut saja
ada ulat sebelum menjadi kupu-kupu, ada ulat lebah / tawon sebelum menjadi
lebah atau tawon, ada ular dan masih banyak lagi binatang dengan lakunya. Jika
kita melihat ulat dengan makan lahapnya kemudian berlaku menjadi kepompong
kemudian bermetamorfosis menjadi kupu-kupu. Maka laku / tarekat dari ulat
menjadikannya kupu-kupu, membuatnya berubah secara fisik, betuk dan perilaku
sebelum dan sesudahnya yang terlihat berbeda. Contoh lain binatang yang berlaku
seperti kupu-kupu adalah nyamuk, ngengat, lalat dan lain sebagainya dari
golongan serangga. Selain kupu-kupu juga ada lebah, yang laku atau tarekatnya
membuatnya berubah secara bentuk dan prilaku, yang membedakan keduanya adalah
makanan saat dalam fase ulat dan juga cara makannya. Setelah menjadi kupu-kupu
atau lebah perannya bagi dunia itu juga berbeda. Ada kupu-kupu, ada lebah ada
pula ular, ular juga melakukan laku / amal / tarekat tapi laku tersebut tidak
membuat ular berubah secara fisik, kecuali hanya bertambah besar saja, selain
itu semuanya tetap sama. Dari contoh laku / amal / tarekat para binatang
tersebut, bukan berarti bahwa yang
paling baik dari semua tarekat itu adalah tarekatnya kupu-kupu, atau lebah. Bukan pula tarekatnya Si Induk Ayam yang
nilainya paling bagus / paling tinggi dikarenakan lakunya bermanfaat bagi
individu baru. Bukan pula tarekat
model ular adalah yang buruk. Hal yang terpenting dari semua itu adalah
mengenali siapa diri kita, sehingga kita tahu laku apa / amal apa / tarekat apa
yang sesuai dengan diri kita. Salah satu caranya mengenali diri kita sendiri
adalah dengan memperhatikan kecenderungan diri kita terhadap sesuatu atau
terhadap hal tertentu.
Jika
kita dapati diri kita mudah memahami sesuatu, senang dengan pengetahuan baru,
selalu haus akan ilmu, kemungkinan kita ditakdirkan hidup seperti induk ayam.
Tugas kita adalah mengajarkan semua pengetahuan itu kepada semua umat manusia,
tetapi perlu diingat bahwa bukan pengetahuan itu yang menjadikan seseorang
terlahir di derajat dua. Semua ilmu yang ada pada sisi kita yang menjadikan
kita berbuat / melakukan / laku / tarikat / tarekat / amal yaitu mengerami.
Mengajarkan ilmu adalah bagian dari laku mengerami, puasa adalah amal tarikat
kita berserah diri pada Allah subhanahu wata’ala, bahwa hidup adalah milik
Allah, dan kita berserah diri kepada Allah siapa saja yang diberi hak hidup di
derajat dua. Mendampingi orang-orang yang belajar bersama kita, memberi bantuan
pada mereka, mendengarkan mereka adalah bagian terkait dan terikat dengan amal
/ laku / tarekat yang kita kerjakan. Jangan pula meminta orang-orang yang
belajar bersama kita untuk melakukan amal puasa seperti kita, karena setelah
kita dapati mereka yang belajar bersama kita dianugrahi hidayah / hidup di
derajat dua, kita wajib memahamkan bahwa hidup itu mudah. Kita masih harus
mengasuh mereka dengan memberikan makan, sebelum kita mengajarkan mereka cara
mencari makan. Di titik ini kita harus memahamkan bahwa beragama itu mudah, dan
agama datang untuk memudahkan.
Jika
kita dapati di sekitar kita banyak perbendaharaan dunia ini, dan kecenderungan
kita adalah bersenang-senang dengan semua itu. Hal itu bisa jadi
mengindikasikan bahwa kita ditakdirkan hidup selayaknya ulat atau kupu-kupu
atau lebah. Silahkan bersenang-senang dengan semua itu, tapi kita harus tahu,
harus mengukur saat / waktu kapan kita harus berhenti dengan semua itu. Pada
saat itu kita harus melakukan puasa, puasa adalah amal / tarekat yang
menjadikan kita berubah dari yang hanya bisa bersenang-senang / menghabiskan,
menjadi berperan aktif dalam menghasilkan perbendaharaan itu. Sedangkan tanda /
waktu telah cukupnya kita bersenang-senang adalah ketika ada rasa jenuh / bosan
ketika kita melakukan sesuatu yang menjadi kesenangan kita.
Jika
kita dapati diri kita begitu bernafsu terhadap sesuatu, tandanya adalah jika
kita merasa perlu memiliki sesuatu yang melebihi kebutuhan kita. Jika orang
normal cukup butuh satu, sedangkan kita telah punya lima, masih juga ingin
sepuluh. Ada kemungkinan kita ditakdirkan hidup seperti ular. Jika kita dapati
diri kita seperti ini, kita harus tahu bahwa setelah kita capai sesuatu sesuai
keinginan kita, saat itu tiba, cobalah untuk mengukur atau menimbang-nimbang
bahwa itu cukup atau telah lebih dari yang kita butuhkan, jika hal itu ternyata
lebih dari yang kita butuhkan, pada saat itu kita harus berhenti, janganlah
terus mengejar dan menuruti keinginan kita. Kita harus melakukan amal / laku
berpuasa (berhenti), karena dengannya (berpuasa / berhenti) yang menjadikan
kita tetap hidup. Maka amal / tarekat / laku
yang kita kerjakan (puasa / ibadah) menjadikan kita tetap hidup. Karena
jika kita mengumbar nafsu kita, maka nafsu tersebut akan membunuh kita,
selayaknya ular mati karena kekenyangan.
Tiga
contoh amal / laku di atas adalah contoh dari amal / laku yang ekstrim atau keras,
akan tetapi kita juga tahu bahwa di dunia binatang tidak semua binatang itu
melakukan amal / laku / tarekat yang ekstrim seperti puasa. Ada kambing, sapi,
kuda, atau singa, adalah contoh beberapa hewan yang sepertinya tidak melakukan
laku / amal yang ekstrim. Akan tetapi ada sebuah ciri, dari para binatang
tersebut yang mengindikasikan bahwa mereka juga melakukan laku / amal. Ciri itu
adalah mereka hanya mengambil secukupnya saja dari apa yang ia dapatkan di
dunia ini. Jika mereka mendapatkan lebih, mereka hanya mengambil sebanyak yang
bisa ditampung oleh perut / lambungnya, jika ada sisa maka mereka akan
meninggalkannya dan membiarkan yang lain mengambilnya. Jika kita adalah tipe
orang yang merasa cukup dengan apa yang kita dapatkan hari ini, atau kita
merasa sudah cukup jika kita bisa makan untuk sehari saja, kemudian esok hari
kita mencari lagi untuk sehari saja. Jika kita mendapatkan makanan yang lebih
dari yang kita butuhkan dalam sehari kemudian kita membagikan sisanya. Jika
kita cenderung hanya mengambil sekedarnya saja padahal kita diberi kesempatan
untuk mengambil banyak, atau bahasa jelek / bahasa kasarnya adalah kita
bukanlah tipe orang yang diberi bakat kaya. Hal itu bisa jadi tanda bahwa kita
hidup selayaknya singa, laku / amal kita yaitu diberikan rasa cukup dengan yang
sedikit. Kita merasa cukup dengan hidup sehari atau dua hari saja, maka tarekat
/ amal kita ditakdirkan selayaknya singa. Tarekat kita adalah secukupnya saja
yaitu syariat pokok dalam beragama tidak lebih.
Dari
semua contoh laku / amal / tarekat di atas, tidak ada salah satu yang terbaik
melebihi yang lain. Tarekat yang terbaik adalah yang paling sesuai dengan
takdir kita, tarekat yang terbaik adalah yang cocok dengan kecenderungan /
kesukaan kita dalam menjalani hidup. Oleh karena itu langkah penting bagi kita
adalah mengenali bakat yang dianugrahkan pada kita, kemudian dengan itu kita
menjalani hidup. Karena inti dari semua amal / laku / tarekat tersebut adalah
cara kita dalam menjalani hidup. Kenali dirimu dan kenali bakatmu dan tuntunlah
minatmu bersesuaian dengan bakat hidupmu.
Kenali dirimu dan kenali bakatmu dan tuntunlah minatmu bersesuaian dengan bakat hidupmu.
Yang
menetas “mendapat hidayah” tidak hanya telur-telur yang dierami di sarang /
petarangan saja
Saat ini kita juga tahu jika di dunia ini tidak hanya
ada telur ayam saja. Ada banyak macam telur, dan juga macam-macam cara
menetasnya. Telur ayam menentas dengan cara dierami, telur ular ada yang
menetas dengan ditimbun di tempat bersuhu hangat, telur penyu menetas dengan
cara ditimbun pasir, telur kupu-kupu, telur keong, telur siput, telur katak,
telur ikan, dan masih banyak lagi macam telur dan berbeda-beda cara menetasnya.
Telur, apapun jenisnya, bagaimanapun cara menetasnya,
ketika ia sudah menetas maka statusnya adalah hidup. Banyak macam telur, banyak
cara telur menetas, seperti itulah hidayah datang. Hidayah (hidup di derajat
dua) datang dengan berbagai cara, terserah Allah subhanahu wata’ala Sang
Pemilik Hidayah kepada siapa hidayah, atau hak hidup di derajat dua diberikan.
Janganlah kita menganggap bahwa yang terbaik menetas adalah dengan cara ayam,
janganlah kita menganggap bahwa menetas dengan cara dierami adalah satu-satunya
cara mendapatkan hidayah. Jangan pula kita mengatakan dan menghimbau manusia
bahwasanya untuk mendapatkan hidayah harus melalui lembaga atau instansi
dibawah kekuasaan kita, sedangkan mereka kita wajibkan untuk membayar atau
menyewa atas jasa di lembaga atau instansi kita. Inggatlah, bahwa batasan usaha
kita hanyalah mengerami bukan menetaskan. Menetas / hidup di derajat dua /
hidayah adalah milik Allah subhanahu wata’ala, dan kepadaNya pula ia kembali.
KepadaNya segala sesuatu itu dikembalikan. Sadarlah atas batasanmu, dan
janganlah melewati batasan sebagai mahluk / ciptaan Allah subhanahu wata’ala.
Telur apabila ia telah menetas, telur apapun itu
jenisnya, bagaimanapun itu caranya menetas, jika telah menetas maka statusnya
adalah hidup. Sama halnya dengan hidayah, bagaimanapun itu hidayah datang pada
seseorang, bagaimanapun cara seseorang diberi hidayah oleh Allah subhanahu
wata’ala maka status adalah hidup di derajat dua. Ciri seseorang hidup di
derajat dua adalah ia melaksanakan syariat yang tetapkan oleh Allah subhanahu
wata’ala melalui rasulNya, yaitu Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam. Syariat adalah
ciri-ciri bahwa seseorang itu hidup di derajat dua selayaknya ciri-ciri mahluk
hidup di derajat satu, diantaranya seperti, bergerak, bernafas, makan, minum,
tumbuh, berkembang biak, mengalami metabolisme, melakukan sekresi dan laing
sebagainya. Jika ada sesuatu memiliki dua atau tiga lebih ciri-ciri mahluk
hidup, maka ia kemungkinan adalah mahluk hidup. Jika kita tidak menemukan salah
satu ciri-ciri mahluk hidup, kemungkinan ia adalah benda mati, atau jika ia
adalah mahluk hidup kemungkian ia sedang sakit, sehingga hilang kemampuan
bergerak, makan, atau minum, atau ia sedang mati suri. Sama halnya dengan hidup
di derajat satu, hidup di derajat dua juga ada ciri-cirinya. Jika seseorang
dikatakan hidup di derajat dua maka ia melakukan sejumlah syariat (ciri-ciri)
seperti shalat, puasa, zakat, haji. Syariat pokok adalah ciri utama / ciri
primer dari seseorang hidup di derajat dua. Jika ada seseorang tidak kita
temukan ciri-ciri hidup di derajat dua, kemungkinannya ia sedang sakit, atau
mati suri. Sakit di derajat dua, obatnya adalah dengan memperbaiki pemahaman
akan Tuhan, karena sebab sakitnya di derajat dua salah satunya belum tegak,
belum lurusnya pemahaman bertuhan. Ada yang salah dengan tauhidnya, maka
obatnya adalah pemahaman, pelurusan akan tauhidnya. Pemahaman tentang tuhan itu
layaknya obat, betapapun pahitnya ia tetap kita telan. Pemahaman tentang tuhan
itu seperti pisau operasi, betapapun sakitnya tetap kita tahan karena itu salah
satu caranya kita sembuh dan melanjutkan hidup di derajat dua.
Ada
telur yang menetas mandiri, yaitu telur setelah melewati proses pengeraman ia
memecah cangkang sendiri dan keluar sebagai organisme hidup, ada pula sebagian
telur itu perlu dibantu dalam proses menetasnya. Telur yang menetas mandiri
biasanya individu yang kuat, sedangkan yang menetasnya dengan bantuan biasanya
perlu perlakuan khusus sampai ia menjadi kuat dan mampu melanjutkan
kehidupannya. Selayaknya cara menetasnya telur itu, hidup di dejarat dua juga
sama halnya. Ada sebagian dari kita ada yang kuat, dan mendapatkan hidayah
kemudian ia memecah cangkangnya sendiri dan melanjutkan hidup mandiri. Ada pula
sebagian kita untuk menetas itu perlu bantuan dalam memecahkan cakangnya. Tentu
orang yang membantu memecah cangkang tersebut mempunyai semacam ukuran bahwa
organisme yang di dalam tersebut sudah sempurna dan bisa hidup, dan juga
pertimbangan jika dibiarkan saja, maka organisme yang di dalam cangkang
tersebut akan mati. Begitu pula dengan hidup di derajat dua, ada diantara kita
yang cukup mandiri memecah cangkang sendiri, ada pula yang butuh bantuan untuk
memecahkan cangkang tersebut. Kedua-duanya, baik yang memecah cangkang sendiri
ataupun yang dipecahkan cangkangnya statusnya tetap hidup atau mendapatkan
hidayah. Memang ada perlakuan khusus pada mereka yang dibantu dalam memecah
cangkangnya, yaitu dengan mendampingi dan menyuplai semua keperluan hidupnya
sampai ia benar-benar bisa mandiri.
Hidayah,
atau anugrah hidup di derajat dua itu bisa datang ke seseorang dengan cara
orang tersebut memecahkan sendiri cangkangnya / ketertutupan / kekafirannya.
Ada pula hidayah datang itu ke seseorang dengan cara dibantu memecah
cangkangnya atau kekafirannya. Tentu saja butuh pengetahuan tertentu untuk mengetahui
bahwa di dalam cangkang tersebut ada organisme yang sudah siap menetas dan
hanya perlu memecahkan cangkang saja. Bukan sembarang cangkang kemudian
dipecahkan cangkangnya, bisa jadi yang di dalam cangkang belum terbentuk
organisme atau masih perlu proses pengeraman. Operasi untuk menetaskan
seseorang, atau mendapatkan hidayah atau memperoleh status hidup di derajat
dua, atau status beriman salah satunya adalah dengan memberi hadiah / harta,
Bisa pula dengan menikahkannya. Apapun caranya ia mendapatkan hidayah atau
status beriman, maka sejak saat itu ia hidup di dejarat dua. Jika nanti
diperjalanan hidupnya ia butuh diinkubasi atau dicukupkan keperluan hidupnya
sampai kuat hidup mandiri, itu adalah konsekuensi dari kita atau orang-orang
dekatnya yang memutuskan untuk mengoperasi dia. Apapun itu caranya ia tetaplah
berstatus hidup di derajat dua, atau beriman.
Pertalian
hidup atau nasab hidup
Kita semua, semua manusia yang saat ini sedang hidup
di dunia ini. Semua manusia yang hidup di jaman ini, tidak ada satupun yang
merupakan manusia pertama. Hal itu artinya setiap manusia yang ada saat ini,
ada karena terlahir atau dilahirkan. Maka setiap manusia yang saat ini hidup
pasti memiliki orang tua biologis bapak ataupun ibu. Karena itu setiap manusia
yang hidup saat ini punya pertalian hidup atau nasab secara biologis dengan
orang tuanya. Nasab itu terdokumentasi dengan baik secara biologis dalam DNA
setiap manusia. Di DNA tersebut ada peta jalur perjalanan dan perlintasan
secara genetik manusia. Di DNA itu, para ahli pembaca peta itu bisa mengetahui
siapa jalur genetik yang telah kita lalui sebagai anak keturunan dari para
leluhur kita. DNA tersebut tidak mungkin berbohong tentang leluhur kita, dia
jujur karena DNA tersebut terbentuk karena reaksi fisibiokimia, yang tidak
terkontaminasi, kecuali ada kesengajaan oleh manusia lainnya untuk mengotori
atau mematikan sebagian dari reaksi tersebut. DNA adalah peta nasab secara
jasad pada diri setiap manusia yang dilahirkan, lalu adakah peta nasab bagi
manusia yang hidup / dianugerahi, kehidupan di derajat dua? Siapakah leluhur
kita yang hidup di derajat dua? Apakah ada kaitannya nasab secara jasad (hidup
di derajat satu) dengan nasab secara ruhani (hidup di derajat dua / dianugerahi
hidayah)?
Leluhur kita / nasab kita secara jasad, tertulis,
terbukukan dalam bentuk DNA. DNA jika dirunut sampai ujung maka ia akan merujuk
pada sepasang manusia yaitu Nabi Adam beserta istrinya, alaihi salam. Nabi Adam
alaihi salam adalah induk / bapak dari seluruh manusia yang hidup saat ini, Ia
(Nabi Adam) leluhur manusia secara jasad juga secara ruh (metafisika /
prafisika). Nabi Adam adalah leluhur seluruh manusia saat ini, tetapi jarak
kita dengan Nabi Adam sangatlah jauh. Kemudian siapakah leluhur kita secara
ruhani yang terdekat dengan kita? Leluhur seluruh manusia beriman saat ini,
seluruh manusia yang dianegerahi hidayah, seluruh manusia yang percaya bahwa
Tiada Tuhan Selain Allah adalah Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam.
Karena Rasulullah adalah manusia yang nyatakan bahwa ia mengerami seluruh ruh
manusia yang hidup saat itu dan seluruh manusia yang hidup di masa yang akan
datang (kita semua manusia yang hidup saat ini). Siapapun kita yang dianugerahi
hidayah, hidup di derajat dua, hidup secara ruhani yang beriman kepada Allah Subhanahu wata’ala, yang menyatakan bahwa ‘Laa
Ilaaha Illallah’ maka saat itu juga bernasab, bertalian hidupnya di derajat dua
sampai pada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam. Oleh karena itu tanda kelahiran / menetasnya
kita / hidup di derajat dua adalah dengan menyatakan dua kalimat syahadat (dua
kalimat persaksian) “Asyhadu an laa
ilaaha illallaahu, wa asyhaduanna muhammadar rasuulullah. Aku bersaksi bahwa
tidak ada Tuhan melainkan Allah. Dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah
utusan Allah.” Dua kalimat syahadat itu menjadikan kita bernasab sampai
pada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam. Siapapun
kita hari yang menyatakan dua kalimat syahadat tersebut, maka kita secara
ruhani telah bernasab, atau bertalian hidup di derajat dua sampai pada Rasulullah
Muhammad shalallahu
‘alaihi wasalam.
Siapapun
kita hari ini yang dianugerahi hidayah / hidup di derajat dua, kita adalah
keturunan dari Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam secara ruhani. Sedangkan
secara jasad / raga, biologis / DNA / Genetik kita boleh terputus dari Rasulullah
Muhammad shalallahu
‘alaihi wasalam. Memang ada keistimewaan atas saudara kita yang secara jasad / genetic
memiliki perbalian lahir / nasab biologis sampai pada Rasulullah
Muhammad shalallahu
‘alaihi wasalam, karena bagi mereka nasab yang sampai pada Rasulullah
Muhammad shalallahu
‘alaihi wasalam ada dua yaitu nasab biologis / genetik dan juga nasab ruhani
jika mereka juga beriman pada Allah subhanahu wata’ala, hari akhir, dan berlaku
baik dan selalu melakukan perbaikan seperti Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam. Ada
beberapa hal yang mengikat saudara kita yang nasab genetiknya sampai pada Rasulullah
Muhammad shalallahu
‘alaihi wasalam yaitu para sarif dan sayyid, diantaranya adalah mereka terikat
dengan akhlak keluhuran budi dan kebiasan-kebiasan (sunat-sunat) yang dikerjakan
oleh Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam. Belum lagi ada sejumlah aturan yang mengikat
mereka seperti mereka tidak boleh menerima zakat, menolak sedekah, kehadiran
mereka adalah untuk memudahkan / membantu urusan umat. Tapi mereka boleh
menerima hadiah, meskipun berbedaan dari sedekah dan hadiah hanya pada niat dan
kalimat saat menyerahkannya (ijab qabul).
Di akhir
zaman ini, siapun kita, dari golongan manapun kita, dari ras / suku / bangsa
manapun kita, jika kita telah dianugerahi hidup di derajat dua, mendapatkan
hidayah, maka saat itu juga kita adalah keturunan Rasulullah
Muhammad shalallahu
‘alaihi wasalam secara ruhani. Kita semua mempunyai kesempatan yang sama untuk
berjumpa dengan Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam tergantung seberapa
kuat, seberapa jauh kita mampu meneladani Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam. Maka
saya sampaikan selamat kepada kamu semua yang telah dianugerahi hidayah dan
hidup di derajat, “Selamat dan teruslah berusaha istiqomah, berusahalah tetap
hidup di derajat dua dengan bersyariat penuh (melaksanakan semua ciri hidup di
derajat dua), teruslah berusaha untuk itu semampumu dan berharaplah mati secara
jasad masih dalam keadaan beriman.” Karena kita akan dibangkitkan dalam keadaan
dan kesadaran terakhir kita sebelum mati secara jasad.
Akhir
kata demikianlah tulisan ini yang saya baca dari induk ayam dan juga telur. Saya
Raden Kuswanto
“Asyhadu
an laa ilaaha illallaahu, wa asyhaduanna muhammadar rasuulullah. Aku bersaksi
bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah. Dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad
adalah utusan Allah.”
Tulisan ini bersifat umum, bebas , terbuka. Bebas menyalin
sebagian atau keseluruhan, bebas mengubah, bebas juga menolaknya. Tidak ada
ancaman, denda atau kutukan yang menyertainya. Dan terima kasih sudah membaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar