Tampilkan postingan dengan label hakikat tuhan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hakikat tuhan. Tampilkan semua postingan

Rabu, 02 Juni 2021

Sangkar dan Privatisasi Kebenaran

 

Hallo Para  Sahabat semuanya, selamat datang di era globalisasi dan di era keterbukaan. Era dimana semua informasi terbuka dan semua konektifitas antar individu, kelompok, bangsa, negara dan batas geografi dibuka dan bisa diakses oleh siapa saja. Akan tetapi apakah benar seperti itu? Apakah kita sudah sampai pada era seperti itu (globalisasi)? Atau apakah kita masih dalam proses menuju ke situ? Mungkinkah kita justru berjalan mundur dari era itu? Lalu apakah era globalisasi dan keterbukaan itu hanya sebatas slogan-slogan saja? Mungkinkah itu semua hanya doktrin-doktrin saja yang didengungkan terus menerus sehingga terasa seperti kita sudah                                                                                                                                            sampai pada era itu? Waduh! Sepertinya pertanyaan-pertanyaannya mulai kacau, sehat Mas Kus? Gak sedang teler kan? Masih menginjak bumikah?

(“Waduh pertanyaan gendeng iki, diarani edan aku. Yo wes gak popo”)

Jawabnya jelas, kita telah sampai di era ini, era globalisasi dan era keterbukaan. Dengan semua akses infomarsi yang bisa kita dapat darimana saja melewati batas teretorial. Dan tentu saja ini adalah era baru yang berjalan maju.

Yakinkah kita akan jawaban seperti itu? Atau mungkinkah kita layaknya seekor burung dalam sangkar, yang sudah menikmati keadaanya dalam sangkar, sehingga melihat sangkar itu bukan lagi penjara baginya, bahkan ketika ia dilepas liarkan dia akan kembali dalam sangkar. Karena menganggap di alam liar ia akan mati. Sedangkan dalam sangkar ia bisa hidup nyaman tanpa terganggu kerasnya alam liar dan tanpa khawatir akan datangnya predator.

“Mungkin kita seperti burung dalam sangkar yang sudah menikmati kehidupan dalam sangkar, hingga enggan jika dilepas-liarkan. “Wes kadung jinak”.”

Atau mungkinkah globalisasi itu seperti kubah penangkaran burung-burung, sehingga tidak lagi dalam sangkar yang kecil-kecil. Atau mungkin saja globalisasi selayaknya virtual reality (VR) yang dipasangkan ke kita sehingga kita menganggap bahwa seolah-olah kita telah hidup bebas?

Ah rasa-rasanya kok tidak mungkin semua ini seperti itu. Itu hanya sebatas hayalan saja.

Jika dan hanya jika itu hanya hayalan saja, dan yang masih bebas dan merdeka dalam diri kita hanya hayalan itu. Mungkin sebaiknya kita biarkan hayalan itu mengembara melihat tubuh ini terpenjara. Atau kita beranikan diri meninjau ulang semuanya tentang kenyamaman yang kita terima. Bisa jadi kita menikmati semua kenyamanan semua ini layaknya ikan-ikan dalam kolam yang menikmati pakan setiap waktunya, tanpa mau berfikir bahwa itu (pakan tersebut) akan membawanya ke dalam minyak panas pada saat tiba waktunya.

Kita memang sudah dalam masa yang bebas dalam mengakses informasi, tetapi sejak kita lahir, kita sudah dibatasi oleh aturan-aturan adat-istiadat, hukum-hukum modern yang ada dalam wilayah tempat kita lahir. Sejak kita lahir, kita sudah mewarisi agama, adat-istiadat, dan hukum-hukum modern yang mengikat kita di tempat kita lahir. Dan tidak ada pilihan lain selain menerimanya. Jika memang agama yang kita warisi adalah agama yang benar, seharusnya tidak masalah kita sebagai pewaris agama ini menguji kebenarannya. Jika itu memang benar, tidak perlu khawatir akan hasil uji para pewaris ini (kita), tentu saja hasilnya akan sama yaitu benar. Dan juga tentang adat-istiadat dan juga hukum-hukum modern. Mengapa kita dipaksa menerima agama, adat-istiadat dan hukum modern sebagai doktrin bahwa yang benar itu, sedangkan opsi lain yang melawan itu atau hendak menguji itu adalah tindakan yang salah.

Agama, adat-istiadat, dan hukum-hukum modern adalah jeruji-jeruji yang mengurung kita dalam kubah globalisasi, modernisasi, dan era keterbukaan. Saya mempertanyakan atau menguji kebenaran akan semua itu adalah sebuah kenekatan, dengan pilihan dihukumi pemberontak, melakukan tindakan salah, dan wajib dikenakan sanksi sosial dengan cara dikucilkan atau yang lainnya. Seperti halnya seekor ikan yang mencoba melompat keluar kolam, dengan pilihan berharap menemukan parit dan hidup bebas tanpa jaminan pakan, atau mati karena ternyata di luar kolam adalah daratan, bisa juga masuk ke kolam lain yang isinya ikan predator. Hiiiii seremmmmm! Pantas saja banyak yang takut melakukannya, taruhannya sepertiga, satu, hidup tanpa jaminan kelayakan, dua mati kelaparan atau mati dimakan predator. Pilihan yang tidak enak sama sekali.

Belum lagi tentang hukum-hukum baru yang kita sepakati, eh mereka buat yang mengikat kita atau bahkan calon anak cucu kita. Bagi kamu mungkin tidak terlihat kita sedang terbelenggu, tapi bagi saya melihat dengan jelas jeruji-jeruji, batas-batas itu adalah nyata.

Yakinkah kamu bahwa kita sudah ada di era globalisasi, era keterbukan, era kebebasan? Atau saya yang menyakini kita berada di masa belenggu, terpenjara dan isolasi? Bagaimana jika kita uji saja? Apakah benar di sana ada dinding batas yang tak kasat mata, atau kita melihat dengan jelas dinding itu tapi tidak menganggapnya sebagai batas tapi justru sebagai kenikmatan dan perlindungan? Cukup beranikan kamu mengujinya untuk membuktikan kamu yang benar atau saya yang benar?

Ayo ikutlah aku meninjau dinding-dinding batas itu!

Sekarang ini kita sudah terbiasa tentang istilah ilmu dunia dan ilmu akhirat.

Lho memangnya salah? Ancene koyok ngono kan!

Baik, jangan buru-buru, kita kunyah pelan-pelan. “Digayemi ae, ben kroso”. Mari kita lihat efek dari pemisahan ini. Pemisahan ilmu ini sudah seperti air dan minyak yang disatukan dalam satu wadah. Kemudian ada dua jenis ikan yang bisa hidup dalam air saja, atau dalam minyak saja. Ketika berani menyeberang maka kematian datang. Itu hanya perumpamaan saja.

Semakin mendekat ke masa sekarang (saat ini), kita kemudian membuat lembaga-lembaga, institusi-institusi, badan-badan, atau organisasi-organisasi berdasarkan pemisahan tersebut, yaitu ilmu dunia dan ilmu akhirat. Untuk belajar tentang tentang dunia ini, untuk tahu tentang dunia ini, untuk menguasai sesuatu tentang dunia ini, kita diarahkan menuju lembaga tertentu, badan tertentu, institusi tertentu dan seterusnya. Untuk mengetahui tentang akhirat, menjadi ahli waris akhirat kita juga diarahkan ke lembaga tertentu, badan tertentu atau institusi tertentu. Seolah-olah ketika kita berada dalam institusi yang mengurus tentang dunia, tidak ada urusannya dengan akhirat. Ketika kita berada dalam institusi yang mengurus urusan akhirat, kita adalah ahli waris akhirat.

Ketika kita berada dalam lembaga tentang keduniaan, menjadi terlarang ketika untuk sekedar menyinggung tentang akhirat. Ketika kita dalam lembaga tentang keakhiratan, adalah kita yang paling benar, dan yang lain pasti salah dan tidak ada hubungannya dengan keduniaan. Lembaga-lembaga ini, institusi-institusi ini, badan-badan ini, organisasi-organisasi ini, atau bentuk-bentuk lain dari ini, memiliki bangunan-bangunan yang berdinding, mempunyai pagar-pagar wilayah, melengkapi diri mereka dengan penjaga. Bukankah itu adalah batas yang jelas? Dinding-dinding, pagar-pagar, dan penjaga-penjaga itu bisa kamu lihat dengan matamu.

Kembali lagi ke pemisahan dari ilmu dunia dan ilmu akhirat, kemudian terbitlah buku-buku, kitab-kitab yang membahas tentang dunia, materi penyusunnya, cara kerjanya, manipulasi materinya, penghuninya dan perlengkapan lainnya. Hal yang sama terjadi pada buku-buku, kitab-kitab yang membahas tentang akhirat (agama), ada banyak jenis dan ragamnya, dari caranya, alirannya, dan seterusnya. Dalam buku-buku tentang dunia, kita tidak akan pernah menemukan catatan yang mengkaitkan ini dengan akhirat. Tidak ada benang merah yang menghubungkan buku keduniaan dengan akhirat. Begitu pula dengan buku-buku tentang akhirat, dibuat dan didesain bahwa ini murni urusan akhirat berisi doktrin yang tidak bisa atau tidak perlu dibuktikan di dunia ini. Padahal buku-buku itu juga diperjual belikan untuk urusan dunia.

Seiring waktu berjalan, lembaga-lembaga ini, institusi-institusi ini, badan-badan ini, organisasi-organisasi ini, dan bentuk-bentuk lainnya baik untuk urusan keduniaan ataupun keakhiratan saling mengeluarkan sertifikat-sertifikat, ijazah-ijazah, gelar-gelar. Ketika sebuah lembaga atau institusi atau bentuk lainnya sudah bisa mengeluarkan ijazah ataupun sertifikat, maka sudah layak baginya untuk menentukan mahar atau biaya untuk mendapatkan sertifikat atau ijazah tersebut. Dan bagi orang-perorang yang sudah memegang sertifikat atau ijazah dari lembaga atau institusi tertentu, maka sudah layak dia disebut professional yang artinya sudah layak dia menerima upah atau menentukan upah atau menentukan harga dari produk yang bisa ia buat.

Dari sini sudahkah kamu melihat jeruji-jeruji batas dari sangkar yang mengurung kita di era globalisasi?

Jika memang benar, lembaga-lembaga ini, institusi-institusi ini, badan-badan ini, yand bisa mengeluarkan sertifikat atau ijazah, dan orang-perorang yang memegang hak atas ijazah ini adalah benar, atau yang mengusai ilmu, atau yang mengetahui ilmu tentang alat untuk menguji kebenaran. Maka jangan pernah berharap keadilan itu bisa terasa di muka bumi ini. Karena semua perangkat untuk menguji tentang kebenaran yang bisa menentukan suatu masalah itu adil hanya didapatkan bagi mereka yang bisa membayar mahar atau membayar upah sejumlah ketentuan mereka. Dan lebih parahnya lagi mereka membuat sistem dan alat untuk membayar itu.

Karena itu jangan heran jika hari ini keadilan itu tidak terasa atau terlihat. Karena keadilan itu hanya milik mereka yang mampu membayar mahar akan kebenaran. Karena kebenaran hari ini yang menjadi benda bukan lagi nilai. Hari ini kita melihat atau menyaksikan, orang yang mengetahui tentang bagaimana penyebab sebuah penyakit kemudian bagaimana cara menghindari sebelum penyakit itu datang atau cara mengambil tindakan setelah penyakit itu datang telah mengambil upah atas pengetahuannya itu atau menentukan harga dari produk dari pengetahuannya itu. Hari ini kita juga melihat atau menyaksikan, orang yang mengetahui tentang bagaimana sebuah bangunan dibangun, bahan apa yang digunakan, bagaimana cara membuat bahan bagunan itu, telah mengambil upah atas pengetahuannya itu dan menjual produk dari pengetahuannya itu. Hari ini kita juga melihat dan menyaksikan, orang yang banyak mengetahui tentang suatu urusan (ilmu), telah mengambil upah dari pengetahuannya itu dan menjual produk dari pengetahuannya itu. Karena ia (orang-orang yang berpengetahuan itu) juga telah membeli pengetahuan itu dari badan-badan, lembaga-lembaga dan instansi-instansi yang menjual pengetahuan itu. Harap maklum.

Pengetahuan tentang sebuah penyakit dan cara menghindari atau tindakan yang diambil ketika penyakit itu menyerang adalah sebuah kebenaran. Pengetahuan tentang bahan, alat, cara, dan gambar akan sebuah bangunan dibangun adalah sebuah kebenaran. Pengetahuan atas berbagai urusan itu adalah sebuah kebenaran. Maka hari ini kita melihat “Kebenaran adalah segala sesuatu yang bisa mendatangkan uang bagi mereka yang mengetahui sedikit atau banyak atas sesuatu. Kebenaran hanya untuk mereka yang mampu membayar untuk mendapatkannya.”. Karena sebab itu pula maka keadilan hanya bagi mereka yang mampu membelinya.

La ilaha illallah, Tiada Tuhan Selain Allah.” Ini adalah kalimat tauhid dan ini adalah sebuah kebenaran mutlak. Keluar dari mulut siapapun yang menyatakan kalimat tauhid tersebut dia tetaplah benar. Presiden, menteri, lurah, tukang, buruh, preman, perampok, psk dan siapaun yang menyatakan kalimat tauhid tersebut, maka pernyataan tersebut tetaplah benar, dan dengan pernyataan tersebut telah menghilangkan / meluluhkan / meniadakan arti dari subyek (orang) yang menyatakannya. Akan tetapi hari ini, kita melihat kalimat tauhid tersebut hanya bernilai benar jika yang menyatakannya adalah kelompok-kelompok tertentu, aliran-aliran tertentu. Kalimat tauhid hanya benar jika dari lembaga-lembaga tertentu, organisasi-organisasi tertentu, badan-badan tertentu, atau instansi-instansi tertentu.

 Hari ini kita telah melihat kebenaran telah dikurung dalam sangkar-sangkar dan diaku-aku kepemilikannya. Hari ini kebenaran telah diklaim-klaim bahwa hanya dia adalah pemiliknya. Kenapa bisa seperti itu? Itu muncul karena rasa memiliki. Hanya karena tangan dan kaki bisa kita gerakkan sesuai keinginan kita, kemudian kita merasa bahwa badan ini adalah milik kita. Tidak cukup dengan badan ini, kemudian kita mengaku-aku sesuatu yang lain yang terpisah dari badan kita adalah milik kita. Pakaian adalah pakaian kita, gawai adalah gawai kita, kendaraan adalah kendaraan kita, rumah adalah rumah kita, negeri adalah negeri kita.

“Sial betul nasib Kebenaran hari ini, sudah seperti burung saja, dimaksukkan ke dalam sangkar-sangkar. Diaku-aku kepemilikannya, dipajang-pajang untuk diperjual-belikan.”

Benarkah kita adalah pemilik sesungguhnya dari badan kita? Bukankah di tangan dan kaki kita ada kuku-kuku yang tumbuh tanpa menunggu perintah kita. Bukankah di kepala kita ada rambut yang tumbuhnya tidak perlu kita tarik, dan ketika rambut itu tanggal kita tidak bisa menahannya. Kita bisa menjadwalkan makan dan minum kita, tapi kita tidak kuasa menjadwal kapan kita kencing dan beol kita. Kita tidak pernah memerintahkan jantung kita kapan berdetak kapan berhenti. Tidakkah kita berfikir bahwa itu adalah tanda bahwa yang sesuatu yang mengusai badan kita ini, yang selalu bersama kita dimanapun kita berada, yang mengetahui segala sesuatu tentang diri kita. Kenapa kita tidak mencari tahu siapa sesungguhnya sesuatu itu yang mengusai badan kita ini? Mengapa kita justru mengaku-aku badan ini adalah milik kita, akal ini akal kita, pengetahuan ini adalah pengetahuan kita. Sehingga kita harus membuat kesepakatan pelindungan Hak Kekayaan Intelektual, bahwa siapun yang menginginkan pengetahuan kita harus membeli atau membayar ke kita. Sebegitu buruknya kita, betapa kejinya kita hari ini.

Atas dasar HAKI, hari ini siapapun yang menikmati karya suara, sastra, lukis, rasa, maka ia harus membayar. Sehingga hari ini kita rebut akan bayar membayar. Atas dasar HAKI, hari ini siapapun yang ingin sembuh dari penyakit, menghindari penyakit maka ia harus membayar. Jika tidak mampu membayar, maka tunggulah kematian datang pelan-pelan. Atas dasar HAKI, hari ni siapapun yang ingin mengetahui tentang sesuatu maka ia harus membayar atau harus membeli produk dari pengetahuan itu.

Mengapa kita menjadi dholim hari ini. Kita mengaku-aku kepemilikan badan kita, sampai mengaku-aku kebenaran adalah milik kita. Hari ini benar hanya akan bernilai benar jika itu bisa mendatangkan uang untuk kita. Mengapa kita tidak merespon tanda yang dikirim oleh penguasa sesungguhnya akan badan kita? Kenapa kita tidak mau mencari tahu siapa penguasa itu? Padahal tanda-tanda itu begitu nyata, penguasa itu ada dimanapun kita berada. Penguasa itu ada walaupun tidak ada satupun dari indra kita yang mendeteksi keberadaanya (ghaib), tapi tanda yang dikirimkannya bukankah sudah sangat jelas?

Apakah hanya karena pengetahuan yang kita kuasai ini masuk dalam kategori ilmu dunia, maka kita sah-sah saja melakukan jual beli atas pengetahuan itu? Apakah karena sang penguasa sejati itu tidak mampu kita indra (kita tanggkap dengan indra) kemudian kita mengikari keberadaannya? Bukankan tanda yang dikirim di tangan dan kaki kita sudah sangat jelas? Berhentilah sejenak dalam memburu dunia, dan cobalah cari tahu siapa penguasa itu.

Hari ini kita juga melihat pengaku-akuan akan kalimat tauhid. Kalimat tauhid hanya benar jika melalui aliran-aliran tertentu, kelompok-kelompok tertentu, otoritas-otoritas tertentu. Hari ini pengetahuan tentang agama juga sudah harus dibeli dari lembaga-lembaga, institusi-institusi, badan-badan, dengan begitu pengetahuan yang didapat menjadi sah dan legal, bergelar dan berhak mendapat upah darinya. Akibatnya juga muncul klaim-klaim kepemilikan akan kebenaran. Hari ini kita mengklaim bahwa kitalah pemilik kalimat tauhid tersebut. Padahal kita tahu pernyataan tegas “MilikNyalah apa yang ada di langit dan di bumi.. Mengapa hari ini kita berani-beraninya mengklaim kebenaran adalah milik kita? Mengapa hari ini kita berani-beraninya mengambil upah dari manusia lain atas pengetahuan tentang penguasa langit dan bumi? Apakah pengetahuan kita ini hanya sekedar hafalan tanpa keyakinan? Apakah kita tidak meyakini tentang kepenguasaanNya? Apakah kita tidak memperhatikan tanda yang ada pada tangan dan kaki kita juga badan kita? Padahal jika kita sampaikan pengetahuan ini (tentang penguasa langit dan bumi) kepada manusia, masih mungkin itu diingkari.

Sekarang sudah jelaslah dan terbukti bahwa Muhammad bin Abdullah bin Abdul Munthalib adalah benar-benar seorang nabi dan seorang rasul (utusan). Shalawat serta salam selalu terlimpahkan untuk Beliau dan keluarganya. Rasulullah menerangkan bahwa penguasa sesungguhnya yang memberi tanda pada tangan dan kaki kita serta tubuh kita adalah Tuhan yang memiliki langit dan bumi yaitu Allah subhanahu wa ta’ala, Allah Yang Maha Suci Lagi Maha Maha Tinggi. Bahwa Tuhan yang sebenarnya itu tidak ada sesuatu apapun yang serupa denganNya, maka penggambaran akan tuhan yang berwujud manusia, hewan, mitologi bahkan api adalah salah. Karena dengan mengambarkan tuhan berwujud manusia, hewan dan lain sebagainya itu berarti sebuah keingkaran atau penolakan bahwa tuhan yang menumbuhkan kuku, yang ada dimana saja kita berada pada kenyataanya tidak mampu kita tangkap dengan indra. Bahwa kemampuan indra kita terbatas, jika kita pergi menuju cakrawala, kemudian setelah sampai di sana kemudian kita balik badan memandang ke tempat asal kita, maka asal kita tadi menjadi cakrawala. Sangat keji jika kita menyatakan bahwa asal kita tadi tidak ada sesuatu apapun, padahal kita baru saja dari sana. Sebuah kedholiman dalam membuat simpulan karena batas indra penglihatan. Maka Allah subhanahu wa ta’ala itu ghaib (diluar batas indra kita) adalah mutlak benar.

Kenyataan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menarik upah atas semua pengetahuan dan pengajarannya, tidak pula menentukan kriteria siapa yang boleh menerima pengetahuan dan pengajarannya adalah bukti lain bahwa apa yang Beliau bawa adalah sebuah kebenaran. Beliau mempersilahkan siapa saja yang mendengar / mendapat pengetahuan dari Beliau untuk mengujinya dan tidak pernah ragu akan hasil uji tersebut. Karena yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ajarkan adalah sebuah kebenaran, maka hasil uji dari kebenaran tersebut tetaplah benar walaupun sang penguji itu mengikari hasilnya. Dengan tanpa meminta upah dan tanpa seleksi kriteria yang berhak menerima pengajaran dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah bukti juga bahwa Beliau sangat mengenal siapa pemilik langit dan bumi, penguasa sesungguhnya umat manusia.

Sudah sampai sini, silahkan kamu memikirkan jeruji-jeruji yang membatasi kita. Terserah kamu menganggapnya itu adalah batas atau bukan, kamu mau melompat bebas atau menetap di situ menerima pakan layaknya ikan dalam kolam.

Tibalah saatnya aku menyatakan dengan penuh keyakinan

“Ashadualla ilahailallah wa ashadu anna Muhammad rasulullah, Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah dan Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.”

“Ya Allah, aku mengakui Engkau adalah Tuhanku, tidak ada Tuhan selain Engkau dan aku hanyalah mahlukMu. Aku adalah pengabdiMu, dan aku setia pada janjiku kepadMu semampuku. Aku berlindung kepadaMu dari keburukanku, karena Engkaulah sebenar-benarnya penguasaku. Aku akui semua nikmatmu kepadaku dan aku akui semua kelupaanku dan kesalahanku, dosa-dosaku. Maka ampunilah aku, karena tidak ada yang bisa mengampuni dosa-dosaku kecuali Engkau. Sampaikanlah shalawat serta salam ke Nabi Muhammad beserta keluarganya.”

Aku yang diberi nama Raden Kuswanto.

The Missing Link is Zero : Empty

  This article was written in Indonesian and a little Javanese. I wrote this article using a lot of synonyms, with the intention of describi...