Akal : “Mas Kus, jika tiada ada satupun di dunia ini bahkan di alam semesta ini yang serupa dengan tuhan, lalu bagaimanakah wujud tuhan itu?”
Mas Kus : “Maksud e piye iki Kal?”
Akal : “Ya bentuknya atau gambarannya
gitu?”
Mas Kus : “Kenapa kamu bertanya seperti itu Kal?”
Akal : “Biar yakin gitu mas?”
Mas Kus : “Apakah harus dengan melihat kita baru
bisa yakin bahwa sesuatu itu ada? Jika seperti itu, alangkah kasihan sekali
teman-teman kita yang tuna netra.”
Akal : “Waduh!”
Mas Kus : “Ngene wae kal, tidak perlu jauh-jauh
kita memikirkan wujud tuhan. Yang dekat dengan kita saja, apakah rasanya gula?”
Akal : “Manis!”
Mas Kus : “Teman kita John menyebutnya “sweet”,
teman kita Abdul menyebutnya “hulwun”, dan teman kita Watanabe mengatakannya
“amai”.”
Mas Kus : “Lalu siapakah diantara kita dan ketiga
teman kita yang paling benar menyebutkan tentang rasa gula?”
Mas Kus : “Jika kita benar, apakah ketiga teman
kita itu berarti salah? Atau jika salah satu teman kita benar, apakah berarti
kita yang salah?”
Akal : “Ya tidak ada yang salah Mas Kus,
itu kan hanya sekedar perbedaan bahasa saja.”
Mas Kus : “Itu karena kita sudah mengenal mereka,
maka yang ada adalah toleransi.”
Mas Kus : “Jika masing-masing bertahan pada
pendapatnya sendiri-sendiri dan memaksa yang lain harus sama dengan dia, yang
ada kita semua akan perang.”
Akal : “Apakah itu berarti semuanya
salah?”
Mas Kus : “Bener jawaban sebelumnya, tidak ada
yang salah. Dan juga tidak ada satupun dari kita yang tepat dalam menyebutkan
rasa dari gula.”
Akal : “Gak salah tapi yo ora pas?”
Mas Kus
: “Ngene Kal! Yang kedua bagaimana
kita melihat rasa dari gula?”
Akal : “Melihat rasa gula Mas?”
Mas Kus : “Iya!”
Akal : “Menggambarnya?”
Mas Kus : “Ngene!”
Akal : “Haha…!”
Mas Kus : “Maka John akan menggambar seperti
ini!”
Mas Kus : “Abdul dan Watanabe gambarnya seperti
ini!”
Mas Kus : “Gambar siapakah yang paling presisi
tentang rasa gula?”
Mas Kus : “Tentu saja tidak ada gambar yang tepat
untuk rasa gula, entah itu kita ataupun teman-teman kita.”
Mas Kus : “Karena apa yang kita dengar dan apa
yang kita lihat tentang rasa gula adalah hanya sebatas tafsir.”
Mas Kus : “Itu adalah posisi KEBENARAN di sisi
manusia.”
Mas Kus : “Bahwa KEBENARAN di sisi manusia itu
tergantung kesepakatan, selama sesuatu itu disepakati benar, maka itu akan
dianggap benar.”
Mas Kus : “KEBENARAN yang sesungguhnya tetang
rasa gula itu adalah sama seperti di
lidah kita ataupun di lidah teman-teman kita. Dan itulah KEBENARAN yang sejati
yang hanya ada di sisi Tuhan.”
Akal : “Ok ok paham wes!”
Akal : “Tidak ada sesuatu apapun di
dunia ini atau alam semesta ini yang bisa menyerupai Tuhan!”
Mas Kus : “Betul, hanya karena rasa gula kita
sudah tahu bahwa tidak ada gambar atau suara yang pas untuk
mengilustrasikannya.”
Mas Kus : “Padahal rasanya jelas ada, hanya suara
dan gambarnya yang ada saat ini hanyalah sebatas tafsir saja.”
Mas Kus : “Jika menggambar rasa gula saja kita
tidak mampu, mengapa kita repot-repot untuk melihat wujud tuhan yang
jelas-jelas itu di luar jangkauan indra.”
Akal : “Betul-betul!”
Akal : “Maka tidak ada yang benar atas
apapun perwujudan tuhan yang ada di dunia ini?”
Mas Kus : “Tidak ada satu pun dari tuhan-tuhan
yang berwujud manusia, hewan dan lainnya yang pantas untuk disebut tuhan atau
dipertuhankan.”
Mas Kus : “Piye? Masihkah kamu memaksa untuk
mengilustrasikan tuhan Kal?”
Akal : “Gak wes Mas Kus, wes cukup. Dan
aku tidak perlu memejamkan mata untuk shalat hanya sekedar untuk membayangkan
tuhan.”
Mas Kus : “Nah itu, kita tidak perlu membayangkan
akan wujud tuhan, sekali kita bisa menangkap wujud tuhan meskipun itu hanya
terlintas di pikiran kita, itu sudah tidak pantas kita pertuhankan sesuatu yang
ada di pikiran kita.”
Mas Kus : “Karena itu berarti bahwa tuhan
memiliki keterbatasan, padahal tuhan itu tak terbatas.”
Mas Kus : “Jika yang sebatas bayangan saja batil
atau salah, apalagi yang sampai diwujudkan dalam bentuk patung, gambar atau
apapun itu sudah pasti salah dalam mengilustrasikan akan tuhan.”
Mas Kus : “Karena yang seperti itu berarti sudah
terbatas, bisa diukur dan diskalakan. Dan itu bukanlah sifat dari tuhan.”
Akal : “Ok Mas Kus, cukup wes kita tidak
perlu mengilustrasikan wujud tuhan karena sudah pasti salah.”
Akal : “Cabang pertanyaannya, kenapa
masih perlu menyebutkan tentang rasa gula atau menggambarkan tentang rasa gula
meskipun kita tahu itu tidak tepat?”
Mas Kus : “wekekekeke, enek cabang pertanyaan barang!”
Mas Kus : “Sebetulnya tidak hanya sekedar tentang
rasa gula saja, tapi semua itu terkait antara rasa gula dan teman-teman kita,
John, Abdul, dan Watanabe.”
Mas Kus : “Dengan menyebut atau menggambar rasa
gula, kita bisa mengkomunikasikannya atau mengirim pesan atas rasa tanpa harus
mengirim barangnya.”
Mas Kus : “Kenapa antara kita dengan teman-teman
kita, John, Abdul, dan Watanabe berbeda-beda suku bangsa, ras, dan bahasa?”
Akal : “!?”
Mas Kus : “Dengan kita mengenal teman kita, kita
bisa tahu bahwa untuk menyebutkan suatu benda yang sama saja kita berbeda-beda
bunyinya.”
Mas Kus : “Karena bunyi tadi hanyalah sebatas
tafsir yang kita sepakati bersama dan kita gunakan bersama diantara teman
sesuku dan sebangsa.”
Mas Kus : “Karena KEBENARAN di sisi manusia
hanyalah sebatas kesepakatan bahwa itu benar selama kita sepakati seperti itu.”
Mas Kus : “Karena KEBENARAN yang sesungguhnya itu
tidak tergantung suku, ras, golongan, bangsa, warna kulit, warna rambut.”
Mas Kus : “Bahwa KEBENARAN yang sejati hanya ada
di sisi Tuhan.”
Mas Kus : “Bahwa KEBENARAN yang sejati akan tetap
benar sekalipun itu keluar dari mulut orang yang paling buruk ahlaknya.”
Akal : “Betul-betul!”
Mas Kus : “Kamu tahu Kal, efek samping dari
penyempitan dan pendangkalan dari pemahaman tentang kebenaran?”
Akal : “koyo piye mas?”
Mas Kus : “Kebenaran diakui oleh orang perorang
atau kelompok orang.”
Akal : “Jeleknya dimana Mas Kus?”
Mas Kus : “Sekelompok orang dalam jalur
distribusi barang khusus, menganggap benar boleh mengambil laba lebih dari
orang kebanyakkan atau orang di luar kelompoknya.”
Mas Kus : “Menganggap kelompoknya spesial dan
barang yang dijual juga spesial.”
Akal : “Terus?”
Mas Kus : “Jika memang benar bahwa barang yang
jual itu bermanfaat, mengapa hanya diperuntukkan untuk kalangan tertentu saja?”
Mas Kus : “Barangnya mungkin ada manfaatnya tapi hanya
sedikit dan hanya pada sebagian kecil umat manusia.”
Mas Kus : “Ada lagi seseorang atau kelompok orang
yang mengajarkan tentang suatu pengetahuan, tapi mensyaratkan orang lain
membayar akan pengetahuan itu.”
Mas Kus : “Jika memang pengetahuan itu benar dan
bermanfaat, tentulah harus diajarkan kepada siapun dan tanpa syarat apapun.”
Mas Kus : “Di seminar-seminar yang mengajarkan
pengetahuan tentang sesuatu hal, tetapi mensyaratkan mahar atau tiket, sudah
tentu pengetahuan yang diajarkan itu sedikit benar dan sedikit manfaat.”
Mas Kus : “Di luar seminar, pengajaran tentang
pengetahuan di sekolah-sekolah dan kampus-kampus, tidaklah jauh berbeda.”
Mas Kus : “Para pejuang telah berusaha membuka
akses akan pengetahuan yang tadinya hanya untuk kalangan bangsawan saja bisa
diakses oleh kalangan rakyat jelata.”
Mas Kus : “Akses pengetahuan memang telah
terbuka, tetapi masih dibatasi oleh ruang, ruang kelas, ruang laboratorium. Pengetahuan
yang diajarkannya pun disekat-sekat, dibagi-bagi, dimodul-modul. Pengetahuan dipilah-pilah,
dipisah-pisah dalam mata pelajaran.”
Akal : “Ada yang tidak nyambung mas?”
Mas Kus : “Ada! Maka kebenaran akan pengetahuan
yang diajarkan itu sebagian-sebagian saja.”
Mas Kus : “Contoh! Ketika belajar Fisika tentang
planet, misalkan Bumi yang kita tempati, Fisika mengatakan bahwa bumi berotasi
pada porosnya. Fisika menganggap bahwa bumi bergerak sendiri pada poros,
padahal bumi adalah benda mati.”
Mas Kus : “Sedangkan ketika belajar Biologi,
bergerak itu menjadi ciri dari mahluk hidup, benda mati tidak bisa bergerak
sendirinya.”
Mas Kus : “Belajar Fisika dipisah dengan Biologi
dipisah dengan Agama. Akibatnya tidak ada kata Tuhan dalam Fisika, Biologi,
Kimia, dan Matematika kecuali dalam pengantarnya saja.”
Akal : “Menurut Fisika adalah benar
benda mati bisa bergerak dengan sendirinya, padahal menurut biologi hanya
mahluk hidup yang bergerak dengan sendirinya.”
Mas Kus : “Lha kuwi, benarnya yang
sebagian-sebagian saja.”
Mas Kus : “Bahkan dalam beragamapun ada
kelompok-kelompok.”
Mas Kus : “Kelompok yang satu menganggap bahwa
kelompoknya yang benar dan yang lain salah, begitu pula sebaliknya.”
Mas Kus : “Padahal itu hanyalah pilihan-pilihan
saja, seperti kita menyebutkan rasa gula manis, berbeda dengan john menyebut
sweet, berbeda dengan abdul dan watanabe.”
Mas Kus : “Seharusnya yang ada adalah toleransi,
karena apa yang kita anggap benar itu hanyalah sebatas kesepakatan dan sebatas
tafsir saja.”
Mas Kus : “Seperti itulah para alim ulama dalam
menyikapi perbedaan pendapat, seperti kita menyikapi perbedaan dalam menyebut
rasa gula.”
Mas Kus : “Bahwa KEBENARAN yang hakiki hanyalah
milik Tuhan saja, maka sikap kita terhadap sesama adalah toleransi.”
Akal : “Sampai segitunya efek sampingnya
Mas?”
Mas Kus : “Bahkan lebih parah lagi Kal!”
Mas Kus : “Kita telah membagi ilmu itu ada ilmu
dunia ada ilmu akhirat atau agama.”
Mas Kus : “Akibatnya, kita berfikir urusan di
dunia ini tidak ada kaitanya dengan akhirat.”
Mas Kus : “Dan juga sebaliknya, urusan akhirat
hanya sebatas ibadah saja. Ketika ketika keluar dari pintu rumah ibadah artinya
itu sudah urusan dunia.”
Mas Kus : “Tuhan macam apa yang bisa kita
lokalisir urusannya hanya sampai pintu rumah ibadah saja?”
Akal : “Padahal tidak ruang bagi mahluk
untuk bisa lari menghindar dari tuhannya.”
Mas Kus : “Betul, kita telah memisahkan urusan
dunia tidak ada kaitannya dengan akhirat.”
Mas Kus : “Hidup kita secara pribadi, keluarga,
bekerja, berkelompok, bernegara kita anggap terpisah dengan urusan tuhan.”
Mas Kus : “Menjadi hal yang tabu, ketika kita
melakukan pekerjaan tapi masih mengingat tuhan, menjadi aneh ketika kita hidup
bernegara jika harus dikaitkan dengan tuhan.”
Mas Kus : “Tuhan macam apa yang masih bisa kita
batasi ruangnya, yang masih bisa sekat-sekat keberadaannya.”
Akal : “Itu semua karena efek samping
dari kebeneran yang parsial? Dan memaksakannya ke bagian-bagian yang lain?”
Mas Kus : “Betul, karena itu kita harus keluar
dari itu semua, kebenaran yang sebagian-sebagian. Jika kita ada di sana,
kemudian janganlah kita memaksa yang lain untuk sepaham dengan kita.”
Mas Kus : “Janganlah memaksa John berkata “Manis”
ketika merasakan gula, jangan pula memaksa Abdul dan Watanabe melakukannya
juga.”
Mas Kus : “Karena semua itu hanya sebatas tafsir,
dan kesepakatan bersama bahwa yang benar adalah itu.”
Mas Kus : “Karena kebenaran sejati bukanlah
manusia dan mahluk. Kebenaran sejati hanyalah milik Allah subhanahu wa ta’ala.”
Mas Kus : “Bahwa tidak ada yang benar tetang
segala sesuatu perwujudan atau pengilustrasian akan Tuhan.”
Mas Kus : “Mari kita hanya sujud dan sembah Tuhan
yang satu, Allah subhanahu wa ta’ala.”
Akal : “Baik Mas, cukup dan terima
kasih.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar