Tampilkan postingan dengan label balada : menemani akal. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label balada : menemani akal. Tampilkan semua postingan

Rabu, 03 Maret 2021

Balada : Menemani Akal Mengilustrasikan Tuhan

 Akal             : “Mas Kus, jika tiada ada satupun di dunia ini bahkan di alam semesta ini yang serupa dengan tuhan, lalu bagaimanakah wujud tuhan itu?”

Mas Kus       : “Maksud e piye iki Kal?”

Akal             : “Ya bentuknya atau gambarannya gitu?”

Mas Kus       : “Kenapa kamu bertanya seperti itu Kal?”

Akal             : “Biar yakin gitu mas?”

Mas Kus       : “Apakah harus dengan melihat kita baru bisa yakin bahwa sesuatu itu ada? Jika seperti itu, alangkah kasihan sekali teman-teman kita yang tuna netra.”

Akal             : “Waduh!”

Mas Kus       : “Ngene wae kal, tidak perlu jauh-jauh kita memikirkan wujud tuhan. Yang dekat dengan kita saja, apakah rasanya gula?”

Akal             : “Manis!”

Mas Kus       : “Teman kita John menyebutnya “sweet”, teman kita Abdul menyebutnya “hulwun”, dan teman kita Watanabe mengatakannya “amai”.”

Mas Kus       : “Lalu siapakah diantara kita dan ketiga teman kita yang paling benar menyebutkan tentang rasa gula?”

Mas Kus       : “Jika kita benar, apakah ketiga teman kita itu berarti salah? Atau jika salah satu teman kita benar, apakah berarti kita yang salah?”

Akal             : “Ya tidak ada yang salah Mas Kus, itu kan hanya sekedar perbedaan bahasa saja.”

Mas Kus       : “Itu karena kita sudah mengenal mereka, maka yang ada adalah toleransi.”

Mas Kus       : “Jika masing-masing bertahan pada pendapatnya sendiri-sendiri dan memaksa yang lain harus sama dengan dia, yang ada kita semua akan perang.”

Akal             : “Apakah itu berarti semuanya salah?”

Mas Kus       : “Bener jawaban sebelumnya, tidak ada yang salah. Dan juga tidak ada satupun dari kita yang tepat dalam menyebutkan rasa dari gula.”

Akal             : “Gak salah tapi yo ora pas?”

Mas Kus       : “Ngene Kal! Yang kedua bagaimana kita melihat rasa dari gula?”

Akal             : “Melihat rasa gula Mas?”

Mas Kus       : “Iya!”

Akal             : “Menggambarnya?”

Mas Kus       : “Ngene!”



Akal             : “Haha…!”

Mas Kus       : “Maka John akan menggambar seperti ini!”



Mas Kus       : “Abdul dan Watanabe gambarnya seperti ini!”




Mas Kus       : “Gambar siapakah yang paling presisi tentang rasa gula?”

Mas Kus       : “Tentu saja tidak ada gambar yang tepat untuk rasa gula, entah itu kita ataupun teman-teman kita.”

Mas Kus       : “Karena apa yang kita dengar dan apa yang kita lihat tentang rasa gula adalah hanya sebatas tafsir.”

Mas Kus       : “Itu adalah posisi KEBENARAN di sisi manusia.”

Mas Kus       : “Bahwa KEBENARAN di sisi manusia itu tergantung kesepakatan, selama sesuatu itu disepakati benar, maka itu akan dianggap benar.”

Mas Kus       : “KEBENARAN yang sesungguhnya tetang rasa gula itu adalah sama seperti  di lidah kita ataupun di lidah teman-teman kita. Dan itulah KEBENARAN yang sejati yang hanya ada di sisi Tuhan.”

Akal             : “Ok ok paham wes!”

Akal             : “Tidak ada sesuatu apapun di dunia ini atau alam semesta ini yang bisa menyerupai Tuhan!”

Mas Kus       : “Betul, hanya karena rasa gula kita sudah tahu bahwa tidak ada gambar atau suara yang pas untuk mengilustrasikannya.”

Mas Kus       : “Padahal rasanya jelas ada, hanya suara dan gambarnya yang ada saat ini hanyalah sebatas tafsir saja.”

Mas Kus       : “Jika menggambar rasa gula saja kita tidak mampu, mengapa kita repot-repot untuk melihat wujud tuhan yang jelas-jelas itu di luar jangkauan indra.”

Akal             : “Betul-betul!”

Akal             : “Maka tidak ada yang benar atas apapun perwujudan tuhan yang ada di dunia ini?”

Mas Kus       : “Tidak ada satu pun dari tuhan-tuhan yang berwujud manusia, hewan dan lainnya yang pantas untuk disebut tuhan atau dipertuhankan.”

Mas Kus       : “Piye? Masihkah kamu memaksa untuk mengilustrasikan tuhan Kal?”

Akal             : “Gak wes Mas Kus, wes cukup. Dan aku tidak perlu memejamkan mata untuk shalat hanya sekedar untuk membayangkan tuhan.”

Mas Kus       : “Nah itu, kita tidak perlu membayangkan akan wujud tuhan, sekali kita bisa menangkap wujud tuhan meskipun itu hanya terlintas di pikiran kita, itu sudah tidak pantas kita pertuhankan sesuatu yang ada di pikiran kita.”

Mas Kus       : “Karena itu berarti bahwa tuhan memiliki keterbatasan, padahal tuhan itu tak terbatas.”

Mas Kus       : “Jika yang sebatas bayangan saja batil atau salah, apalagi yang sampai diwujudkan dalam bentuk patung, gambar atau apapun itu sudah pasti salah dalam mengilustrasikan akan tuhan.”

Mas Kus       : “Karena yang seperti itu berarti sudah terbatas, bisa diukur dan diskalakan. Dan itu bukanlah sifat dari tuhan.”

Akal             : “Ok Mas Kus, cukup wes kita tidak perlu mengilustrasikan wujud tuhan karena sudah pasti salah.”

Akal             : “Cabang pertanyaannya, kenapa masih perlu menyebutkan tentang rasa gula atau menggambarkan tentang rasa gula meskipun kita tahu itu tidak tepat?”

Mas Kus       : “wekekekeke, enek cabang pertanyaan barang!”

Mas Kus       : “Sebetulnya tidak hanya sekedar tentang rasa gula saja, tapi semua itu terkait antara rasa gula dan teman-teman kita, John, Abdul, dan Watanabe.”

Mas Kus       : “Dengan menyebut atau menggambar rasa gula, kita bisa mengkomunikasikannya atau mengirim pesan atas rasa tanpa harus mengirim barangnya.”

Mas Kus       : “Kenapa antara kita dengan teman-teman kita, John, Abdul, dan Watanabe berbeda-beda suku bangsa, ras, dan bahasa?”

Akal             : “!?”

Mas Kus       : “Dengan kita mengenal teman kita, kita bisa tahu bahwa untuk menyebutkan suatu benda yang sama saja kita berbeda-beda bunyinya.”

Mas Kus       : “Karena bunyi tadi hanyalah sebatas tafsir yang kita sepakati bersama dan kita gunakan bersama diantara teman sesuku dan sebangsa.”

Mas Kus       : “Karena KEBENARAN di sisi manusia hanyalah sebatas kesepakatan bahwa itu benar selama kita sepakati seperti itu.”

Mas Kus       : “Karena KEBENARAN yang sesungguhnya itu tidak tergantung suku, ras, golongan, bangsa, warna kulit, warna rambut.”

Mas Kus       : “Bahwa KEBENARAN yang sejati hanya ada di sisi Tuhan.”

Mas Kus       : “Bahwa KEBENARAN yang sejati akan tetap benar sekalipun itu keluar dari mulut orang yang paling buruk ahlaknya.”

Akal             : “Betul-betul!”

Mas Kus       : “Kamu tahu Kal, efek samping dari penyempitan dan pendangkalan dari pemahaman tentang kebenaran?”

Akal             : “koyo piye mas?”

Mas Kus       : “Kebenaran diakui oleh orang perorang atau kelompok orang.”

Akal             : “Jeleknya dimana Mas Kus?”

Mas Kus       : “Sekelompok orang dalam jalur distribusi barang khusus, menganggap benar boleh mengambil laba lebih dari orang kebanyakkan atau orang di luar kelompoknya.”

Mas Kus       : “Menganggap kelompoknya spesial dan barang yang dijual juga spesial.”

Akal             : “Terus?”

Mas Kus       : “Jika memang benar bahwa barang yang jual itu bermanfaat, mengapa hanya diperuntukkan untuk kalangan tertentu saja?”

Mas Kus       : “Barangnya mungkin ada manfaatnya tapi hanya sedikit dan hanya pada sebagian kecil umat manusia.”

Mas Kus       : “Ada lagi seseorang atau kelompok orang yang mengajarkan tentang suatu pengetahuan, tapi mensyaratkan orang lain membayar akan pengetahuan itu.”

Mas Kus       : “Jika memang pengetahuan itu benar dan bermanfaat, tentulah harus diajarkan kepada siapun dan tanpa syarat apapun.”

Mas Kus       : “Di seminar-seminar yang mengajarkan pengetahuan tentang sesuatu hal, tetapi mensyaratkan mahar atau tiket, sudah tentu pengetahuan yang diajarkan itu sedikit benar dan sedikit manfaat.”

Mas Kus       : “Di luar seminar, pengajaran tentang pengetahuan di sekolah-sekolah dan kampus-kampus, tidaklah jauh berbeda.”

Mas Kus       : “Para pejuang telah berusaha membuka akses akan pengetahuan yang tadinya hanya untuk kalangan bangsawan saja bisa diakses oleh kalangan rakyat jelata.”

Mas Kus       : “Akses pengetahuan memang telah terbuka, tetapi masih dibatasi oleh ruang, ruang kelas, ruang laboratorium. Pengetahuan yang diajarkannya pun disekat-sekat, dibagi-bagi, dimodul-modul. Pengetahuan dipilah-pilah, dipisah-pisah dalam mata pelajaran.”

Akal             : “Ada yang tidak nyambung mas?”

Mas Kus       : “Ada! Maka kebenaran akan pengetahuan yang diajarkan itu sebagian-sebagian saja.”

Mas Kus       : “Contoh! Ketika belajar Fisika tentang planet, misalkan Bumi yang kita tempati, Fisika mengatakan bahwa bumi berotasi pada porosnya. Fisika menganggap bahwa bumi bergerak sendiri pada poros, padahal bumi adalah benda mati.”

Mas Kus       : “Sedangkan ketika belajar Biologi, bergerak itu menjadi ciri dari mahluk hidup, benda mati tidak bisa bergerak sendirinya.”

Mas Kus       : “Belajar Fisika dipisah dengan Biologi dipisah dengan Agama. Akibatnya tidak ada kata Tuhan dalam Fisika, Biologi, Kimia, dan Matematika kecuali dalam pengantarnya saja.”

Akal             : “Menurut Fisika adalah benar benda mati bisa bergerak dengan sendirinya, padahal menurut biologi hanya mahluk hidup yang bergerak dengan sendirinya.”

Mas Kus       : “Lha kuwi, benarnya yang sebagian-sebagian saja.”

Mas Kus       : “Bahkan dalam beragamapun ada kelompok-kelompok.”

Mas Kus       : “Kelompok yang satu menganggap bahwa kelompoknya yang benar dan yang lain salah, begitu pula sebaliknya.”

Mas Kus       : “Padahal itu hanyalah pilihan-pilihan saja, seperti kita menyebutkan rasa gula manis, berbeda dengan john menyebut sweet, berbeda dengan abdul dan watanabe.”

Mas Kus       : “Seharusnya yang ada adalah toleransi, karena apa yang kita anggap benar itu hanyalah sebatas kesepakatan dan sebatas tafsir saja.”

Mas Kus       : “Seperti itulah para alim ulama dalam menyikapi perbedaan pendapat, seperti kita menyikapi perbedaan dalam menyebut rasa gula.”

Mas Kus       : “Bahwa KEBENARAN yang hakiki hanyalah milik Tuhan saja, maka sikap kita terhadap sesama adalah toleransi.”

Akal             : “Sampai segitunya efek sampingnya Mas?”

Mas Kus       : “Bahkan lebih parah lagi Kal!”

Mas Kus       : “Kita telah membagi ilmu itu ada ilmu dunia ada ilmu akhirat atau agama.”

Mas Kus       : “Akibatnya, kita berfikir urusan di dunia ini tidak ada kaitanya dengan akhirat.”

Mas Kus       : “Dan juga sebaliknya, urusan akhirat hanya sebatas ibadah saja. Ketika ketika keluar dari pintu rumah ibadah artinya itu sudah urusan dunia.”

Mas Kus       : “Tuhan macam apa yang bisa kita lokalisir urusannya hanya sampai pintu rumah ibadah saja?”

Akal             : “Padahal tidak ruang bagi mahluk untuk bisa lari menghindar dari tuhannya.”

Mas Kus       : “Betul, kita telah memisahkan urusan dunia tidak ada kaitannya dengan akhirat.”

Mas Kus       : “Hidup kita secara pribadi, keluarga, bekerja, berkelompok, bernegara kita anggap terpisah dengan urusan tuhan.”

Mas Kus       : “Menjadi hal yang tabu, ketika kita melakukan pekerjaan tapi masih mengingat tuhan, menjadi aneh ketika kita hidup bernegara jika harus dikaitkan dengan tuhan.”

Mas Kus       : “Tuhan macam apa yang masih bisa kita batasi ruangnya, yang masih bisa sekat-sekat keberadaannya.”

Akal             : “Itu semua karena efek samping dari kebeneran yang parsial? Dan memaksakannya ke bagian-bagian yang lain?”

Mas Kus       : “Betul, karena itu kita harus keluar dari itu semua, kebenaran yang sebagian-sebagian. Jika kita ada di sana, kemudian janganlah kita memaksa yang lain untuk sepaham dengan kita.”

Mas Kus       : “Janganlah memaksa John berkata “Manis” ketika merasakan gula, jangan pula memaksa Abdul dan Watanabe melakukannya juga.”

Mas Kus       : “Karena semua itu hanya sebatas tafsir, dan kesepakatan bersama bahwa yang benar adalah itu.”

Mas Kus       : “Karena kebenaran sejati bukanlah manusia dan mahluk. Kebenaran sejati hanyalah milik Allah subhanahu wa ta’ala.”

Mas Kus       : “Bahwa tidak ada yang benar tetang segala sesuatu perwujudan atau pengilustrasian akan Tuhan.”

Mas Kus       : “Mari kita hanya sujud dan sembah Tuhan yang satu, Allah subhanahu wa ta’ala.”

Akal             : “Baik Mas, cukup dan terima kasih.”


The Missing Link is Zero : Empty

  This article was written in Indonesian and a little Javanese. I wrote this article using a lot of synonyms, with the intention of describi...