Tampilkan postingan dengan label Filosofi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Filosofi. Tampilkan semua postingan

Senin, 16 Oktober 2023

Filosofi Telur


Sebuah Peristiwa di kadang ayam.

 

Di sebuah kadang hiduplah seekor anak ayam betina. Tumbuhlah ayam itu hingga dewasa dan siap bertelur. Kemudian pemilik ayam membuatkan sarang untuknya, dan tentu saja ada saja ayam jago yang datang menemani si ayam betina setiap harinya. Hingga suatu peristiwa itu terjadi, si jago membuahi ayam betina. Si ayam betina merasa mulas-mulas tanda ada telur yang siap keluar, kemudian ia siap-siap bertelur di  sarang yang sudah disiapkan. Cukup lama si ayam betina di sarang, kemudian terdengar bunyi ‘petok-petok’ cukup keras dari si ayam betina. “Entah ia bahagia, kemudian ia bersyukur dan ingin memberi tahukan ke pemiliknya, atau ia kaget ada telur keluar dari kloakanya.”

Mungkin karena risih dan berisik, Pemilik ayam tersebut komentar dengan cukup keras. “Heh!! Lek wes metu, yo uwes, meneng! Ojo rame ae!” Hahaha, ada-ada saja pemilik ayam itu. Tapi tetap saja si ayam petok-petok sampai berhenti dengan sendirinya. Mungkin sudah puas atau sudah cukup hitungannya.

Hari berganti, waktupun berlalu, dimana setiap hari ayam betina itu terus bertelur, juga ‘petok-petok’ setiap selesai bertelur. Pemilik ayam juga sudah tidak lagi berkomentar. Mungkin sudah terbiasa mendengar ayamnya petok-petok setiap hari. Setelah semua telur yang dikandung si ayam betina telah dikeluarkan dan ia memutuskan untuk mengerami telur-telurnya itu. Si ayam betina mengerami telurnya dengan berdiam diri di sarangnya, tidak mengeluarkan suara, tidak makan, dan hanya diam saja. Hal itu dilakukan setiap hari, dan Si ayam hanya sehari sekali turun sebentar untuk makan sekedarnya saja, hanya cukup untuk menyambung hidupnya saja. Kemudian ia melanjutkan lagi aktivitasnya mengerami telur-telurnya.

Itulah peristiwa yang terjadi di sebuah kandang ayam. Hanya itu dan tidak ada yang istimewa di peristiwa tersebut. Hanya ayam yang bertelur kemudian mengerami telur-telurnya. Sudah, ya itu saja. Bagaimana jika kita mencoba  membuka cakrawala wawasan yang lebih luas? Kita coba melihat pesan yang ada dibalik induk ayam dan telurnya. Ayo kamu ikuti aku dalam petualangan wawasan.

Kita mulai petualangan kita mulai dari telur. Telur bentuknya bulat, dan statusnya mati. Telur adalah benda mati karena telur tidak bisa bergerak, bernapas, tidak tumbuh, dan sebagainya. Tidak ada tanda-tanda mahluk hidup pada telur. Maka ketika si ayam betina bersuara petok-petok setelah bertelur, telurnya tetap diam saja. Itulah telur, fisiknya tertutup cangkang, sifatnya mati, maka tidak akan merespon apapun rangsang dari luar. Ia (telur) hanya akan bereaksi sendiri ketika induk ayam mulai mengeraminya.

Mari kita lihat diri kita, adakah fase telur ada dalam diri kita? Maksudnya adalah keadaan dimana diri kita tidak menerima seruan, menolak saran, mengabaikan masukan, marah pada kritik. Kita memang status adalah mahluk hidup, mahluk maksudnya ciptaan. Ciptaan karena kita hanya mendapati / menemukan diri kita tiba-tiba ada di dunia ini. Kita tidak pernah merencanakan siapa bapak kita, kita tidak pernah bisa memilih terlahir dari ibu yang mana. Kita semua hanya menemukan diri kita tiba-tiba sudah ada di dunia, kemudian sering berjalannya waktu kita belajar mencoba mengendalikan badan ini dengan semua anggota badannya. Seiring mahirnya kita mengendalikan badan ini, kita mulai mengaku-aku tangan ini tangan kita, kaki ini kaki kita, mata ini mata kita, mulut ini mulut kita. Semakin kita tumbuh, semakin banyak yang kita akui milik kita, pakaian ini pakaian kita, rumah ini rumah kita, tanah ini tanah kita, negeri ini negeri kita. Semakin jauh kita melangkah semakin banyak yang kita aku-aku sebagai milik kita.

Ingatlah kawan, kita yang menemukan diri kita tiba-tiba hidup tanpa pernah merencanakannya, maka ada Sang Pengedali sesungguhnya terhadap diri kita dan jagat raya ini. Ingatlah kawan status kita hanyalah mahluk hidup, mahluk yang artinya ciptaan maka butuh adanya Sang Pencipta untuk bisa ada. Ya, Pencipta benar adanya, semua hal disekitar kita ini nyata adanya begitu pula dengan Sang Pencipta itu benar-benar Wujud nyata adanya. Kita yang menemukan diri kita tiba-tiba sudah hidup, maka fase yang kita lalui sebelum ini adalah mati. Siapakah yang mampu memberikan kehidupan kepada kita? Dialah Sang Pencipta, Sang Maha Hidup, dariNya semua kehidupan di dunia ini berasal. Maka semua kehidupan yang kita jalani ini pasti akan kembali kepada Sang Pemberi Kehidupan, Dialah Sang Pencipta, Dialah Tuhan. Masihkah kita ingkar akan adanya Tuhan?

Kawan, sebagai manusia kita tentu berbeda dengan ayam. Perbedaannya adalah kita diberi akal oleh sang pencipta, sedangkan ayam tidak, yang artinya ayam menjalankan hidupnya otomatis tanpa diberikan kesadaran, tanpa berfikir, tanpa akal dan mengakali. Manusia berbeda, dia dibekali kesadaran, diberikan akal, dan bebas menentukan pilihan, bebas menolak, bebas menerima. Dalam arti lain manusia melewati dua kali fase tertutup / tercangkang / kafir / cover, dan dua kali fase hidup / terbuka / terlahir selama di dunia ini. Karena sebab akal itu tadi, maka ada dua fase tersebut.

Fase tertutup / mati pertama

Fase tertutup pertama manusia atau fase mati, fase tercangkang, fase kafir, fase cover adalah ketika manusia belum menjadi sesuatu, masih dalam bentuk zygot atau sel telur atau masih sekedar sari-pati makanan. Dimana di fase ini manusia masih bagian benda mati, zat mati yang artinya ia tidak menerima rangsang, tidak mendengar seruan, bergeraknya karena digerakan oleh rangsangan dari luar. Fase ini terus berkembang sampai memasuki fase hidup, tetapi tetap terkurung / tertutup dalam Rahim ibunya. Tentu saja fase ini tidak pernah terasa bagi kita, karena pada fase itu kita statusnya masih mati, dan kita tidak mengingat sesuatu apapun dalam fase ini. Walaupun ada penelitian kita bisa menerima rangsang ketika distimulus oleh ibu saat dalam kandungan pada usia kandungan tertentu. Tetap saja hasil penelitian itu bukanlah kebenaran mutlak, tapi juga tidak sepenuhnya salah. Masih diantara bisa iya benar, bisa juga tidak. Kemudian ketika kita terlahir maka kita telah memaksuki fase hidup pertama.

Fase hidup pertama

Fase hidup pertama adalah ketika terlahir sebagai anak dari ibu dan bapak kita. Ya kita telah terlahir dan hidup, kita sudah bisa menerima rangsangan dari luar, kita sudah merespon rangsangan itu, kita mulai menjawab seruan / panggilan dari ibu dan bapak kita. Ketika kamu membaca artikel ini bisa dipastikan kamu sudah ada pada fase hidup pertama ini. Dalam fase ini kita melakukan semua ciri-ciri aktivitas hidup. kita bernapas, kita makan, kita minum, kita bergerak, kita tumbuh dan berkembang. Semakin tumbuh besar badan kita, kita juga mulai tertarik dengan lawan jenis yang artinya ada naluri untuk mempertahankan kelangsungan hidup dengan menurunkan keturunan baru. Tetapi pada saat yang bersamaan kita juga telah memasuk fase tertutup / terkurung / mati / kafir / cover kedua.

Fase tertutup / mati kedua

Setelah Fase hidup yang pertama, kita juga telah memasuki fase tertutup / mati yang kedua dikarenakan akal kita. Memang kita telah hidup, tapi pada kenyataanya hidup kita masih terkurung / tertutup / tercangkang dalam kolong langit. Kita juga masih terkurung dalam jagat raya yang artinya dalam fase hidup pertama ini kita juga terkurung / tertutup / kafir / cover yang berlapis-lapis. Belum lagi kita juga terkurung dalam jasad / badan kita. Badan kita dibekali oleh indra yang kemampuannya terbatas. Jauhnya jangkakuan mata kita melihat terbatas, begitu juga dekatnya juga terbatas. Besarnya ukuran benda yang kita lihat juga bisa menjadi pembatas mata melihat, terlalu kecilnya ukuran sebuah benda juga tidak bisa kita lihat. Sekalipun kita meretas batas-batas kemampuan indra kita, tetapnya itu masih juga dalam batas-batas tertentu saja.

Secara akal kita juga masih tertutup / mati, ketika kita yang mempercayai bahwa yang ada hanyalah segala sesuatu yang bisa kita terima rangsangnya melalui semua indra kita. Kita tidak bisa percaya jika sesuatu itu tidak kita saksikan sendiri melalui indra kita. Secara pemikiran kita juga masih tertutup / mati / kafir, jika hanya menganggap pemikiran / pendapat kitalah yang benar, sedangkan pendapat orang lain salah, atau kita menganggap jika sesuatu itu tidak bisa diturunkan ciri-cirinya secara ilmiah maka itu salah dan tidak patut untuk dipercayai. Kita juga masih kafir / tertutup / mati ketika belum bisa menerima pendapat orang lain, kita belum bisa menerima sudut pandang orang, kita belum bisa membebaskan akal kita dari cara berfikir dalam batasan indra. Maka untuk hidup lagi dalam fase yang kedua kita harus mulai membuka akal, mencoba melihat sesuatu lebih dari satu sisi, mengukur dengan berbagai alat ukur, dan menerima pemikiran orang lain. Kita harus membebaskan akal dari penjara / batasan indra, kita harus membebaskan akal untuk berfikir jauh melebihi batasan jangkauan tangan dan kaki kita. Maka pada saat itu kita ada dalam detik-detik memasuki fase hidup yang kedua. Pada fase mati kedua ini adalah mati secara akal atau metafisika, jasad kita hidup selayaknya mahluk hidup tapi secara akal / pemikiran kita masih mati belum terbuka. Fase mati kedua ini adalah mati dalam jasad yang hidup. Kita hidup secara fisik, hidup di derajat satu, tapi kita masih tertutup / mati secara akal, mati di derajat dua.

Fase hidup yang kedua

Fase hidup yang kedua ini juga kita jalani bersamaan dengan fase hidup yang pertama, artinya ketika kita menjalani fase hidup yang pertama, kita hidup secara jasad, secara raga, tapi disaat yang sama kita juga memulai fase mati pertama secara akal, jika kita berkembang secara akal maka kita juga akan memasuki fase hidup yang kedua. Fase hidup yang kedua bermula ketika kita sudah mulai terbuka secara akal. Terbuka terhadap cara pandang, kita sudah mulai memandang segala sesuatu minimal dari dua sisi. Kita mulai menerima masukan, pandangan dari orang lain. Kita akan benar-benar terlahir hidup secara akal ketika kita menerima adanya keberadaan Tuhan. Ketika kita sadar yang awalnya kita mati kemudian tahu-tahu kita sudah hidup sebagai manusia, saat pertanyaan siapakah pemberi kehidupan sesungguhnya? Ya itulah Tuhan. Ketika kita bisa menerima bahwa ada sesuatu yang memulai segalanya yaitu Tuhan, maka pada saat itu kita terlahir untuk yang kedua kalinya. Pada saat itu kita telah hidup secara metafisika yang artinya kita hidup di derajat dua kehidupan. Status kita hidup (secara akal, secara metafisika) pada jasad yang hidup (fisik).

Pada saat kita telah terlahir pada fase kedua ini, kita hanya menyakini adanya Zat / Sesuatu yang memulai semuanya, yang mengendalikan semuanya, yang mengerakkan semuanya yaitu Tuhan. Pada saat yang sama kita dihadapkan dengan banyaknya pilihan akan bertuhan. Lalu Tuhan yang mana yang sebenar-benarnya Tuhan? Untuk mengetahui Tuhan yang sebenar-benarnya Tuhan, tentu saja kita harus mengujinya. Mengujinya dalam artian menetapkan standar nilai, bahwa sesuatu itu memang benar layak dan memenuhi syarat disebut sebagai Tuhan. Tentu saja syarat pertama Tuhan itu wajib ada “Wujud”, karena ini juga menjadi syarat untuk kita terlahir di fase hidup kedua ini. Kemudian untuk menentukan Tuhan yang benar kita harus melakukan beberapa uji dengan akal kita, karena kenyataannya ternyata setelah kita terlahir, kita juga mendapati begitu banyak pilihan bertuhan, dan juga mendapati berbagai umat pemeluk agama, dimana semua pemeluk agama itu juga bertuhan. Baik mari kita ikuti beberapa uji berikut, untuk mendapatkan  standar nilai bahwa sesuatu bisa dikatakan Tuhan, atau Tuhan itu harusnya memenuhi standar nilai tersebut.

Uji pertama

Uji pertama kita lakukan dengan bekal perangkat yang menyertai, melekat pada diri kita yaitu panca indra. Kelima indra kita, telinga, mata, hidung, mulut / lidah, dan kulit, dari semua indra yang menyertai kita, kelima-limanya bekerja secara terbatas. Di Luar batas indra itu, kita tahu di sana ada sesuatu yang sama dengan yang bisa kita lihat saat ini. Untuk melihat sesuatu yang ada di luar batas indra, kita butuh meretas batas itu. Cara paling mudah meretas batas indra adalah dengan berjalan mendekati sampai batas di mana indra kita (mata) bisa melihat. Setelah kita mendekat sampai batas jangkauan indra (cakrawala), ternyata di sana ada sesuatu yang sama dengan yang ada di awal kita melihat tadi, sedangkan awal kita mulai tadi sekarang juga telah menjadi cakrawala. Cara kedua meretas batas indra adalah dengan mengunakan alat, untuk meretas jangkauan jauhnya batas indra kita bisa menggunakan teropong, untuk meretas batas kecilnya benda yang kita lihat kita menggunakan mikroskop. Tetapi tetap saja, dengan meretas batas indra, yang kita temui dari hasil meretas itu tetaplah mahluk (ciptaan), sedangkan Tuhan itu kita sadari ada diluar batas-batas indra, maka standar nilai yang bisa kita pakai adalah Tuhan itu tak terbayangkan atau tak tercitra.

Tuhan itu ada, tentu saja kita harus membebaskan akal kita dari batasan kemampuan indra. Karena selama akal masih saja dipaksa bekerja dalam batasan indra, maka semua yang kita temui tetaplah mahluk (ciptaan), sedangkan Tuhan sang Pencipta itu di luar batas itu, tak terjangkau oleh indra. Maka Tuhan itu haruslah tidak terbayangkan, tak tercitra, ini adalah standar nilai pertama yang bisa turunkan dari uji pertama ini.

Tuhan itu tak terbayangkan, tak tercitra, tak tampak oleh mata, tak terjangkau oleh kelima indra. Tuhan itu mutlak Ghaib.

Uji kedua

Uji kedua menetapkan standar nilai untuk menyatakan bahwa sesuatu itu bisa kita sebut sebagai Tuhan, kita sudah tidak lagi menggunakan panca indra, tetapi dengan membebaskan akal kita untuk berfikir dan berlogika untuk menetapkan standar nilai dari hasil uji pertama (uji indra). Karena sesuatu yang kita sebut Tuhan itu ada di luar batas indra, maka tuhan itu harusnya tak terbatas, tak hingga, tak terkira. Logikanya adalah ketika kita meretas batas indra, yang kita temui dari retasan batasan itu tetaplah mahluk, maka seberapapun kita mencoba meretas batas indra, Tuhan itu di luar batas itu. Maka Tuhan itu haruslah tak terbatas, tak hingga, tak terkira, ini adalah standar nilai kedua untuk menyatakan sesuatu itu layak disebut Tuhan.

Tuhan itu tak terbatas, tak hingga, tak terkira. Tuhan itu Maha Besar.

Uji Ketiga

Semua hal yang kita temukan dengan panca indra tanpa meretas batasnya ataupun dengan meretas batasannya itu semua adalah mahluk. Semua mahluk yang ada memiliki batasan ukurannya sendiri-sediri. Mahluk-mahluk itu berkumpul dan berkelompok dalam ruang atauapun membentuk ruang. Mahluk terbesar yang kita temukan dengan panca indra adalah ruang. Selain itu, mahluk-mahluk itu juga terikat / terpenjara dalam batasan waktu. Maka ruang dan waktu itu adalah mahluk terbesar yang saling berpasangan yang dapat kita sadari dengan logika akal kita. Tuhan itu haruslah tak terpenjara dalam ruang dan tak terikat oleh waktu, Tuhan itu harusnya bebas, sebebas-bebasnya. Ini adalah standar nilai yang ketiga untuk menyatakan sesuatu itu layak disebut Tuhan.

Tuhan itu tak terpenjara dalam ruang dan tak terikat oleh waktu.

Uji Keempat

Semua hal yang bisa kita amati dengan panca indra bersifat fisik, atau dampak dari prilaku fisika. Maka panca indra kita bekerja secara fisika, kita juga terjebak dalam tubuh yang bersifat fisik. Maka Tuhan itu harus ada sebelum fisik / fisika ada. Tuhan itu haruslah prafisik, Tuhan itu haruslah metafisika. Ketika ruang tempat tinggal kita bersifat fisik (jasad), dan status benda fisika itu mati. Sedangkan kita tahu bahwa saat ini kita hidup. Maka Tuhan itu juga harus Maha Hidup, Maha Awal, dan Maha Akhir. Karena semua kehidupan ini nyata adanya, dan Hidup hanya bisa berawal dari yang hidup.

Tuhan itu harusnya Prafisika / Metafisika (Ghaib), Tuhan Itu Maha Awal, Tuhan itu Maha Hidup (tidak pernah mati). Tuhan itu menghidupkan mahluk, Tuhan itu mematikan mahluk, Tuhan itu Maha Akhir.

Uji Kelima

Jagat raya / semesta adalah ruang terbesar yang masih bisa kita amati dengan indra kita. Jagat raya adalah mahluk terbesar yang bisa kita amati dengan indra kita, ada sejumlah aturan yang menjadikan dari prafisik menjadi fisik, ada sejumlah aturan yang membuat dari fisik (mati) menjadi hidup (hayat). Dan hal seperti itu yang bisa dilakukan oleh Tuhan, maka Tuhan Sang Pencipta kuasa melakukan segala sesuatu, Tuhan Sang Pencipta itu Berkuasa atas segala sesuatu.

Tuhan Sang Pencipta kuasa melakukan segala sesuatu, Tuhan Sang Pencipta itu Berkuasa atas segala sesuatu.

Uji Keenam

Jagat raya adalah ruang terbesar yang memenjarakan kita, jasad adalah penjara terhebat diri kita, sedangkan waktu adalah belengku terkuat yang mengikat kita. Kita tahu jagat raya itu adalah ciptaan karena perlu diadakan, sedang jagat raya itu berfungsi sebagai ruang dan berpasangan dengan waktu. Maka Tuhan itu berbeda dari itu, Tuhan itu harus satu. Tuhan tidak boleh dua, tiga, ataupun banyak.

Mengapa Tuhan harus satu ? kita gunakan matematika untuk menguji mengapa Tuhan harus satu.

1 adalah satu

2 adalah 1 X 2 (satu kali dua)

3 adalah 1 X 3 (satu kali tiga)

4 adalah 1 X 4, 2 X 2 (satu kali empat atau dua kali dua)

5 adalah 1 X 5 (satu kali lima)

6 adalah 1 X 6, 2 X 3 (satu kali enam atau dua kali tiga)

...

20 adalah 1 X 20, 2 X 10, 4 X 5 ( satu kali dua puluh atau dua kali sepuluh atau empat kali lima, dan seterusnya

Uraian di atas adalah faktor pembentukan bilangan, ketika melihat dua, yang kita lihat hanya dua, tetapi sejatinya bahwa itu ada satu di sana, tapi tidak pernah dituliskan. Ketika melihat tiga, sejatinya ada satu di sana tapi tidak pernah dituliskan, ketika melihat empat sejatinya ada satu di sana, tetapi empat juga bisa disusun oleh dua dan dua. Begitu pula dengan lima, enam, dua puluh dan seterusnya.

Dua mahluk terbesarnya adalah ruang dan waktu, sampai yang kecilnya adalah pasangan-pasangan dari mahluk pengisi ruang dan waktu. Tiga adalah bentuk fisik zat penyusun ruang yaitu padat, cair dan gas. Dua, tiga, empat adalah simbolisasi dari mahluk penghuni jagat raya. Dua, tiga, empat, lima, enam, dan seterusnya simbol dari mahluk (ciptaan).

Dua ada disebabkan karena satu, dua diciptakan langsung oleh satu. Tiga ada disebabkan oleh satu, tiga diciptakan langsung oleh satu. Empat ada disebabkan oleh satu, atau disusun oleh dua dan dua, dan seterusnya. Semua bilangan pasti ada sebab / faktor dengan satu. Di saat yang sama ketika kita melihat angka itu, dua, tiga, empat, lima, enam, dan seterusnya, satu ada tapi tidak pernah dituliskan. Satu adalah faktor dari semua bilangan, sedangkan dua hanya bisa menjadi faktor dari bilangan tertentu. Contoh bilangan yang faktornya bisa dari dua yaitu empat, enam, delapan, sepuluh, dan seterusnya. Tiga hanya bisa menjadi faktor dari bilangan tertentu juga contohnya enam, sembilan, dua belas, lima belas dan seterunya. Selanjutnya pun demikian. Maka hanya satu, standar nilai yang bisa menjadi faktor / sebab bilangan lain. Maka Tuhan itu wajib satu, dan hanya angka satu yang memenuhi kriteria standar nilai sesuatu bisa disebut Tuhan.

2,3,4,5,6,... -------> satu ada tapi tak pernah terlihat (ghaib), tak tercitra, tak terbatas ruang, tak terikat waktu, yang awal, yang menyebabkan semua ada.

2 sejatinya  1 X 2, tetapi satu tidak pernah dituliskan

2 sejatinya  21 ,dua pangkat satu, tapi dianggap tidak perlu dituliskan

3 sejatinya 1 X 3, satu tidak pernah terlihat

3 sejatinya 31 ,satu tidak pernah dituliskan karena dianggap merepotkan. 4,5,6, … dst. Hanya satu yang bisa menempati ruang dan waktu secara bersamaan, dan hanya satu yang berkuasa atas ruang dan waktu.

Tuhan itu satu, wajib satu, tidak bisa dua, tidak bisa tiga. Tuhan itu satu tidak boleh banyak. Tuhan itu satu, tidak boleh dicitrakan, tidak boleh diserupakan, disosokkan. Tuhan itu satu, Dia menciptakan. Tuhan itu satu, tidak beranak tidak boleh diperanakkan.

Uji Ketujuh

Siapakah Tuhan itu? Jika jawaban yang diminta dari pertanyaan ini adalah sebuah nama yang memudahkan kita untuk menyapa, memanggil, menyebut, menyeru padaNya, maka tidak satupun manusia yang pernah lahir ke dunia ini bisa memastikan kebenaran dari sebuah nama Tuhan. Karena Tuhan yang Maha Besar, tak terkira , tak terhingga, mustahil ada manusia dengan perangkat panca indra yang berkerja secara terbatas bisa menggapaiNya, mencapaiNya (mustahil).

Tuhan itu satu, Ia Maha Hidup, Maha Kuasa atas segala sesuatu, Maha Kuasa melakukan segala sesuatu simbolnya satu (1), Tuhan itu Maha Mematikan simbolnya Nol (0), Tuhan itu Maha Besar, Takhingga, takterkira simbolnya (∞). Kapan Tuhan menjadi 0, kapan Tuhan menjadi 1, kapan Tuhan jadi takhingga? Berikut sedikit ilustrasi.

21, 31, 41, 51, 61, … = 2, 3, 4, 5, 6, …, maka seluruh jagat raya dalam kesatuan ruang dan waktu status saat itu pangkat satu, ada karena diadakan oleh satu (Tuhan), semua kehidupan itu ada karena diberikan oleh Tuhan (1) Sang Maha Hidup.

20, 30, 40, 50, 60, … = 1, semua yang statusnya mati kembali kesatu. Semua pangkat nol hasilnya satu, semua kehidupan ini hanyalah milik satu, ketika hidup diambil dia kembali ke satu Sang Maha Hidup, Sang Pemberi Kehidupan.

∞ adalah ketika kita sadar Tuhan ada, dan Ia tak terpenjara dalam ruang, tak terikat oleh waktu maka Ia tak pernah tergapai, takhingga.

Tidak seorangpun yang terlahir di dunia ini bisa memastikan nama Tuhan yang sebenarnya dengan bekal perangkat panca indra yang ada. Satu-satunya cara adalah, Dia (Tuhan) yang takhingga menetapkan sejumlah aturan untuk mengenalNya, dan Dialah yang memilih hamba yang mana untuk mengenalNya, kemudian Hamba tersebut diutus, diperintahkan untuk mengenalkanNya pada kita semua. Itu standar nilai mengenal Tuhan 



Disinilah batasan kita sebagai mahluk dengan perangkat indra terbatas. Pada akhirnya kita juga harus menyerah, dan menunggu atau menanti utusan dari Tuhan datang menjelaskan segalanya. Pada uji ketujuh ini kita hanya bisa menyerahkan diri kita pada utusan dari Tuhan, karena memang yang Maha Besar, takhingga, takterkira, taktercitra mustahil kita pastikan indentifikasiNya dengan perangkat panca indra kita.

Menyerah pada Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam

Pada akhirnya kita harus menyerah kepada pilihan beragama yang sudah ada. Ya karena Tuhan yang Maha Besar, Takhingga, TakTercitra, Takterbatas, hanya Dia yang bisa mengenalkan diriNya sendiri kepada hambaNya. Kita hanya perlu meninjau tentang apa yang disampaikan oleh para utusanNya itu, tentang informasi yang disampaikan kepada kita tentang Tuhan itu mengandung semua standar nilai dari hasil uji kita. Dan semua standar nilai tentang sesuatu itu bisa disebut sebagai Tuhan dijelaskan dan dilengkapi oleh informasi yang disampaikan utusanNya yaitu Muhammad bin Abdullah bin Abdul Munthalib shalallahu ‘alaihi wasalam. Dan informasi yang disampaikan itu terbukukan / terkitabkan dalam Al Qur’an Nul Karim. Dengan adanya Al Qur’an itu mengkonfirmasi bahwa benar kitab itu diturunkan / disadur / disalin dari kitab grand design penciptaan jagat raya yang bernama Lauhulmahfudz. Informasi tentang Lauhulmahfudz ini mengkonfirmasi bahwa benar kitab ini (Al Qur’an) ini disampikan oleh dzat yang tak terikat oleh waktu, tak terpenjara dalam ruang yaitu Tuhan yang sebenarnya. Selain itu kita bisa cek kebenaran Al Quran dengan beberapa list berikut :

Cek list kandungan informasi Al Qur’an, sebagai tanda bahwa benar datang dari Tuhan Sang Pencipta.

Ada informasi tentang Tuhan yang memenuhi standar nilai tentang sesuatu itu bisa disebut sebagai Tuhan. Al Qur’an menjelaskan dengan rinci bahkan menggenapi / melengkapi informasi tentang Tuhan sampai 99 sebutan tentang Tuhan.

Ö

Ada informasi tentang siapa nama Tuhan. Tuhan Itu bernama Allah Subhanahu wata’ala (Allah yang Maha Suci lagi Maha Tinggi). Dia (Tuhan) itu satu, padaNya bergantung segala sesuatu. Dia tidak beranak, tidak pula diperanakan. Dan Tidak ada sesuatu apapun yang sepertiNya (takkira, taktercitra, takterbayangkan).

Ö

Ada informasi tentang bagaimana jagat raya ini diciptakan. Al Qur’an menjelaskan bagaimana jaga raya ini diciptakan dan terdiri dari berapa lapis, dan berapa tahap waktu penciptaan. Ini mengkonfirmasi bahwa benar Al Qur’an datang dari Tuhan yang menguasai dan memiliki ruang (jagat raya).

Ö

Di dalam Al Qur’an ada informasi yang benar-benar tidak kita ketahui maksudnya, dan tidak pernah dijelaskan maksudnya. Konfirmasi memang benar bahwa Al Qur’an datang dari Tuhan Sang Pencipta yang Maha Mengetahui, yang Maha Besar, yang takterkira, takhingga. Sehingga manusia dengan semua panca indra dan keterbatasan akan akal, dan seluruh waktu yang diberikan tak mungkin sanggup untuk menggapainya, menggali, mengenali, menguraikan maksud dari kata, kalimat, berita, informasi yang disampaikan.

Ö

Di dalam Al Qur’an ada informasi tentang kejadian di masa lalu, kejadian di masa kini, dan kejadian di masa yang akan datang. Konfirmasi bahwa benar Al Qur’an datang dari Tuhan sang pemilik Waktu. Yang artinya juga Ia tidak terpenjara dalam ruang dan tak terikat oleh waktu.

*sebagian informasi tentang masa lalu telah terungkap, sebagian peristiwa di suatu tempat di bumi juga sudah terungkap seiring waktu berjalan.

Ö

Di dalam Al Qur’an ada informasi tentang panduan menjalankan hidup di dunia ini, apa yang boleh, apa yang dilarang. Konfirmasi memang benar Al Qur’an datang dari Sang Pencipta yang Maha Mengetahui bagaimana Jagat Raya ini diciptakan dan bagimana cara menggunakannya. Karena hanya Sang Pencipta saja yang tahu persis bagaimana dan untuk apa jagat raya ini diadakan / diciptakan. Dan seperti apa seharusnya kita bersikap dan berlaku di dunia ini.

Ö

 

Dari cek list di atas, kita tahu bahwa Al Qur’an memenuhi semua kriteria bahwa Ia benar diturunkan / didatangkan dari Sang Pencipta. Al Qur’an menjadi tidak sempurna jika Pembawa / Penyampainya ada cacat dalam hal fisik juga akal. Atau Al Qur’an akan cacat jika Pembawanya / Penyampainya adalah seorang peniru / plagiat atau penghayal atau pendongeng, maka kita harus tahu riwayat penyampainya. Walaupun kebenaran tetaplah benar, siapapun itu yang menyampaikan. Tetapi karena ini menyangkut tentang informasi dari Tuhan yang Maha Besar, takhingga, dimana tak seorangpun yang pernah terlahir di dunia ini bisa mengkonfirmasi, mengecek, memastikan kebenaran itu. Maka penyampainya / utusan / nabi / rasul yang menyampaikan menjadi penting. Ia (nabi, rasul) haruslah murni (ummi), Ia haruslah sempurna fisiknya, Ia juga harus sehat akalnya.

Semua informasi tentang Nabi Muhammad tercatat/ tertulis lengkap dalam sirah nabawiyah (riwayat perjalanan hidup Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam), di sini (sirah nabawiyah) kita diberitakan bahwa Rasulullah itu terlahir sebagai yatim, kemudian masa kecil diasuh dalam pengasuhan oleh suku badui yang mana tinggal di daerah pedalaman terpencil. Di sini Rasulullah kecil jauh dari akses informasi, tidak ada buku, tidak ada guru. Rasulullah kecil memenuhi syarat murni (ummi). Kemudian beranjak remaja, Rasulullah remaja hidup sebagai pengembala, Rasulullah dewasa bedagang, dan dari interaksinya dalam berdagang inilah Rasulullah digelari sebagai yang terpercaya (al-amin), tidak pernah dusta, tidak pernah melanggar janji dalam melakukan transaksinya juga dalam semua hal dalam sosialisasinya. Rasulullah dewasa juga belum bisa membaca dan menulis yang berarti ia tidak memiliki guru yang mengajarkan ia ilmu dari kitab-kitab yang terdahulu. Rasulullah dewasa juga dikenal orang yang sangat tampan. Dari gelar al-amin juga kita tahu bahwa Rasulullah dewasa sempurna akalnya. Maka semua syarat bahwa Rasulullah itu harus murni (ummi), tidak mengerti ilmu dari guru, tidak plagiat, tidak meniru, syarat-syarat itu terpenuhi. Rasulullah dewasa juga sempurna fisiknya, sempurna akalnya dikonfirmasi dengan kejujurannya dalam berbisnis sehingga digelari Al-Amin (yang terpecaya). Sekarang kita tahu semua syarat sebagai utusan terbaik sudah terpenuhi. Semua jalur informasi kepada Rasulullah terproteksi / teramankan, maka hanya ada satu kemungkinan yaitu Rasulullah hanya mendapatkan ilmu dari Allah yang Maha Besar, Maha Mengetahui dengan cara yang Allah kehendaki.

Dari semua uraian di atas, kita menentukan pilihan dalam bertuhan pada Tuhan yang bernama Allah subhanahu wata’ala (Allah yang Maha Suci lagi Maha Tinggi) yang disampaikan oleh Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam. Pilihan ini karena apa yang disampaikan oleh Rasulullah yaitu Al Qur’an (isi / content / ajaran) memenuhi semua syarat standar nilai tentang sesuatu itu bisa disebut sebagai Tuhan, bahkan melengkapinya. Yang kedua dalam Al Qur’an juga ada informasi yang tidak diketahui maksudnya pastinya sama sekali oleh siapapun sampai kapanpun. Informasi semacam ini adalah tanda bahwa Al Qur’an itu memang benar datang dari Tuhan yang Maha Besar, takterkira, takhingga. Al Qur’an ini disampaikan dalam keadaan terenkripsi / tersandikan / teramankan. Dalam hal Sang Penyampainya yaitu Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam, Ia memenuhi syarat bahwa Sang Penyampainya itu terproteksi / teramankan / ummi. Kita tidak bisa menuduhnya sebagai peniru, plagiat, karena riwayat hidupnya tercatat jelas. Rasulullah itu ummi, tidak punya guru, tidak bisa membaca, Ia sempurna fisiknya (tampan), Ia sehat akalnya. Maka semua syarat yang kita perlukan untuk mempercayai telah tercukupi, langkah selanjutnya adalah kita harus menyerah kepada Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam dan berjanji dan berusaha menetapi semua syariat yang diajarkannya.

Sampai sini kita telah hidup pada derajat dua, yaitu kita hidup dengan akal terbuka dan jasad yang hayat (hidup). Selayaknya jasad / badan / raga untuk bisa hidup atau dikatakan hidup maka badan itu memerlukan makan, minum, bernafas, bergerak atau melakukan gerak, tumbuh, menanggapi dan respon rangsang dan lain sebagainya sebagai tanda bahwa ia hidup, maka untuk bisa dikatakan hidup secara akal juga ada tandanya. Hidup secara akal maksudnya adalah bertuhan, dan Tuhan itu adalah Allah subhanahu wata’ala, maka tanda bahwa kita masih hidup secara akal adalah dengan melakukan semua syariat yang datang dari Allah subhanahu wata’ala yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji jika diberi kemampuan (mampu secara biaya, mampu secara badan sehat, fisik kuat).

Bagaimana jika salah satu atau dua ciri secara akal (bertuhan) tidak kita temukan pada diri kita atau seseorang? Selayaknya hidup secara jasad, jika salah satu atau dua ciri-ciri secara jasad / badan tidak ditemukan pada kita atau seseorang, maka bisa dikatakan orang tersebut sedang sakit, atau bahkan mati suri. Jika semua ciri-ciri hidup secara jasad tidak ditemukan pada diri seseorang maka ia dikatakan mati. Langkah mengetahui seseorang itu telah mati adalah dengan merasakan denyut nadi atau denyut jantung, mendeteksi apakah masih bernafas, atau melihat pupil matanya apakah masih merespon pada cahaya atau tidak. Maka untuk mengetahui seseorang itu masih hidup secara akal adalah dengan melihat semua ciri-ciri orang bisa dikatakan hidup. Jika semua ciri-ciri orang hidup secara akal (bertuhan) ada pada seseorang maka ia dipastikan hidup. Jika hanya ada satu atau dua ciri-ciri orang masih bertuhan yang kita lihat, maka bisa kita identifikasi bahwa seseorang tersebut sedang sakit. Jika tidak kita temukan sama sekali ciri-ciri seorang masih bertuhan maka kita perlu memastikan bahwa seseorang tersebut telah meninggal (mati) dalam bertuhan atau sedang mati suri saja (pingsan). Cara mengeceknya adalah bertanya pada dia, karena orang mati / tertutup / kafir secara akal ia hanya mati akalnya saja tapi tidak dengan jasadnya. Jika kita tanya ia masih menjawab bahwa Tuhan itu adalah Allah subhanahu wata’ala, tetapi ia tidak melaksanakan syariat dalam beragama sama sekali, mungkin ia sedang mati suri / pingsan atau ia sedang sakit sehingga hilang kemampuan / kemauan untuk bergerak melaksanakan syariat. Hal itu juga bisa menjadi indikasi ada yang salah atau kurang tepat ia mengenal Allah atau ia berhenti dalam usaha mengenal Allah.

Itulah tahapan perjalanan hidup manusia, yang asalnya mati (telur), lalu menetas / terlahir, hidup. Setelah terlahir, kemudian belajar mengendalikan badan dan anggota badan. Pada saat yang sama akal berkembang, dengan berkembangnya akal, akalnya dalam keadaan tertutup / telur / mati disebabkan karena dengan akalnya ia menganggap badan dan anggota badan adalah miliknya, kemudian barang-barang, kemudian bapak-ibunya, dan seterusnya. Akalnya akan terbuka ketika ia sudah bisa menerima pandangan, pendapat dari orang lain. Jika perkembangan akalnya sampai pada Allah subhanahu wata’ala maka dia dan akalnya telah terlahir dan hidup di derajat dua. Hidup dengan akal terbuka pada jasad yang hidup.

Jika kita telah sampai pada titik tersebut, hidup di derajat dua, kita menyadari ada Allah subhanahu wata’ala yang Kuasa atas segala sesuatu, dan Kuasa melakukan segala sesuatu. Kita akan menerima berita bahwa masih akan ada kehidupan setelah ini. Pada kehidupan setelah ini, kita akan diminta pertanggung-jawaban atas segala sesuatu yang kita kerjakan saat ini. Pengembalian kehidupan dan kesadaran akal dengan segala ingatan yang kita simpan dan semua rekaman laku / kelakuan kita selama hidup ini, akan sangat buruk jika saat kita dimatikan dari kehidupan ini tetapi akal kita masih tertutup / kafir akan Allah subhanahu wata’ala. Dengan segala tanda-tanda yang Allah berikan pada setiap umat manusia, akan rugi jika semua itu tidak membuat kita terbuka akan Allah subhanahu wata’ala dan memutuskan untuk hidup tertutup / kafir akan diri, pemikiran dan pendapatnya sendiri. Sungguh pengembalian yang sangat buruk. Sebuah keputusan yang merugikan kita sendiri, dan sebuah kesombongan yang luar biasa dari semesta ketidaktahuan. Sebuah keangkuhan dalam mengambil simpulan didasarkan dari setitik pengetahuan dibanding jutaan-milyaran ketidaktahuan.

Dari telur, terkurung / tertutup (kafir), dan mati, sampai pada menetas dan hidup, ada pengetahuan, ada pengajaran yang bisa kita sarikan / turunkan dari sana. Dengan memikirkan telur kita bisa tahu, bisa sampai pada mengenal Tuhan yaitu Allah subhanahu wata’ala. Sekarang kita coba melihat dari sisi Si Induk Ayam dengan laku mengeraminya.

Dilihat dari Si Induk Ayam, maka ia statusnya hidup. Jika itu terjadi pada kita (manusia) maka status hidup itu ada pada derajat dua. Hidup di derajat dua yang artinya Ia hidup secara jasad, raga, jasmani, badan, dan juga hidup secara akal yang artinya terbuka, mau menerima pendapat orang dan tingkat tertinggi adalah menerima, dan mengakui keberadaan Allah subhanahu wata’ala. Lalu apakah yang mendasari Si Induk Ayam untuk susah payah mengerami telur-telur itu? Tentu saja Si Induk Ayam melakukannya secara naluri karena ayam hanya hidup di derajat satu tanpa harus hidup di derajat dua seperti kita manusia. Jika dilihat dari sisi kita manusia, maka Si Induk Ayam adalah kita yang telah hidup di derajat dua kehidupan, yang artinya telah bisa menerima dan mengakui keberADAan Allah subhanahu wata’ala sehingga kita mau melakukan tindakan / amal / tirakat / tarekat yaitu puasa dengan tujuan menetaskan telur-telur (saudara kita yang masih hidup pada derajat satu).

Saudara-saudara kita yang masih hidup di derajat satu bukanlah benda mati, mereka menyadang status hidup, mereka makan, minum, bernafas, bergerak dan berbicara, serta melakukan aktivitas-aktivitas ciri sebagai mahluk hidup. Mereka hanya tertutup secara akal dan pemikiran, mereka tidak bisa menerima pandangan, pendapat orang lain. Mereka tidak mempercayai sesuatu hal di luar batas indranya. Maka kita akan mendengar mereka berbicara “Dimana Tuhan, Tunjukan Tuhan supaya aku bisa melihatNya? Aku akan percaya Tuhan jika bisa melihatNya? Datangkan mukzijat jika benar Tuhan itu ada! dan masih banyak yang lainnya”. Sehebat apapun logika dibagun, sekeras apapun kita mendebat mereka, sebanyak apapun peringatan disampaikan, apapun itu mukzijat yang mereka minta kita datangkan, kita tidak akan pernah mampu membuat mereka beriman, kita tidak akan pernah mampu membuat mereka percaya Tuhan itu ada, kita tidak akan pernah bisa membuat mereka hidup (percaya Allah subhanahu wata’ala). Karena hidup itu adalah hak Allah, hidup itu adalah milik Allah, apapun itu baik hidup di derajat satu, maupun hidup di derajat dua, semua itu milik Allah subhanahu wata’ala.

Karena hidup adalah hak Allah, maka yang kita lakukan adalah menjadi Si Induk Ayam, Si Induk Ayam mengerami dengan berdiam diri, menahan lapar, menjaga suhu badannya, dan membolak-balikkan telur-telurnya. Karena sia-sia saja ‘petok-petok’, ‘teriak-teriak’ tidak akan membuat telur-telur itu menetas. Percuma juga bercerita pada telur-telur itu bahwa di dunia ini ada pohon, daun, batu, semut, rayap, padi, jagung, motor, mobil, ponsel, atau apapun itu yang pernah ditemui Si Induk Ayam, karena telurnya tidak akan mendengar itu. Pada akhirnya Si Induk Ayam hanya bisa mengerami telur-telur itu, ia membisu, berdiam diri, menahan lapar untuk menetaskan telur-telurnya. Si Induk Ayam tidak bisa memilih telur mana yang akan menetas, Si Induk Ayam tidak bisa memastikan semua telurnya menetas. Tapi Si Induk Ayam tetap saja mengerami telur-telurnya, walaupun tidak bisa memilih telur yang mana yang akan menetas, walaupun tidak tahu jika telurnya nanti gagal menetas semuanya.

Mari lihat diri kita, sudahkah kita bisa membuka diri? Pada kita yang bisa menerima akan keberADAan Tuhan, Allah subhanahu wata’ala. Ada kalanya merasa aneh pada saudara-saudara yang masih tertutup. Ada nafsu menggebu ingin mereka semua seiman. Ada hasrat membara supaya mereka lekas sadar dan percaya. Lalu kita menantang dan mendebat mereka semua, kita membuat forum diskusi, debat terbuka dengan mereka. Kita memaksa mereka melakukan sesuatu yang kita pandang sesuai syariat, kita meminta mereka menghargai, menghormati, mentoleransi ketika kita bersyariat. Kita membuat forum / symposium / studi perbandingan agama, kita datangkan bukti-bukti penelitian ilmiah seolah-olah kita mendatangkan mukzijat dari Allah subhanahu wata’ala. Sekali lagi itu semua tidak akan pernah membuat seorangpun dari saudara kita yang masih tertutup itu akan beriman (terbuka / hidup di derajat dua). Pada akhirnya kita harus menyerah dan mulai melakukan tirakat, tarekat, amal, laku, seperti induk ayam, ketika kita berhasil dan mengenali, mengidentifikasi kita hidup seperti induk ayam. Semua kehebatan berlogika, semua gemerlapnya dunia yang kita temui, semua hal tentang bukti ilmiah, semua analogi yang kita punya, semua itu hanya akan membuat kita tunduk, tawaduk dan berserah diri kepada Allah subhanahu wata’ala dan mulai melakukan tirakat, tarekat, amal, laku mengerami selayaknya induk ayam. Diam, menahan diri (mendekam), menahan lapar (puasa), menahan kantuk (terjaga), dan terus berharap Allah mendatangan hidup (menetas = hidayah) pada telur-telur yang kita erami. Diam mungkin bisa dengan menjadi pendengar yang baik, sahabat yang selalu ada, menahan diri (mendekam) mungkin dengan tidak mendebat keras, kasar atau dengan tidak mencaci, memaki, memvonis, atau menghukumi, menahan lapar (puasa) bisa dengan berbagi, dan berempati pada kesulitan hidupnya di dunia, menahan kantuk (terjaga) bisa dengan siap siaga jika saudara kita membutuhkan bantuan kita, apapun itu bentuknya, kapan ia mendatangi kita.

Semua kehebatan berlogika dan beranalogi mengenal Allah, Segala macam pengetahuan yang ada pada kita, Seluruh perbendaharaan dunia yang di bawah pengawasan kita, Semua itu yang membuat kita untuk melakukan tirakat, tarekat, laku, amal, MENGERAMI. Karena kita sadar Hak (kebenaran dan kepemilikan) Hidup hanya Milik Allah saja.

Si Induk Ayam tidak bisa memilih telur yang mana yang akan menetas. Hal itu seperti kita, tidak bisa memilih, menentukan siapa saja yang akan mendapatkan hidayah (hayat / hidup di derajat dua). Kita tidak bisa memaksakan seseorang mendapatkan hidayat, kita tidak bisa memilih siapa-siapa yang akan beriman. Hidayah (memberi hayat / hidup) bukanlah kewenangan kita, bahkan Rasulullah sekalipun tidak diberi wenang memilih-milih siapa yang akan mendapatkan hidayah. Karena itu Rasulullah menyampaikan risalah ke semua orang, tanpa syarat, tanpa kriteria, tanpa seleksi. Siapapun yang mendengar risalah dari Rasulullah bebas menolak ataupun menerima. Jika menolak ia tetap dalam ketertutupannya, tercangkang, telur, dan status mati. Jika menerima ia bisa memecah cangkang itu, dan hidup di derajat dua dengan segala konsekuensinya.

Hidup adalah milik Allah subhanahu wata’ala, baik itu hidup secara jasad / hidup di derajat satu, ataupun hidup secara akal / hidup di derajat dua, semuanya milik Allah. Ketika kita telah disampaikan / diberi / dianugrahi pada hidup di derajat dua, yang artinya kita menjadi saksi dan menyaksikan bahwa setiap saat, setiap waktu, tanpa jeda Tuhan selalu ada dan hadir, terlibat di semua hal yang ada pada diri dan hidup kita. Kita juga menjadi saksi bahwa Allah itu sebenar-benarnya Tuhan yang Maha Besar, takterkira, takhingga, taktercitra, mengkonfirmasi bahwa apa yang disampaikan oleh Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam adalah benar. Hal itu menegaskan untuk kita bersaksi bahwa Muhammad itu benar-benar seorang Rasul (utusan). Perlu kita sadari saat ini kita telah menjadi Anak Ayam (menetas, statusnya hidup = mendapat hidayah, dianugrahi oleh Allah Subhanahu wata’ala). Dan status hidup itu membawa konsekuensi seperti perlu bergerak dan bernafas, perlu mengkais makanan, perlu minum, perlu tidur. Atau dengan kata lain, konsekuensi hidup adalah lelah, letih, lapar, sakit, senang, sedih, pusing, kenyang, dingin, panas dan lain sebagainya. Semua itu menjadi siklus hidup dalam ketidakpastian, karena yang pasti hanyalah milik Allah saja. Ketika datang siklus sedih, sakit, lapar, ditinggalkan, dikhianati, dicurangi, dijauhi, dibuli, dikucilkan, ditelantarkan, pada saat-saat seperti itu, lihatlah jauh ke dalam hati, apakah masih ada nama Allah di dalamnya? Apakah pada saat itu kita masih bersaksi bahwa Allah itu sebenar-benarnya Tuhan, tiada Tuhan selain Allah dan juga Muhammad adalah utusan Allah? Jika jawaban atas pertanyaan tersebut adalah YA! Maka apapun kondisi kamu saat itu, sesakit apapun kamu, selemah apapun kamu saat itu, sesedih apapun kamu, semerugi apapun kamu, sebangkrut apapun kamu, kata yang paling pantas kamu ucapkan adalah “Alhamdulillah, segala puji bagi Allah” karena pada saat ini kita masih dipercaya, dianugrahi, diberi nikmat terbesar yaitu diberi hak hidup di derajat dua. Dan laku / amal / syariat / tindakan  yang tepat dan patut kita kerjakan adalah sujud yang dalam seraya mengucap “Subhanallah, Maha Suci Allah”, sesulit apapun sujud itu kita kerjakan, secacat apapun sujud kita itu (tak sempurna) akan tetap kita kerjakan, karena anugerah luar biasa yang telah diijinkan hidup di derajat dua (mendapatkan hidayah). Dan menjadi kebanggaan terbesar kita ditakdirkan untuk bisa sujud sekalipun sujud itu tidak sempurna.

Laku / Tarekat tidak hanya Mengeram

Mari kita lihat juga laku / amal / tarekat / tirakat yang dilakukan oleh Si Induk Ayam yaitu mengerami. Laku tersebut tidak membuat Si Induk Ayam berubah secara fisik. Kita tidak bisa melihat induk ayam tersebut berubah setelah mengerami telur-telurnya. Si Induk Ayam juga tidak pula mengajak anak-anak ayam yang menetas untuk melakukan laku yang sama (mengerami). Hal yang dilakukan oleh Si Induk Ayam, yaitu mengasuh anak-anak ayam hingga ia mandiri, bisa mencari makan sendiri, bisa menjalani hidup sendiri hingga si anak-anak ayam mengenali diri mereka sendiri. Begitu pula seharusnya kita pada saudara kita yang baru menyatakan kesaksiannya yaitu dengan menyatakan dua kalimat syahadat. Pada mereka janganlah kita membebani mereka dengan sejumlah amalan yang memberatkan mereka. Janganlah kita menyuruh saudara-saudara yang baru saja menetas hidup di derajat dua melakukan amal / laku / tarekat / tirakat yang sama yang kita lakukan yaitu mengerami. Karena laku seperti itu hanya dilakukan oleh Si Induk Ayam. Pada saudara kita yang baru menetas atau dianugrahi hidup di derajat dua (mendapat hidayah) cukup kita ajarkan cara hidup di derajat dua, kita bantu mereka bergerak mencari makan di derajat dua, sampai mereka cukup mandiri untuk bisa hidup di derajat dua, kemudian kita lepaskan pengasuhan itu.

Dari Induk Ayam mari kita meluaskan cakrawala pengamatan kita ke dunia binatang. Di dunia binatang kita mendapati banyak laku / amal dari binatang kita sebut saja ada ulat sebelum menjadi kupu-kupu, ada ulat lebah / tawon sebelum menjadi lebah atau tawon, ada ular dan masih banyak lagi binatang dengan lakunya. Jika kita melihat ulat dengan makan lahapnya kemudian berlaku menjadi kepompong kemudian bermetamorfosis menjadi kupu-kupu. Maka laku / tarekat dari ulat menjadikannya kupu-kupu, membuatnya berubah secara fisik, betuk dan perilaku sebelum dan sesudahnya yang terlihat berbeda. Contoh lain binatang yang berlaku seperti kupu-kupu adalah nyamuk, ngengat, lalat dan lain sebagainya dari golongan serangga. Selain kupu-kupu juga ada lebah, yang laku atau tarekatnya membuatnya berubah secara bentuk dan prilaku, yang membedakan keduanya adalah makanan saat dalam fase ulat dan juga cara makannya. Setelah menjadi kupu-kupu atau lebah perannya bagi dunia itu juga berbeda. Ada kupu-kupu, ada lebah ada pula ular, ular juga melakukan laku / amal / tarekat tapi laku tersebut tidak membuat ular berubah secara fisik, kecuali hanya bertambah besar saja, selain itu semuanya tetap sama. Dari contoh laku / amal / tarekat para binatang tersebut, bukan berarti bahwa yang paling baik dari semua tarekat itu adalah tarekatnya kupu-kupu, atau lebah. Bukan pula tarekatnya Si Induk Ayam yang nilainya paling bagus / paling tinggi dikarenakan lakunya bermanfaat bagi individu baru. Bukan pula tarekat model ular adalah yang buruk. Hal yang terpenting dari semua itu adalah mengenali siapa diri kita, sehingga kita tahu laku apa / amal apa / tarekat apa yang sesuai dengan diri kita. Salah satu caranya mengenali diri kita sendiri adalah dengan memperhatikan kecenderungan diri kita terhadap sesuatu atau terhadap hal tertentu.

Jika kita dapati diri kita mudah memahami sesuatu, senang dengan pengetahuan baru, selalu haus akan ilmu, kemungkinan kita ditakdirkan hidup seperti induk ayam. Tugas kita adalah mengajarkan semua pengetahuan itu kepada semua umat manusia, tetapi perlu diingat bahwa bukan pengetahuan itu yang menjadikan seseorang terlahir di derajat dua. Semua ilmu yang ada pada sisi kita yang menjadikan kita berbuat / melakukan / laku / tarikat / tarekat / amal yaitu mengerami. Mengajarkan ilmu adalah bagian dari laku mengerami, puasa adalah amal tarikat kita berserah diri pada Allah subhanahu wata’ala, bahwa hidup adalah milik Allah, dan kita berserah diri kepada Allah siapa saja yang diberi hak hidup di derajat dua. Mendampingi orang-orang yang belajar bersama kita, memberi bantuan pada mereka, mendengarkan mereka adalah bagian terkait dan terikat dengan amal / laku / tarekat yang kita kerjakan. Jangan pula meminta orang-orang yang belajar bersama kita untuk melakukan amal puasa seperti kita, karena setelah kita dapati mereka yang belajar bersama kita dianugrahi hidayah / hidup di derajat dua, kita wajib memahamkan bahwa hidup itu mudah. Kita masih harus mengasuh mereka dengan memberikan makan, sebelum kita mengajarkan mereka cara mencari makan. Di titik ini kita harus memahamkan bahwa beragama itu mudah, dan agama datang untuk memudahkan.

Jika kita dapati di sekitar kita banyak perbendaharaan dunia ini, dan kecenderungan kita adalah bersenang-senang dengan semua itu. Hal itu bisa jadi mengindikasikan bahwa kita ditakdirkan hidup selayaknya ulat atau kupu-kupu atau lebah. Silahkan bersenang-senang dengan semua itu, tapi kita harus tahu, harus mengukur saat / waktu kapan kita harus berhenti dengan semua itu. Pada saat itu kita harus melakukan puasa, puasa adalah amal / tarekat yang menjadikan kita berubah dari yang hanya bisa bersenang-senang / menghabiskan, menjadi berperan aktif dalam menghasilkan perbendaharaan itu. Sedangkan tanda / waktu telah cukupnya kita bersenang-senang adalah ketika ada rasa jenuh / bosan ketika kita melakukan sesuatu yang menjadi kesenangan kita.

Jika kita dapati diri kita begitu bernafsu terhadap sesuatu, tandanya adalah jika kita merasa perlu memiliki sesuatu yang melebihi kebutuhan kita. Jika orang normal cukup butuh satu, sedangkan kita telah punya lima, masih juga ingin sepuluh. Ada kemungkinan kita ditakdirkan hidup seperti ular. Jika kita dapati diri kita seperti ini, kita harus tahu bahwa setelah kita capai sesuatu sesuai keinginan kita, saat itu tiba, cobalah untuk mengukur atau menimbang-nimbang bahwa itu cukup atau telah lebih dari yang kita butuhkan, jika hal itu ternyata lebih dari yang kita butuhkan, pada saat itu kita harus berhenti, janganlah terus mengejar dan menuruti keinginan kita. Kita harus melakukan amal / laku berpuasa (berhenti), karena dengannya (berpuasa / berhenti) yang menjadikan kita tetap hidup. Maka amal / tarekat / laku  yang kita kerjakan (puasa / ibadah) menjadikan kita tetap hidup. Karena jika kita mengumbar nafsu kita, maka nafsu tersebut akan membunuh kita, selayaknya ular mati karena kekenyangan.

Tiga contoh amal / laku di atas adalah contoh dari amal / laku yang ekstrim atau keras, akan tetapi kita juga tahu bahwa di dunia binatang tidak semua binatang itu melakukan amal / laku / tarekat yang ekstrim seperti puasa. Ada kambing, sapi, kuda, atau singa, adalah contoh beberapa hewan yang sepertinya tidak melakukan laku / amal yang ekstrim. Akan tetapi ada sebuah ciri, dari para binatang tersebut yang mengindikasikan bahwa mereka juga melakukan laku / amal. Ciri itu adalah mereka hanya mengambil secukupnya saja dari apa yang ia dapatkan di dunia ini. Jika mereka mendapatkan lebih, mereka hanya mengambil sebanyak yang bisa ditampung oleh perut / lambungnya, jika ada sisa maka mereka akan meninggalkannya dan membiarkan yang lain mengambilnya. Jika kita adalah tipe orang yang merasa cukup dengan apa yang kita dapatkan hari ini, atau kita merasa sudah cukup jika kita bisa makan untuk sehari saja, kemudian esok hari kita mencari lagi untuk sehari saja. Jika kita mendapatkan makanan yang lebih dari yang kita butuhkan dalam sehari kemudian kita membagikan sisanya. Jika kita cenderung hanya mengambil sekedarnya saja padahal kita diberi kesempatan untuk mengambil banyak, atau bahasa jelek / bahasa kasarnya adalah kita bukanlah tipe orang yang diberi bakat kaya. Hal itu bisa jadi tanda bahwa kita hidup selayaknya singa, laku / amal kita yaitu diberikan rasa cukup dengan yang sedikit. Kita merasa cukup dengan hidup sehari atau dua hari saja, maka tarekat / amal kita ditakdirkan selayaknya singa. Tarekat kita adalah secukupnya saja yaitu syariat pokok dalam beragama tidak lebih.

Dari semua contoh laku / amal / tarekat di atas, tidak ada salah satu yang terbaik melebihi yang lain. Tarekat yang terbaik adalah yang paling sesuai dengan takdir kita, tarekat yang terbaik adalah yang cocok dengan kecenderungan / kesukaan kita dalam menjalani hidup. Oleh karena itu langkah penting bagi kita adalah mengenali bakat yang dianugrahkan pada kita, kemudian dengan itu kita menjalani hidup. Karena inti dari semua amal / laku / tarekat tersebut adalah cara kita dalam menjalani hidup. Kenali dirimu dan kenali bakatmu dan tuntunlah minatmu bersesuaian dengan bakat hidupmu.

Kenali dirimu dan kenali bakatmu dan tuntunlah minatmu bersesuaian dengan bakat hidupmu.

Yang menetas “mendapat hidayah” tidak hanya telur-telur yang dierami di sarang / petarangan saja

Saat ini kita juga tahu jika di dunia ini tidak hanya ada telur ayam saja. Ada banyak macam telur, dan juga macam-macam cara menetasnya. Telur ayam menentas dengan cara dierami, telur ular ada yang menetas dengan ditimbun di tempat bersuhu hangat, telur penyu menetas dengan cara ditimbun pasir, telur kupu-kupu, telur keong, telur siput, telur katak, telur ikan, dan masih banyak lagi macam telur dan berbeda-beda cara menetasnya.

Telur, apapun jenisnya, bagaimanapun cara menetasnya, ketika ia sudah menetas maka statusnya adalah hidup. Banyak macam telur, banyak cara telur menetas, seperti itulah hidayah datang. Hidayah (hidup di derajat dua) datang dengan berbagai cara, terserah Allah subhanahu wata’ala Sang Pemilik Hidayah kepada siapa hidayah, atau hak hidup di derajat dua diberikan. Janganlah kita menganggap bahwa yang terbaik menetas adalah dengan cara ayam, janganlah kita menganggap bahwa menetas dengan cara dierami adalah satu-satunya cara mendapatkan hidayah. Jangan pula kita mengatakan dan menghimbau manusia bahwasanya untuk mendapatkan hidayah harus melalui lembaga atau instansi dibawah kekuasaan kita, sedangkan mereka kita wajibkan untuk membayar atau menyewa atas jasa di lembaga atau instansi kita. Inggatlah, bahwa batasan usaha kita hanyalah mengerami bukan menetaskan. Menetas / hidup di derajat dua / hidayah adalah milik Allah subhanahu wata’ala, dan kepadaNya pula ia kembali. KepadaNya segala sesuatu itu dikembalikan. Sadarlah atas batasanmu, dan janganlah melewati batasan sebagai mahluk / ciptaan Allah subhanahu wata’ala.

Telur apabila ia telah menetas, telur apapun itu jenisnya, bagaimanapun itu caranya menetas, jika telah menetas maka statusnya adalah hidup. Sama halnya dengan hidayah, bagaimanapun itu hidayah datang pada seseorang, bagaimanapun cara seseorang diberi hidayah oleh Allah subhanahu wata’ala maka status adalah hidup di derajat dua. Ciri seseorang hidup di derajat dua adalah ia melaksanakan syariat yang tetapkan oleh Allah subhanahu wata’ala melalui rasulNya, yaitu Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam. Syariat adalah ciri-ciri bahwa seseorang itu hidup di derajat dua selayaknya ciri-ciri mahluk hidup di derajat satu, diantaranya seperti, bergerak, bernafas, makan, minum, tumbuh, berkembang biak, mengalami metabolisme, melakukan sekresi dan laing sebagainya. Jika ada sesuatu memiliki dua atau tiga lebih ciri-ciri mahluk hidup, maka ia kemungkinan adalah mahluk hidup. Jika kita tidak menemukan salah satu ciri-ciri mahluk hidup, kemungkinan ia adalah benda mati, atau jika ia adalah mahluk hidup kemungkian ia sedang sakit, sehingga hilang kemampuan bergerak, makan, atau minum, atau ia sedang mati suri. Sama halnya dengan hidup di derajat satu, hidup di derajat dua juga ada ciri-cirinya. Jika seseorang dikatakan hidup di derajat dua maka ia melakukan sejumlah syariat (ciri-ciri) seperti shalat, puasa, zakat, haji. Syariat pokok adalah ciri utama / ciri primer dari seseorang hidup di derajat dua. Jika ada seseorang tidak kita temukan ciri-ciri hidup di derajat dua, kemungkinannya ia sedang sakit, atau mati suri. Sakit di derajat dua, obatnya adalah dengan memperbaiki pemahaman akan Tuhan, karena sebab sakitnya di derajat dua salah satunya belum tegak, belum lurusnya pemahaman bertuhan. Ada yang salah dengan tauhidnya, maka obatnya adalah pemahaman, pelurusan akan tauhidnya. Pemahaman tentang tuhan itu layaknya obat, betapapun pahitnya ia tetap kita telan. Pemahaman tentang tuhan itu seperti pisau operasi, betapapun sakitnya tetap kita tahan karena itu salah satu caranya kita sembuh dan melanjutkan hidup di derajat dua.

Ada telur yang menetas mandiri, yaitu telur setelah melewati proses pengeraman ia memecah cangkang sendiri dan keluar sebagai organisme hidup, ada pula sebagian telur itu perlu dibantu dalam proses menetasnya. Telur yang menetas mandiri biasanya individu yang kuat, sedangkan yang menetasnya dengan bantuan biasanya perlu perlakuan khusus sampai ia menjadi kuat dan mampu melanjutkan kehidupannya. Selayaknya cara menetasnya telur itu, hidup di dejarat dua juga sama halnya. Ada sebagian dari kita ada yang kuat, dan mendapatkan hidayah kemudian ia memecah cangkangnya sendiri dan melanjutkan hidup mandiri. Ada pula sebagian kita untuk menetas itu perlu bantuan dalam memecahkan cakangnya. Tentu orang yang membantu memecah cangkang tersebut mempunyai semacam ukuran bahwa organisme yang di dalam tersebut sudah sempurna dan bisa hidup, dan juga pertimbangan jika dibiarkan saja, maka organisme yang di dalam cangkang tersebut akan mati. Begitu pula dengan hidup di derajat dua, ada diantara kita yang cukup mandiri memecah cangkang sendiri, ada pula yang butuh bantuan untuk memecahkan cangkang tersebut. Kedua-duanya, baik yang memecah cangkang sendiri ataupun yang dipecahkan cangkangnya statusnya tetap hidup atau mendapatkan hidayah. Memang ada perlakuan khusus pada mereka yang dibantu dalam memecah cangkangnya, yaitu dengan mendampingi dan menyuplai semua keperluan hidupnya sampai ia benar-benar bisa mandiri.

Hidayah, atau anugrah hidup di derajat dua itu bisa datang ke seseorang dengan cara orang tersebut memecahkan sendiri cangkangnya / ketertutupan / kekafirannya. Ada pula hidayah datang itu ke seseorang dengan cara dibantu memecah cangkangnya atau kekafirannya. Tentu saja butuh pengetahuan tertentu untuk mengetahui bahwa di dalam cangkang tersebut ada organisme yang sudah siap menetas dan hanya perlu memecahkan cangkang saja. Bukan sembarang cangkang kemudian dipecahkan cangkangnya, bisa jadi yang di dalam cangkang belum terbentuk organisme atau masih perlu proses pengeraman. Operasi untuk menetaskan seseorang, atau mendapatkan hidayah atau memperoleh status hidup di derajat dua, atau status beriman salah satunya adalah dengan memberi hadiah / harta, Bisa pula dengan menikahkannya. Apapun caranya ia mendapatkan hidayah atau status beriman, maka sejak saat itu ia hidup di dejarat dua. Jika nanti diperjalanan hidupnya ia butuh diinkubasi atau dicukupkan keperluan hidupnya sampai kuat hidup mandiri, itu adalah konsekuensi dari kita atau orang-orang dekatnya yang memutuskan untuk mengoperasi dia. Apapun itu caranya ia tetaplah berstatus hidup di derajat dua, atau beriman.

Pertalian hidup atau nasab hidup

Kita semua, semua manusia yang saat ini sedang hidup di dunia ini. Semua manusia yang hidup di jaman ini, tidak ada satupun yang merupakan manusia pertama. Hal itu artinya setiap manusia yang ada saat ini, ada karena terlahir atau dilahirkan. Maka setiap manusia yang saat ini hidup pasti memiliki orang tua biologis bapak ataupun ibu. Karena itu setiap manusia yang hidup saat ini punya pertalian hidup atau nasab secara biologis dengan orang tuanya. Nasab itu terdokumentasi dengan baik secara biologis dalam DNA setiap manusia. Di DNA tersebut ada peta jalur perjalanan dan perlintasan secara genetik manusia. Di DNA itu, para ahli pembaca peta itu bisa mengetahui siapa jalur genetik yang telah kita lalui sebagai anak keturunan dari para leluhur kita. DNA tersebut tidak mungkin berbohong tentang leluhur kita, dia jujur karena DNA tersebut terbentuk karena reaksi fisibiokimia, yang tidak terkontaminasi, kecuali ada kesengajaan oleh manusia lainnya untuk mengotori atau mematikan sebagian dari reaksi tersebut. DNA adalah peta nasab secara jasad pada diri setiap manusia yang dilahirkan, lalu adakah peta nasab bagi manusia yang hidup / dianugerahi, kehidupan di derajat dua? Siapakah leluhur kita yang hidup di derajat dua? Apakah ada kaitannya nasab secara jasad (hidup di derajat satu) dengan nasab secara ruhani (hidup di derajat dua / dianugerahi hidayah)?

Leluhur kita / nasab kita secara jasad, tertulis, terbukukan dalam bentuk DNA. DNA jika dirunut sampai ujung maka ia akan merujuk pada sepasang manusia yaitu Nabi Adam beserta istrinya, alaihi salam. Nabi Adam alaihi salam adalah induk / bapak dari seluruh manusia yang hidup saat ini, Ia (Nabi Adam) leluhur manusia secara jasad juga secara ruh (metafisika / prafisika). Nabi Adam adalah leluhur seluruh manusia saat ini, tetapi jarak kita dengan Nabi Adam sangatlah jauh. Kemudian siapakah leluhur kita secara ruhani yang terdekat dengan kita? Leluhur seluruh manusia beriman saat ini, seluruh manusia yang dianegerahi hidayah, seluruh manusia yang percaya bahwa Tiada Tuhan Selain Allah adalah Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam. Karena Rasulullah adalah manusia yang nyatakan bahwa ia mengerami seluruh ruh manusia yang hidup saat itu dan seluruh manusia yang hidup di masa yang akan datang (kita semua manusia yang hidup saat ini). Siapapun kita yang dianugerahi hidayah, hidup di derajat dua, hidup secara ruhani yang beriman kepada Allah Subhanahu wata’ala, yang menyatakan bahwa ‘Laa Ilaaha Illallah’ maka saat itu juga bernasab, bertalian hidupnya di derajat dua sampai pada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam. Oleh karena itu tanda kelahiran / menetasnya kita / hidup di derajat dua adalah dengan menyatakan dua kalimat syahadat (dua kalimat persaksian) “Asyhadu an laa ilaaha illallaahu, wa asyhaduanna muhammadar rasuulullah. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah. Dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah.” Dua kalimat syahadat itu menjadikan kita bernasab sampai pada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam. Siapapun kita hari yang menyatakan dua kalimat syahadat tersebut, maka kita secara ruhani telah bernasab, atau bertalian hidup di derajat dua sampai pada Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam.

Siapapun kita hari ini yang dianugerahi hidayah / hidup di derajat dua, kita adalah keturunan dari Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam secara ruhani. Sedangkan secara jasad / raga, biologis / DNA / Genetik kita boleh terputus dari Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam. Memang ada keistimewaan atas saudara kita yang secara jasad / genetic memiliki perbalian lahir / nasab biologis sampai pada Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam, karena bagi mereka nasab yang sampai pada Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam ada dua yaitu nasab biologis / genetik dan juga nasab ruhani jika mereka juga beriman pada Allah subhanahu wata’ala, hari akhir, dan berlaku baik dan selalu melakukan perbaikan seperti Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam. Ada beberapa hal yang mengikat saudara kita yang nasab genetiknya sampai pada Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam yaitu para sarif dan sayyid, diantaranya adalah mereka terikat dengan akhlak keluhuran budi dan kebiasan-kebiasan (sunat-sunat) yang dikerjakan oleh Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam. Belum lagi ada sejumlah aturan yang mengikat mereka seperti mereka tidak boleh menerima zakat, menolak sedekah, kehadiran mereka adalah untuk memudahkan / membantu urusan umat. Tapi mereka boleh menerima hadiah, meskipun berbedaan dari sedekah dan hadiah hanya pada niat dan kalimat saat menyerahkannya (ijab qabul).

Di akhir zaman ini, siapun kita, dari golongan manapun kita, dari ras / suku / bangsa manapun kita, jika kita telah dianugerahi hidup di derajat dua, mendapatkan hidayah, maka saat itu juga kita adalah keturunan Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam secara ruhani. Kita semua mempunyai kesempatan yang sama untuk berjumpa dengan Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam tergantung seberapa kuat, seberapa jauh kita mampu meneladani Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam. Maka saya sampaikan selamat kepada kamu semua yang telah dianugerahi hidayah dan hidup di derajat, “Selamat dan teruslah berusaha istiqomah, berusahalah tetap hidup di derajat dua dengan bersyariat penuh (melaksanakan semua ciri hidup di derajat dua), teruslah berusaha untuk itu semampumu dan berharaplah mati secara jasad masih dalam keadaan beriman.” Karena kita akan dibangkitkan dalam keadaan dan kesadaran terakhir kita sebelum mati secara jasad.

Akhir kata demikianlah tulisan ini yang saya baca dari induk ayam dan juga telur. Saya Raden Kuswanto

“Asyhadu an laa ilaaha illallaahu, wa asyhaduanna muhammadar rasuulullah. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah. Dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah.”

 

Tulisan ini bersifat umum, bebas , terbuka. Bebas menyalin sebagian atau keseluruhan, bebas mengubah, bebas juga menolaknya. Tidak ada ancaman, denda atau kutukan yang menyertainya. Dan terima kasih sudah membaca.

 


Senin, 27 Maret 2023

The Missing Link adalah NOL : KOSONG

Artikel ini mungkin cukup panjang, sudah ada dalam bentuk e-book pdf, silahkan didownload pada link berikut ini atau link lainnya.  

The Missing Link adalah

The missing link adalah istilah yang digunakan dalam teori evolusi untuk menjelaskan relasi/hubungan antara individu pendahulu ke individu peralihan/perantara (the missing link ini) ke individu terakhir atau individu modern. Karena dalam teori evolusi menganggap bahwa mahluk sekarang ini atau individu sekarang ini berangkat dari sesuatu yang sama, karena menerima proses yang berbeda (seleksi alam) maka yang berhasil melewatinya, menjadi individu baru. Charles Darwin tidak secara jelas dan terang bahwa manusia berasal dari kera (homo sapiens dan saudara homo lainnya) hanya pada para penafsir pendapat Darwin-lah yang beranggapan bahwa dengan begitu “manusia bisa dikatakan berasal dari kera, sama dengan kera, kakek moyang manusia sama dengan kakek moyangnya monyet”. “Piye gelem diomongne lek mbah-buyutmu podo karo mbahe kethek?”. Susah juga mengelak dari penafsiran seperti itu, sama susahnya untuk tidak marah dikatain begitu. Orang yang berfikiran terbuka masih bisa menerima dan beranggapan mungkin saja bisa begitu, orang lainnya yang cuek “Anggepen wong gedeng, beres!”.

Kenapa the missing link ini menjadi bermasalah? Kenapa the missing link ini menjadi masalah besar? Itu karena Charles Darwin menduga atau beranggapan bahwa proses terjadinya perubahan itu dengan sendirinya (seleksi alam). Jadi permasalahan itu ada pada proses pembentukannya yaitu seleksi alam. Gimana ya menjelaskan ini? Repot juga saya jadinya! Pakai perumpamaan saja, kita umpamakan makanan yang bahan dasarnya ketela pohon, kita sebut Ubi. Saat ini di meja sudah ada 3 jenis makanan dengan bahan dasar ubi, satu ubi bakar, dua ubi goreng, tiga ubi rebus. Ubi bakar adalah ubi yang proses masaknya dibakar. Ubi goreng adalah ubi yang proses masaknya digoreng. Ubi rebus adalah proses masaknya direbus. Yang jadi masalah adalah Darwin mengatakan bahwa proses bakar, proses goreng, dan proses rebus itu terjadi dengan sendirinya (seleksi alam), tidak ada koki yang memasak dalam prosesnya. Karena proses terjadinya dengan sendirinya, maka ada pertanyaan, untuk ubi bakar bolehlah ubi datang langsung bakar dalam bara api. Untuk ubi goreng dan ubi rebus, sebelum digoreng dan direbus, ubi itu harus dikuliti, karena proses terjadinya dengan sendirinya, seharusnya ada dong ubi yang tersisa belum sempat tergoreng ataupun terebus, atau seharusnya ada dong ubi yang terkuliti yang sebagian saja, apalagi belum sempat tergoreng atau terebus. Atau seharusnya saat ini ada dong ubi goreng atau ubi rebus yang setengah terkuliti, atau tergoreng dan terebus tanpa terkuliti. Ubi yang terkuliti dan ubi yang terkuliti sebagian yang belum sempat tergoreng ataupun terrebus adalah the missing link, karena Darwin mengatakan prosesnya terjadi dengan sendirinya. Seharusnya ada sebagian bukti dari sisa-sisa ubi yang gagal melewati seleksi alam (proses). Seandainya saja Darwin mengatakan dalam prosesnya ada koki yang memasak semua hidangan yang ada di meja, tentu saja pertanyaan tentang ubi yang hanya terkuliti atau terkuliti sebagian (the missing link) tidak akan muncul, atau tidak akan ditanyakan. Bahkan  bisa ditambahkan menu yang ada di meja, ada ubi bakar, ubi goreng, ubi rebus “semua bentuk ubi masih terlihat”, ada jemblem, ada klepon, ada lemet “sudah tidak terlihat seperti dari ubi”, ada gatot, ada oyek, ada tape, ada gethuk, dan seterusnya. Semua yang ada di meja ini berbahan dasar sama yaitu ubi, hanya sama koki dibuat berbeda-beda dan mulai proses yang berbeda-beda. Karena dalam prosesnya ada koki dibalik semua hidangan tersebut, maka tidak ada sisa, atau bahkan kotoran yang tersaji di meja makan, semua tersaji dengan sempurna, bentuk dan rasanya. Tentu saja si tape tidak akan marah dikatakan dari bahan yang sama dengan lemet ataupun jemblem dan semuanya.

Berangkat dari akar masalah yang sama dengan the missing link inilah sains atau ilmu pengetahuan ini bergerak. Dari akar yang sama ilmu pengetahuan modern bergerak selama  ratusan tahun sampai ke peradaban atau kehidupan modern saat ini. Pertanyaan akan asal-usul kehidupan ini menggiring kita melakukan penelitian dan pencarian selama ratusan tahun dan terus disambungkan dari generasi ke generasi sampai pada kita saat ini. Karena itu pulalah saat ini ada banyak macam cabang ilmu pengetahuan, secara garis besar ada tiga jenis ilmu pengetahuan yang berusaha mengungkap asal-usul kekehidupan atau bahkan asal-usul jagat raya atau alam semesta. Cabang-cabang ilmu itu meliputi Fisika, Kimia dan Biologi. Cabang ilmu sains inilah yang mencoba menjelaskan asal-usul alam semesta beserta kehidupan hingga bisa diterima oleh akal dan tertangkap oleh indra. Sedang cabang ilmu yang lain yang mencoba menjelaskan asal-usul kehidupan ini, misalkan sastra, bahasa atau agama hanya dianggap dongeng sehingga tidak bisa diterima oleh akal. Selain cabang ilmu sains jika ada yang mencoba menjelaskan asal-usul kehidupan maka itu diberi label tidak logis, dicap khayalan.

Asusmi Ilmu pengetahuan dan teknologi

 Ilmu pengetahuan saat ini yang kita pelajari dan diajarkan di sekolah-sekolah di seluruh dunia ini, berangkat dari akar masalah yang sama. Orang-orang yang kita sebut ilmuan atau para ilmuan ini atau bahkan kita, saat ini beranggapan sama, yaitu menganggap bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini, perbendaharaannya, tanah, air, udara, hewan, tumbuhan, planet, bintang, matahari, bulan, meteor, komet dan seterusnya, semua berawal dari tidak ada (NOL atau KOSONG). Dan Ilmu pengetahuan bekerja berdasarkan asusmi itu, dan berusaha membuktikan asumsi itu dengan membuat teori bagaimana itu terjadi?, bagaimana itu bisa bergerak?, bagaimana itu bisa berubah? Maka dalam buku ini atau artikel ini, saya mengajak semuanya saja untuk meninjau ulang asumsi kita bahwa semua berawal dari nol. Jangan-jangan selama ini anggapan kita salah? Lalu kenapa kita meninjau ulang anggapan kita bahwa semua ini berawal dari nol (kosong / tidak ada). Bukankah jika ada botol kosong hampa udara yang tertutup rapat tanpa ada celah untuk partikel masuk, maka selamanya botol itu tidak akan pernah ada isinya sesuatu apapun. Anggapan bahwa semua berawal dari nol atau kosong inilah yang saya maksud sebagai the missing link dalam buku atau artikel ini. Meninjau asal mula kita mengembara dalam ilmu pengetahuan tidak ada salahnya seperti saya meninjau ulang definisi dari nol itu sendiri. 

Sebelum kita menelaah atau meninjau ulang lalu mengajukan asumsi atau bahkan teori baru, ada baiknya kita melihat lagi capaian ilmu pengetahuan atau sains saat ini. Sudah sejauh mana sains saat ini bergerak. Sudah seberapa dekat ilmu pengetahuan ini bisa merumuskan asal-usul kehidupan dan alam semesta. Hal ini kita perlukan supaya kita bisa mengukur seberapa jauh nanti kita harus mengejar, atau jika itu salah arah kita bisa memperkiraan jarak dan waktu yang kita perlukan untuk kembali.

Capaian Fisika, Kimia dan Biologi

Fisika dan capaian fisika, fisika adalah cabang sains yang mempelajari tentang materi atau benda-benda. Cara kerja fisika dengan mengamati benda-benda di sekitar kita, kemudian sampai pada simpulan bahwa benda-benda di sekitar kita digolongkan atas tiga kelompok besar yaitu padat, cair dan gas. Kemudian mengamati bentuk dan dimensi dari sebuah benda lalu diukur. Maka fisika sampai pada besaran dan satuan ukur. Pengukuran dilakukan untuk mengambarkan secara presisi dari sebuah benda, pajang, lebar dan tinggi, massa benda, konsentrasi yang mempengaruhi benda, volume, suhu dan perubahan bentuk dan dimensinya. Fisika juga mengamati bagaimana sebuah benda atau materi mempengaruhi benda atau materi lain. Hingga pengaruh itu bisa membuat sebuah benda bergerak satu dengan yang lainnya. Fisika juga menghitung jarak dan waktu pergerakkan dari sebuah benda. Sampailah fisika pada teori tentang gerak benda dan merumuskan pergerakkan benda. Dan rumus gerak yang ada saat ini sudah cukup presisi meramal pergerakan benda dan posisi benda tersebut terhadap benda lain ataupun pengamat dari pergerakan benda tersebut. Fisika yang seperti ini dikenal dengan fisika mekanik, atau cukup disebut mekanika. Kemudian ilmu fisika atau ilmu materi ini juga bergerak ke dua arah berdasarkan besar dan kecilnya materi. Fisika yang mengamati benda-benda besar bahkan sangat besar sampai planet, bintang dan galaksi kita kenal dengan fisika makro, sedangkan fisika yang mengamati seberapa kecil materi, hingga materi tersebut sudah tunggal dan tidak bisa dibagi-bagi lagi disebut fisika mikro, atau populer dengan sebutan fisika kuantum.

Fisika kuantum adalah fisika yang mengkhususkan diri mengamati benda atau zat sampai pada ukuran yang sangat kecil sehingga tidak mungkin benda itu untuk dibelah lagi atau dipotong lagi dan disebut dengan nama atom. Tetapi kemudian juga menemukan ada fenomena bahwa mungkin masih ada partikel subatom di dalam atom. Jadi atom masih tersusun lagi dari subatom, dan terdiri dari tiga jenis yaitu, proton atau inti atom, bermuatan positif, kemudian ada neutron bermuatan netral dan besarnya hampir sama dengan proton, dan yang ketiga adalah elektron, massanya ±1.800 kali lebih kecil dari masa proton dan bermuatan negatif. Elektron ini mempunyai sifat merespon terhadap cahaya, jadi ketika ada cahaya datang menyinari atom, maka elektronnya melompat dari atom tersebut. Kita buat perumpamaan saja ya, biar mudah menjelaskan, jadi atom itu seperti kolam ikan, proton dan neutron itu menentukan dimensi dari atom (panjang, lebar, tinggi atau satu paket volume atom) sedangkan elektron itu adalah ikan-ikan yang berenang dalam atom. Ketika ada makanan (cahaya) maka ikan-ikan (elektron-elektron) itu melompat-lompat berebut makan itu. Mungkin seperti itu perumpamaan partikel subatom di dalam atom.



Gambar Ilustrasi atom ibarat kolam ikan, elektron berenang bebas dalam atom.

Fisika makro adalah fisika yang mengamati benda atau zat yang ukurannya besar bahkan sangat besar, sampai pada planet, bintang, galaksi dan mencoba membuka rahasia dari jagat raya. Fisika makro mengamati benda yang tampak, bagaimana benda itu, hingga merumuskan bagaimana benda itu bisa bergerak atau digerakkan. Bagaimana sebuah benda bisa bergerak? Kemudian bagaimana posisi benda bergerak terhadap benda lain yang juga bergerak? Teori yang digunakan untuk menjelaskan fenomena tersebut adalah teori gravitasi dari Newton dan juga pembaruan dari Einstein yaitu teori relativitas. Teori relativitas digunakan untuk menerangkan gerak benda terhadap benda lain ataupun terhadap pengamat, baik pengamat yang diam ataupun pengamat yang juga bergerak. Kemudian untuk menjelaskan bagaimana kita bisa berdiri di bumi tanpa terbang melayang-layang, atau istilahnya gravitasi, maka Enstein mengajukan teori bahwa "Benda karena ukurannya yang sangat besar, maka ia akan melengkungkan dimensi ruang dan waktu. Itulah sebabnya mengapa kita tersedot, berdiri di bumi. Sebab ruang yang melengkunglah kita bisa berdiri dimanapun kita menginjakkan kaki di bumi. Itulah capaian ilmu fisika saat ini, ini hanya ringkasan kecil dari semua capaian ilmu fisika, untuk memahaminya lebih dalam silahkan untuk mencari dari sumber lain. Artikel hanya berisi gambaran umum saja, dan ditujukan untuk dibaca oleh semua kalangan. Mungkin ada banyak perbedaan dalam pengilustrasian dengan ilmu fisika murni.

Kimia, kimia adalah lanjutan dari fisika yang mengamati lebih dalam tentang materi atau zat.  Kimia mengamati sebuah materi, kemudian merumuskan struktur pembentukannya, menentukan sifatnya, membuat susunan strukturnya, dan perubahan materi tersebut. Semua dilakukan dari tingkat atom atau unsur terkecil, hingga mencoba merekayasa pembentukan materi baru, atau pemurnian materi yang sudah ada. Permurnian diperlukan karena hampir sebagian besar unsur di bumi ini ditemukan dalam bentuk campuran, bukan unsur murni. Materi di alam dalam bentuk campuran atau istilah dalam kimia disebut dengan senyawa / molekul, diteliti atau diamati kemudian ditemukan bahwa materi tersebut tersusun dari beberapa unsur murni. Kimia kemudian mencoba memecah senyawa tersebut hingga bisa diindetifikasi unsur murni penyusun senyawa itu. Kemudian dari unsur murni yang diidentifikasi kemudian kimia mencoba merumuskan sifat-sifat dari unsur tersebut. Kimia juga mencoba merumuskan sifat-sifat dari senyawa atau molekul alam, kemudian mencoba memanfaatkannya. Kimia juga telah mencoba membuat senyawa baru, menguji sifatnya dan menfaatkannya. Dan hari ini, kita tidak bisa lepas dari senyawa-senyawa baru yang telah dibuat dalam laboratorium kimia. Sebuah kemajuan yang luar biasa dalam bidang kimia.

Biologi, biologi adalah bagian dari cabang ilmu sains yang mempelajari tentang mahluk hidup. Sebetulnya tidak hanya mahluk hidupnya saja yang dipelajari dalam biologi, tetapi juga hal-hal yang menyangkut tentang kehidupan ataupun sesuatu yang menyokong kehidupan. Biologi mengamati mahluk hidup hingga pada tingkat terkecil penyusun mahluk hidup atau kita sebut sel. Biologi sudah mengungkap bahwa ada mahluk hidup yang terdiri dari satu sel saja. Mahluk hidup mikro ini biasa disebut dengan bakteri. Bahkan ada mahluk lebih kecil dari itu,dikenal dengan sebutan virus. Biologi juga sudah pada tingkat bisa mampu menduplikasi mahluk hidup dengan teknik yang diberi nama kloning. Jika kloning menduplikasi mahluk hidup itu utuh seperti mahluk yang dijadikan sumber kloning, saat ini biologi telah mampu mengembangkan hanya sebagian jaringan, organ dari mahluk hidup. Teknik ini dimaksudkan untuk mengembangkan daging hewan, tanpa mengembangbiakan hewan tersebut.

Itulah sedikit tinjauan tentang sains (Fisika, Kimia, Biologi). Tentu saja hanya sebuah cuplikan kecil dari pencapaian besar sains. Saat ini perkembangan dari ketiganya, telah menciptakan sesuatu yang baru yaitu teknologi. Dengan adanya teknologi, perkembangan sains mengalami lompatan besar. Dengan teknologi komputasi, perhitungan dan perkiraan menjadi lebih mudah. Pengumpulan data lebih cermat dan sesorang yang datang kemudian, tidak perlu melakukan pengamatan dari awal lagi, mereka cukup menggunakan data pengamatan dari peneliti sebelumnya yang sudah dibukukan atau dikomputerisasi.

Rumus universal terciptanya mahluk hidup dan jagat raya

Lalu pertanyaannya adalah, sejauh mana sainstek ini bisa membuktikan bahwa semesta atau jagat raya ini dimulai dari nol? Atau sedekat apa sainstek ini pada bukti bahwa kehidupan ini dimulai dari nol atau terjadi dengan sendirinya? Menurut saya sih sudah sangat dekat, sainstek saat ini sudah sangat dekat dengan pembuktian bahwa semesta alam atau kehidupan ini dimulai dari nol atau terjadi dengan sendirinya. Kemudian syarat apa yang diperlukan untuk mencapai bukti bahwa semesta alam, atau kehidupan itu terjadi dengan sendirinya? Yang dibutuhkan sainstek saat ini untuk membuktikan bahwa semesta ini dan kehidupan ini terjadi dengan sendirinya adalah sebuah rumus gerak atau rumus mekanika gerak. Bukankah sudah ada rumus itu di fisika? Iya memang sudah ada, tapi yang diperlukan adalah sebuah rumus satu untuk semuanya. Dan rumus yang ada saat ini belum cukup untuk menjelaskan gerak partikel pada fisika kuantum. Lalu rumus seperti apa yang diperlukan untuk menjawab atau membuktikan bahwa semesta dan kehidupan ini terjadi dengan sendirinya?

Maka gambaran rumus yang diperlukan untuk menjawab atau membuktikan bahwa memang benar alam semesta ini terjadi dengan sendirinya adalah rumus mekanika atau rumus gerak partikel dimana rumus ini bisa menentukan pergerakan partikel, sehingga pergerakkan partikel ini mempengaruhi materi secara relatif mengembang atau menyusut membentuk atom. Dengan rumus ini, turunan atau integralnya bisa menghitung atau menentukan kapan partikel atau atom itu bergerak, kapan atom itu dengan atom yang lain saling memicu membuat ikatan membentuk senyawa. Kemudian dengan turunan atau integral dari rumus mekanika itu, senyawa-senyawa itu mulai membuat ikatan dan berkelompok menjadi makro melekul. Rumus ini, integral atau turunannya kita bisa tahu kapan materi itu saling mengikat, menarik, berkumpul, menyatu menjadi materi besar, sangat besar hingga mempengaruhi materi lain supaya tetap di dekatnya (gravitasi). Rumus ini, integral atau turunannya bisa menghitung batas dari gaya tarik sebuah materi, sehingga itu yang menyebabkan semesta ini terus mengembang. Dengan rumus ini, integral atau turunannya kita bisa tahu ujung dari jagat raya, meskipun belum bisa kita indra dengan teleskop sekalipun, karena dengan rumus mengembang dan mengukur waktu reaksi partikel dan materi kita bisa menghitung sejauh mana jagat raya telah mengembang. Dengan rumus ini, integral atau turunannya kita bisa mengetahui posisi dari sebuah partikel terhadap atom, terhadap molekul, terhadap bumi bahkan terhadap jagat raya. Karena ujung jagat raya sudah bisa kita ramalkan dengan  rumus ini atau dengan integral atapun turunan dari rumus ini.

Rumus mekanika atau rumus gerak ini, turunan atau integralnya kita bisa tahu mengapa, kapan, dimana, atom membentuk senyawa protein pertama kali, lalu senyawa protein ini mulai menarik materi lain. Dengan rumus itu pula, turunan atau integralnya protein itu mulai bergerak, menarik materi atau senyawa lain. Kemudian terungkaplah saat kapan pertama kali mahluk hidup ini ada. Dengan rumus ini, integral atau turunannya rumus ini, kita bisa menghitung dengan pasti kapan sebuah protein bergerak membentuk sel, organ dan seterusnya hingga terjadilah mahluk hidup dengan multi organ. Dengan rumus ini, integral atau turunannya kita bisa tahu pasti kapan sebuah mahluk hidup itu berubah dan perubahan itu pasti berhasil dan kapan perubahan itu akan berhenti. Sehingga tidak ada lagi pertanyaan tentang “the missing link”. Seberapa dekat kita dengan rumus tersebut? Atau seberapa dekat sainstek membuat rumus itu? Saya kira cukup dekat, mungkin hanya butuh beberapa langkah saja.

Bukti Tuhan tidak ada atau tidak diperlukan dalam terciptanya jagat raya

Jika ada rumus gerak atau rumus mekanika, yang apabila integral atau turunan dari rumus mekanika itu bisa menjelaskan dimana posisi sebuah partikel terhadap jagat raya. Turunan atau integralnya bisa menjelaskan bagaimana bumi, planet dan bintang bergerak. Turunan atau integralnya atau rumus ini bisa menghitung secara presisi ujung dari jagat raya,  maka :

Pada saat itu, terbukti bahwa semua berawal dari nol, yang artinya peran Tuhan tidak dibutuhkan pada asal-usul jagat raya. Terbukti bahwa Tuhan itu tidak ADA.

Tunggu dulu! Benarkah hanya butuh beberapa langkah saja? “Sek, sek, jek adoh opo wes cedek yo!” Saya kira tadi sudah cukup dekat, tapi beberapa langkah itu butuh waktu berapa lama? Waduh saya tidak tahu, meskipun hanya beberapa langkah saja, jika hanya diam saja, maka selamanya juga gak akan sampai. Hehehehe! Ya sapa tahu kamu mau bantu gitu! Bukannya sudah banyak para ilmuan sudah meneliti, sedang meneliti, mau menenliti saat ini. Biarlah itu menjadi urusan para ilmuan saja. Hmm.. repot lek wes ngene iki. Yo wes terserah kamu saja, iki lanjut moco opo ora iki? Tak teruske, engko mbok woco opo ora?

“Tak teruske, bah bah mbok woco opo ora. Iki tetep tak teruske emboh engko dadi opo.”

Saya kira cukup, untuk memotret atau mencuplik ilmu sains dan teknologi, dan kita sudah sama-sama tahu, sudah sama-sama rasa semua pencapaian sains dan teknologi saat ini. Rasa-rasanya kita mati jika hidup tanpa produk dari sains dan teknologi. “Hampa kurasa hidupku tanpa sainstek”, “Gak bisa apdet statuslah, gak tahu harus ngapain lah”, “Bosan, bete, hjkl;’[]”, “Pokoknya aneh aja!”. Padahal kenyataanya hanya rebahan, dan gak jelas hidup mau ngapain. Kembali ke potret dan cuplikan sainstek, pokoknya kamu sudah lebih paham rasanya, meskipun tidak tahu itu apa. Tapi yang namanya cuplikan, atau potret, jelas beda dengan kenyataan.

Itulah sains dan teknologi saat ini, semua yang kita rasakan adalah produk dari sainstek. Semua yang ada saat ini berawal dari anggapan bahwa segala sesuatu yang ada saat ini berawal dari nol, atau tidak ada, kemudian manusia mulai mengamati, mengidentifikasi, merumuskan sifatnya. Selanjutnya manusia mencoba memanipulasinya terjadilah produk-produk sainstek saat ini. Semua berawal dari anggapan bahwa segala sesuatu dimulai dari tidak ada, dan mencoba menerka bagaimana itu bisa terjadi. Kemudian munculah teori-teori yang menebak-nebak awal mula terjadinya alam semesta. Teori yang berspekulasi mencoba menjelaskan, O… mungkin semesta itu berawal seperti ini. Kehidupan awalnya seperti ini, dan masih banyak lagi teori yang mencoba menjelaskan asal-usul kehidupan atau alam semesta. Ada yang berangkat dari asumsi, kemudian mengamati dan menguatkan akan asumsinya dan membuat teori. Ada yang mengamati kemudian berteori. Semua teori itu mencoba menjelaskan bagaimana awal mula jagat raya terjadi dengan sendirinya atau berangkat dari nol.

Sains wajib berTuhan karena ternyata belum ada yang mampu menotasikan Rumus Mekanika Universal

Karena satu rumus mekanika atau rumus gerak ini belum ditemukan, atau belum juga ada yang berhasil menotasikannya (merusmuskannya), maka  selama itu pula : 

Sampai saat ini sains dan teknologi tidak bisa mengatakan bahwa  Tuhan tidak ada.
Bahwa keberADAan akan tuhan harus bisa dibuktikan oleh sains dan teknologi, dengan syarat-syarat bahwa Tuhan itu harus bisa diamati atau dideteksi, diterima rangsang atau responnya dan seterusnya, Tuhan itu harus terukur untuk bisa diakui dalam sains dan teknologi. Sebutan mudahnya adalah Tuhan itu harus bisa didengar, dilihat, diraba, dirasa, dicium dengan ataupun tanpa alat bantu sains teknologi. Hal ini berarti bahwa TUHAN itu harus mencukupi syarat dan metode sains untuk bisa dikatakan ada. Dengan adanya syarat dan metode dalam sains dan teknologi yang berlaku mutlak, maka sesungguhnya syarat dan metode mutlak dalam sains dan teknologi berlaku tertutup (“cover” / “kafir”). 
Syarat dan metode dalam sains dan teknologi yang menjadikannya gengsi akan meninjau ulang syarat dan metode itu. Syarat dan metode itu yang menjadikan sains dan teknologi enggan untuk menyatakan Tuhan itu ada, atau setidaknya mengakui mungkin Tuhan itu ada karena belum ditemukannya rumus mekanika di atas. Tetapi dengan syarat dan metode sains itu menjadikannya angkuh, menutup diri dan sibuk membuktikan bahwa segala sesuatu di jagat raya ini dimulai dengan nol atau tidak ada. Padahal dalam syarat dan metode dalam sains, sampai saat ini belum satu manusia pun, bahkan manusia yang paling jenius sekalipun, bahkan satu bangsa atau seluruh manusia di bumi dan kolong langit ini, sepanjang jaman yang telah berlalu yang berhasil atau mengaku mampu mengambar suara dengan tepat atau presisi. Bukti bahwa pada zaman, pada era, pada bangsa, adanya gambar akan suara yang berbeda-beda (tulisan atau huruf atau sastra)adalah Fakta gambar akan suara hanyalah sebatas tafsir maka kita temui banyak ragam tulisan di dunia saat ini, bahkan pada era atau jaman yang telah berlalu. Dan hampir seluruh umat manusia di dunia menganggap itu adalah sebuah kebenaran bahkan mendebatkannya. Tulisan saya sebelumnya tentang “Balada : Menemani akal mencari tuhan”, “Balada : Menemani akal mengilustrasikan tuhan”, mungkin perlu dibaca jika diperlukan untuk penjelasan tambahan. “kikikik, kamu tersinggung? Marah? Mau mencoba menggambar suara, melukiskan rasa? Jajalen! Kwokwokwok!”
Sepanjang jaman, sepanjang waktu yang telah berlalu, sampai saat inipun tidak ada satu manusiapun yang mampu mengambarkan suara dengan presisi ataupun sebaliknya. Bahkan untuk semua indra seandainya terpisah dari kepala ini, tidak ada satupun yang akan akur, atau saling percaya. 
Entah kenapa sains dan teknologi enggan mengakui bahwa secara sains dan teknologi, mereka tidak bisa menyatakan bahwa tuhan itu tidak ada, tetapi mereka semakin larut dengan rumusan-rumusannya, temuan-temuannya, manipulasi-manipulasi dari hasil menurunkan sifat-sifat akan materi. Tetapi mereka lupa akan tujuan awal mereka bergerak sampai saat ini, bahwa mereka harus punya bukti yang pasti bahwa tuhan itu tidak ada. Bahwa semua berawal dari nol atau tidak ada, dan mereka seolah lupa membuat pernyataan “sampai saat ini Kami (sains dan teknologi) tidak bisa membuktikan bahwa tuhan tidak ada. Bahkan kelupaan mereka, ilmuan-ilmuan mereka, lupa membuat pernyataan itu sampai kematian menjemputnya. Dan kita dijejali dengan ilmu-ilmu mereka, teori-teori mereka, tetapi juga guru-guru kita lupa menyampaikan apa yang harusnya dinyatakan oleh para ilmuan sains itu, dampaknya dunia saat ini tertutup (cover/kafir) akan tuhan. Atau sebagian manusia bertuhan tapi tidak yakin. Bertuhan tapi hanya urusan ibadah syariat. Bertuhan hanya sebatas pintu rumah ibadah.

Metode tertutup sains dan teknologi

Dalam syarat dan metode dalam yang digunakan untuk memastikan sesuatu itu bisa terukur, teramati, dengan dilihat bentuknya atau warnanya, didengar suaranya, diraba teksturnya, dirasa akan rasanya, dan dicium aromanya kemundian diturunkan sifat-sifatnya atau dirumuskan sifat-sifatnya baru kemudian bisa dikatakan saintifik. Akan tetapi dalam metode yang digunakan itu juga gagal memastikan satu dengan yang lain. Misalnya sains tidak bisa memastikan jika warna merah itu pasti panas rasanya, atau biru pasti dingin, atau jika merah itu pasti manis rasanya, sedangkan hijau pasti pahit rasanya, dan seterusnya. Bahwa suara sesuatu tidak bisa dipastikan warna, rasa, tekstur dan aromanya, warna dan bentuk sesuatu tertentu tidak bisa dipastikan suara, aroma, tekstur dan rasanya. Dan semua yang bisa diidentifikasi oleh salah satu indra, maka indra yang lain tidak bisa memastikan bahwa bentuknya pasti ini, suara seperti ini, rasa ini, aroma ini, dan tekstur ini. Maka perangkat yang digunakan dalam sains yaitu syarat dan metode supaya sesuatu itu dikatakan sainstifik gagal untuk saling memastikan satu sama yang lain. Lalu mengapa gelombang asumsi yang dibesar-besarkan, didengung-dengungkan dalam sains adalah “Tuhan tidak ada karena tidak ada bukti keberadaannya yang bisa ditangkap oleh indra (semua indra atau salah satu saja)”. Sains mengambil istilah hukum alam bukan hukum tuhan hanya karena tidak mau mengakui keberadaan tuhan. Mengapa sains bergerak bahwa segala sesuatu berawal dari nol dan sibuk membuktikan bahwa tuhan tidak ada. Fakta bahwa sains tidak bisa membuktikan bahwa tuhan tidak ada tidak pernah diakui, sains tidak pernah mau menyatakan bahwa mereka juga belum bisa membuktikan bahwa tuhan tidak ada. Tidak pernah ada pernyataan seperti itu dalam buku-buku sains. Apakah dengan menyatakan bahwa sains tidak punya bukti bahwa tuhan tidak ada, adalah sebuah kehinaan? Atau apakah jika menyatakan itu “bahwa tuhan itu ada” sudah cukup tidak perlu penjelasan lagi, sains berhenti tidak perlu ada pengamatan, peneletian, pencarian?

Sekarang mari melihat diri kita (Aku dan Kamu juga Kalian semua) sebagai kelompok besar penikmat, atau yang terdampak akan produk-produk dari sains dan teknologi. Akankah kita masih akan tetap larut dalam yuforia (uforia), ingar-bingar, gegap-gempita sebagai penikmat produk-produk teknologi, tanpa ada tanggungjawab untuk membuktikan bahwa tuhan itu beneran tidak ada? Apakah cukup tanggungjawab pembuktian itu hanya diambil oleh para peneliti, para ilmuan sains saja? Bukankah sampai saat ini sains juga gagal membuktikan bahwa tuhan itu tidak ada? Bukankah seharusnya sains itu berjalan dengan bertuhan, dan hanya boleh sains tidak bertuhan jika, bukti bahwa tuhan itu tidak ada sudah ditemukan? Lalu mengapa kamu melilih tidak bertuhan? Lalu mengapa kamu bertuhan hanya sebagian-sebagian, bertuhan untuk urusan tertentu, kemudian tidak bertuhan untuk urusan lain? Akankah kita bertuhan hanya untuk ibadah saja, sedangkan untuk jual-beli, pinjam-meminjam, tolong-menolong, berteman, bersosialisai tuhan bisa kita tiadakan? Akankah kita tidak bertuhan seperti ilmuan sains sampai kematian menjemputnya? Bukankah sains ini telah berlalu beberapa ratus tahun tetapi tetap saja tidak bisa membuktikan ketidakberadaan Tuhan? Apakah kita akan terus menganggap bahwa waktu itu adalah jam dinding, jam tangan, jam digital? Bukankah itu semua (jenis-jenis jam) hanyalah alat pengukur waktu, sedangkah waktu itu sendiri tidak pernah bisa kita tangkap dengan indra? Apakah sebelum jam ditemukan waktu tidak ada? Apakah jika kita tidak dapat melihat jam (jam tangan, jam dinding, jam digital, gedung jam, tower jam, dst) kita bisa mengatakan waktu tidak ada? Seperti jam dengan waktu itukah anggapan kita terhadap Tuhan? Haruskah kita butuh jam untuk mengatakan bahwa waktu itu ada? Haruskah Tuhan itu terukur selayaknya waktu dengan jam? Apakah hanya karena kita bisa merasakan siang-malam, pagi-sore, panas-dingin kemudian kita mengatakan waktu itu ada? Bagaimana jika berada di dasar samudra yang gelap gulita, cahaya tidak pernah sampai di sana, apakah waktu di sana tidak ada? Ataukah di angkasa tempat meteorit dan benda-benda angakasa yang tidak terkena siang malam, apakah waktu di sana tidak ada? Apakah harus saya keluarkan semua pertanyaan yang ada di kepala ini? 

Jawablah semua pertanyaan di atas dengan jujur! Dimanakah posisi Kamu saat ini? Setelah tahu tidak mungkin bagi kita, bagi sains, dan semua untuk tidak bertuhan. Kita harus bertuhan, sains harus bertuhan semuanya harus bertuhan. Sains wajib bertuhan karena sampai saat ini sains belum bisa membuktikan bahwa Tuhan tidak ada. Maka mulai saat ini sains harus berjalan dengan bertuhan. Kemudian akankah kita tetap enak-enakan sebagai konsumen produk-produk teknologi, tidak mau bertuhan dengan sungguh-sungguh? Tahukah Kamu, saat ini Kamu dalam posisi terancam? Maka pastikan dimana Kamu berdiri saat ini. Mungkin Kamu tidak tahu dimana posisi keterancamanmu, atau memang Kamu tidak peduli. Seharusnya kematian itu cukup untuk mengingatkan Kamu akan tuhan. Seharusnya kematian itu adalah peringatan yang sangat keras. Kematian akan orang-orang didekatmu, kematian orang-orang terdahulu, kematian para saintis yang gagal membuktikan ketidakadaan akan tuhan. Seharusnya itu sudah cukup untuk membuatmu mengalah dan bersiap diri akan hari setelah mati. Masihkah Kita (Aku dan Kamu)  tetap angkuh, sombong, memaksa dan mensyaratkan bahwa tuhan itu harus bisa kita indra? Padahal saat ini kita sadar dan mengerti bahwa, “Waktu” itu kita yakini dengan sangat yakin tetapi tidak ada satupun dari indra kita yang mampu menangkapnya. Jika dengan “Waktu” kita bisa berdamai, mengapa kita masih angkuh terhadap Tuhan. Maka pilihan tidak bertuhan, atheis, agnostik, atau apapun itu istilahnya adalah perjudian yang sangat buruk. Belum pernah tercatat satupun yang pernah menang, sedangkan ancaman kematian itu adalah pasti. Pilihan berdamai dengan ketidakpastian, dan menundukkan diri akan ketidaktahuan adalah pilihan terbaik. Seharusnya cukup bagi kita untuk sujud menyerahkan diri kepada Tuhan akan ketidakpastian, seharusnya cukup bagi kita untuk bersujud dan mengakui keterbatasan pengetahuan kita. Kesombongan dan keangkuhan tidak akan menolong kita dari hari kebangkitan. 

Pilihan dan Dampak dalam bertuhan


Kita tidak bisa mengambil resiko dengan tidak bertuhan, karena itu menuntut kita untuk membuktikan ketidakadaan Tuhan yaitu sebuah rumus universal yang bisa menghitung, memperkirakan sebuah materi dan alam semesta. Pilihannya hanya bertuhan dengan sungguh-sungguh.

Penting tidaknya belajar Sains dan Teknologi

Jika demikian adanya, bahwa ilmu pengetahuan itu wajib berjalan dengan bertuhan, sedangkan ilmu pengetahuan saat ini berjalan dan berkembang untuk membuktikan bahwa alam semesta ini terjadi dengan sendirinya, tanpa ada campur tahan sang pencipta. Apakah itu artinya ilmu pengetahuan itu tidak penting? Apakah sains dan teknologi saat ini boleh ditinggalkan? Ataukah mempelajari ilmu pengetahuan itu hukumnya justru haram? Karena mempelajarinya justru menjauhkan kita dari Tuhan. Apakah ilmu sains dan teknologi ini adalah sebuah fitnah atau menjadi sumber fitnah? Eits..! tunggu sebentar, jangan buru-buru memvonis haram atau terlarang! Mari kita lakukan pelan-pelan, karena mengharamkan sesuatu yang tidak ada hukum atasnya dimungkinkan menjadi sumber dosa besar. Maka mari kita lakukan dengan hati-hati, karena kita tidak mau membuat tambang dosa besar, yang dosanya terus mengalir meskipun jasad ini telat dimatikan, hancur luluh kembali menjadi tanah. Begitu pula sebaliknya, mewajibkan sesuatu yang tidak ada nash atau rujukannya juga memungkinan menjadi tambang dosa juga. Maka kita butuh menimbang dengan berbagai macam timbangan, kita butuh mengukur dengan berbagai alat ukur. Hal ini kita lakukan sebagai bentuk kehati-hatian, dan untuk mendapatkan hasil yang lebih presisi dari penimbangan dan pengukuran yang sudah pernah dilakukan oleh pendahulu kita, karena siapapun tidak mau membuat galian tambang yang hasilnya hanya dosa belaka. Meskipun kita tahu bahwa ampunan tuhan itu seluas langit dan bumi.

Setelah tahu bahwa sains dan teknologi wajib bertuhan, karena tidak ada bukti rumus mekanika yang mampu menjelaskan kehendak dari partikel atau atom untuk mulai bergerak. Seperti rumus yang sudah dijelaskan di atas, yaitu rumus mekanika satu untuk semua, baik melalui turunan ataupun integral dari rumus itu. Lalu apa manfaatnya kita mempelajari ilmu sains dan teknologi, jika keburukan saja yang kita dapat dari mempelajari ilmu sains dan teknologi. Keburukan maksudnya adalah membuat diri kita jauh dari bertuhan. 

Ada sebuah berita dari Tuhan, yang mengabarkan bahwa “Nabi Adam alaihi salam, manusia yang diciptakan langsung oleh Allah subhanahu wa ta’ala dari tanah, diperintahkan memberitahu kepada malaikat nama-nama semua benda yang sudah diciptakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Kemudian Nabi Adam alaihi salam menyebutkan semua nama benda–benda itu.” apakah berita ini hanyalah sekedar berita tentang peristiwa yang terjadi pada Nabi Adam alahi salam, atau bahkan berita ini hanyalah sekedar dongeng belaka? Apakah perintah untuk menyebutkan nama-nama benda hanya untuk Nabi Adam alaihi salam semata? Atau perintah untuk menyebutkan nama-nama benda semuanya juga sampai pada kita sebagai anak turun dari Nabi Adam alaihi salam. Bukankah kita terlahir tanpa mengingat sesuatu apapun? Bukankah kita terlahir tanpa membawa papan nama? Nama yang kita pakai saat ini adalah pemberian dari orang tua kita. Kita hanya  menyebutkan nama-nama benda sesuai apa yang diajarkan oleh orang tua kita. Sedangkan nama semua benda ini adalah ilmu pengetahuan. Akankah kita tetap antipati terhadap ilmu pengetahuan, sains dan teknologi? 

Berita selanjutnya, setelah Nabi Adam menyebutkan nama semua benda yang telah diciptakan Allah subhanahu wa ta’ala, kemudian Allah perintahkah seluruh malaikat untuk bersujud kepada Nabi Adam alaihi salam. Sebuah imbalan berupa derajat yang tinggi bagi yang menguasai ilmu pengetahuan dengan ditundukkan padanya malaikat untuk menurutinya. Mungkin ada baiknya kita menimbang – nimbang lagi dalam bersikap terhadap ilmu pengetahuan sains dan teknologi. Jangan sampai anggapan kita keliru tentang tidak pentingnya ilmu sains dan teknologi, dengan merasa cukup beriman saja kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dengan shalat, puasa, zakat, dan haji serta tarikat-tarikat yang kita jalankan. Penting bagi kita mengingat kembali tentang berita yang disampaikan Allah subhanahu wa ta’ala kepada malaikat bahwa “Akan diturunkan wakil Allah di muka bumi”.

Ketika para malaikat disampaikan berita bahwa “Allah akan menurunkan wakilNya di muka bumi.” maka para malaikat itu membantah atau menyanggah dengan mengatakan bahwa “Ia (khalifah / wakil / Nabi Adam dan turunnya (umat manusia)) hanya akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah di muka bumi”. Dengan alasan bahwa selama ini para malaikat telah bertasbih dan bertahmid (mensucikan dan mengagung / memuji) Allah subhanahu wa ta‘ala. Akankah kita bersikap meniru para malaikat yang merasa cukup dengan shalat, puasa, zakat, haji serta tarekat peribadatan yang kita kerjakan tanpa mengetahui nama-nama benda yang telah Allah subhanahu wa ta’ala ciptakan di jagat raya ini? Padahal kita juga diberitakan bahwa semua tasbih, tahmid para malaikat itu tidak ada artinya di sisi Allah ketika Ia menolak untuk sujud kepada Nabi Adam alaihi salam. Bahkan penolakan itu membuat statusnya sebagai malaikat berganti menjadi iblis ditambah disiapkan tempat di neraka. Sedangkan bagi Nabi Adam alaihi salam, dengan mampu menyebutkan nama-nama semua benda itu, mendapatkan imbalan / balasan / ganjaran dengan diperintahkan malaikat untuk sujud kepadanya dan juga diijinkan untuk tinggal di surga.

Hilangnya nilai tasbih dan tahmid Iblis

Sesungguhnya apa yang terjadi pada peristiwa di atas. Kemana hilangnya nilai tasbih, tahmid, sujud atau ibadah malaikat yang telah dikerjakannya? Mengapa para malaikat diperintahkan untuk sujud kepada Nabi Adam alaihi salam hanya karena Nabi Adam mampu menyebutkan nama-nama benda seluruhnya? Karena pengetahuan akan nama-nama benda seluruhnya menjadi faktor penilaian atas ibadah yang Nabi Adam alaihi salam kerjakan. Perumpamaanya seperti ini: 

Kembali ke kasus the missing link, Kita umpamakan Allah subhanahu wa ta’ala adalah koki, sedangkan jagat raya adalah meja saji, matahari, planet, bulan, bintang dan seterusnya adalah menu sajian. Ketika Allah menyajikan menu pertama, para malaikat bertasbih, lalu menu kedua para malaikat bertahmid, kemudian menu ketiga para malaikat sujud. Kemudian Nabi Adam alaihi salam didatangkan dan diperintahkan untuk menyebutkan nama-nama sajian yang ada di meja saji, maka Nabi Adam menyebutkan semuanya “Ubi Bakar, Ubi Goreng, Ubi Rebus, Tape, Rondo Royal, Jemblem, Lemet, Klepon, Gethuk, Gathot, Oyek, Thiwul.” Maka mulai saat itu nilai tasbih tahmid, dan sujudnya Nabi Adam alaihi salam bernilai dua belas, bandingkan dengan perolehan malaikat yang hanya satu tasbih, satu tahmid, dan satu sujud. Hal ini karena ketidaktahuan para malaikat akan nama-nama benda, sehingga menganggap semua sama. 

Dari perumpamaan di atas, kita bisa tahu dampak  dari menguasai ilmu pengetahuan. Karena ilmu pengtahuan yang kita kuasai menjadi faktor pelipat gandaan dari ibadah yang kita lakukan. Ilmu pengetahuan yang kita kuasai meningkatkan dejarat kita dihadapan Allah subhanahu wa ta’ala dan dihadapan manusia. 

Dengan mengingat berita dari Allah subhanahu wa ta’ala di atas, kemudian menimbang dampak dari menguasai ilmu pengetahuan begitu besar. Maka Aku tidak mau menganggap berita ini hanya sebuah dongeng belaka, atau perintah menyebutkan nama – nama sudah selesai sampai pada Nabi Adam saja. Bagiku perintah menyebutkan nama-nama benda adalah perintah untuk menguasai ilmu pengetahuan dan Aku harus melaksanakannya karena sungguh Aku datang tanpa mengingat sesuatu apapun. Walaupun Aku telat menyadarinya diusiaku saat ini. 

Ada sebuah tanda yang mendasari keputusanku itu. Mengapa perintah menyebutkan nama-nama benda itu masih menjadi perintah bagiku, dan Aku merasa harus / wajib melakukannya. Karena Dia, Allah subhanahu wa ta’ala menyapaku dan memanggilku dengan sebutan “Wahai anak Adam”. Panggilan untukku dan untuk seluruh umat manusia di bumi ini, termasuk kamu, dan kita semua. Dan fakta bahwa Aku terlahir tanpa membawa papan nama, atau mengingat sesuatu nama apapun. Maka Aku menganggap apa yang diperintahkan kepada Bapakku Adam alaihi salam, juga menjadi perintah bagiku untuk mengingat sebanyak-banyaknya nama-nama di dunia ini. Itu artinya juga mengusai ilmu sebanyak mungkin, dan akan Aku lakukan sampai waktuku habis di dunia ini.

Tabel Ilustrasi dampak dari  orang menguasai ilmu pengetahuan saat ini dan nanti.





Tabel Ilustrasi atau gambaran dari orang dan ilmu yang dikuasainya, serta dampak yang didapat di dunia maupun di akhirat. Tentu saja dari sudut pandang saya.

Dibalik berita tentang Iblis yang tidak mau bersuduh pada Nabi Adam 

Dari berita diatas tentang malaikat yang tidak mau sujud kepada Adam alaihi salam, yang kemudian dijuluki Iblis. Saya akan menuliskan sesuatu tentang Iblis yang tidak dituliskan dalam berita di atas, tetapi menurut saya itu ada.  Sebelum itu, saya berikan contoh berlogika dari berita yang tertulis.

Contoh kalimat berita (ini berita yang berarti fakta, bukan pendapat, bukan gossip.)
“Ibu sedang pergi ke pasar.”
Ada fakta yang bisa kita turunkan / kita tarik / kita logikakan dari berita di atas. Contohnya
“Saat ini Ibu sedang tidak ada di rumah.”
“Ibu tidak ada di dapur.”
“Ibu tidak sedang memasak.”

Kalimat di atas adalah contoh dari penurunan / logika dari kalimat berita pertama bahwa “Ibu sedang pergi ke pasar.” Dan hasil penurunan di atas juga sebuah fakta yang memang adanya, tapi tidak perlu dituliskan dalam pemberitaan pertama. Hal seperti ini cukup bisa dipahami, atau bisa kita ambil atau kita tarik ketika kita berlogika atau berfikir akan kalimat berita pertama. Penurunan berita seperti ini kadang diperlukan supaya kita bisa mengukur, atau memperkirakan bahwa kita sudah pada posisi dan kondisi yang tepat.
Kita kembali ke berita tentang Iblis di atas, sesuatu yang bisa kita turunkan dari berita tentang Iblis di atas adalah


Bahwa sampai saat ini, Iblis dihukumi kafir (tertutup) bukan karena tidak bertuhan. Iblis dihukum kafir hanya karena ia ingkar akan kuasa Tuhan.


Berita lain menyebutkan bahwa alasan Iblis enggan sujud kepada Adam alaihi salam karena menganggap dirinya lebih baik dari Adam alaihi salam disebabkan asal Iblis diciptakan dari api sedangkan Adam Alaihi salam dari tanah. Iblis beranggapan bahwa dirinya lebih baik dari Adam alaihi salam dan enggan meninjau ulang anggapannya itu. Iblis menutup pendapatnya sendiri dan menurutnya itulah yang benar, enggan pula melihat atau meninjau ulang pendapatnya dari sisi lain (Iblis mengira dirinya benar, dan menuntut dibenarkan oleh Tuhannya lalu keberadaan Adam alaihi salam adalah sebuah kesalahan). Iblis telah bertuhan dengan Tuhan yang benar, Iblis mengira Tuhan telah cukup dengan tasbih (mensucikanNya) dan tahmid (memujiNya) dari Iblis saja. Iblis begitu bangga dengan tasbih dan tahmidnya, kemudian juga bangga dengan asal usul penciptaan dirinya, dan mengira Tuhan telah cukup dengan itu. Dan ketika Tuhannya menguji dengan sesuatu yang menurutnya lebih rendah, Iblis menutup diri, dan bertahan dengan pendapatnya sendiri (kafir akan kuasa Tuhan).

Bahwa sekalipun kita telah bertuhan dengan Tuhan yang benar, bukan berarti kita menjadi pemilik kebenaran itu. Jangan terbalik logika, Tuhanlah pemilik bumi, langit dan seisinya, bukan Tuhan milik kita yang menyaksikan / membenarkan keberadaan Tuhan. Ini adalah peringatan yang sangat keras bagi Kita yang telah mengakui keberadaan Tuhan. Bahwa bertuhan itu adalah terbuka, terbuka pada pendapat yang kita yakini kebenarannya, terbuka pada cara kita menjalankan syariat dari Tuhan, terbuka bahwa Tuhan diatas segala sesuatu, terbuka bahwa Tuhan kuasa atas segala sesuatu. Terhadap cara kita bertuhan, cara kita beribadah kepada Tuhan (syariat), kita hanya menjalani sesuatu yang kita yakini, tetapi kita tidak bisa memaksakan orang lain untuk sama dengan kita. Kita juga tidak perlu melakukan semua jenis pilihan dalam bersyariat, karena kita hanya satu, tidak bisa membelah diri, tidak bisa melakukan semua pilihan dalam beribadah, maka kita pilih yang dekat dengan kita, yang kita sukai dan yang paling kita mampu untuk melakukannya. Seumpama menuju Tuhan itu harus melewati gunung, sedang jalur mendaki gunung ada empat jalur, kita tidak harus melewati keempatnya bersamaan, karena kita tidak bisa membelah diri, atau melompat dari satu jalur ke jalur yang lain. Kita cukup ikuti jalur yang paling dekat dengan kita, tanpa harus memaksa orang lain lewat di jalur yang sama dengan kita, tidak perlu pula syirik / iri dan menyalahkan orang lain yang melewati tiga jalur yang berbeda dengan kita, toh pada akhirnya puncaknya juga hanya satu. 

Mari kita ulangi lagi penurunan dari berita tentang Iblis
“Iblis tidak pernah menutup diri dari bertuhan.”
“Iblis tidak pernah kafir dalam bertuhan.”
“Iblis telah bertuhan dengan Tuhan yang benar.”

Terhadap diri kita sendiri, sudahkah kita bertuhan? Apakah Tuhan yang kita yakini adalah Tuhan yang sebenar-benarnya Tuhan yang menciptakan bumi, langit dan seisinya? Yaitu Tuhan yang sama yang telah menciptakan Iblis. Untuk kita yang masih ragu akan Tuhan, bahkan menutup diri dari bertuhan, sudahkah kita mampu merumuskan rumus mekanika di atas yang dengannya atau dengan turunan rumus itu ataupun integral rumus itu kita bisa tahu kapan mulainya alam semesta ini? Kapan sebuah sub atom, proton, neutron, dan elektron memiliki kehendak, kemudian memutuskan untuk jadi apa dia? Kapan atom-atom itu mulai bergerak dan memutuskan untuk menjadi senyawa? Kapan senyawa-senyawa itu memutuskan untuk membentuk organ? Kapan organ-orang itu memutuskan untuk menjadi individu? Kapan hidup itu dimulai? Rumus itu tidak ada, tidak akan pernah ada, tidak akan pernah ada yang mampu menotasikannya, maka sainstek / ilmu pengetahuan saat ini wajib bertuhan. Aneh saja bagi manusia yang memutuskan untuk tidak bertuhan / atheis / agnothis, padahal ia hanya menemukan dirinya tiba-tiba sudah ada dan hidup didunia ini. Ia juga tidak mampu menjelaskan bagaimana ia yang asalnya mati, kemudian hidup, kemudian mati lagi, kemudian hidup lagi! Siapakah zat yang hidup dan memberi kehidupan? Aneh saja, dan sangat aneh.

Mencoba Mengindra ke Tuhan

Sudah pasti ada sesuatu di sana yang memulai segalanya, Dia itu hidup dan tetap hidup. Dia itulah Tuhan. Jika kemudian untuk percaya Tuhan itu ada, kita mensyaratkan Dia (Tuhan) itu harus kasat mata atau bisa kita indra dengan satu atau kelima indra kita. Mari saya temani mengukur kemampuan indra kita, dan ijinkan saya sampaikan sudut pandang saya dalam menggunakan panca indra. Saya akan mengambil satu indra dari kelima indra yang jangkaunnya paling jauh. Misalkan indra perasa / lidah hanya akan mendeteksi sesuatu yang menyentuhnya yaitu lidah yang berarti sesuatu itu harus masuk kedalam mulut kita.  

Kemudian indra peraba, hanya mampu mendeteksi yang sesuatu yang mampu kita sentuh, dengan tangan, kulit. Indra penciuman, sudah cukup mampu meremot / mentele sesuatu yang diindranya asalkan ada media yang mengalirkannya sampai ke hidung. Kemudian indra pendengaran, telinga sudah cukup bisa mendeteksi sesuatu yang jaraknya cukup jauh, dengan syarat suara yang dideteksi cukup keras untuk didengar. Pilihan terakhirnya adalah penglihatan, ini bisa mendeteksi sesuatu yang cukup jauh sampai pada kita bisa melihat sesuatu tapi kita tidak bisa mendengar bunyinya, tentu saja tidak tahu aroma, tekstur dan rasanya. Baik kita akan menggunakan mata untuk mengindra Tuhan supaya kita bisa yakin bahwa Tuhan itu benar-benar ada. Mari kita perkirakan jarak terjauh jangkauan mata. Misalkan jarak pandangan kita ke cakrawala / horizon adalah sejauh 400 km, maka kita buat sebuah lingkaran dengan diameter tersebut. Kemudian lingkaran itu kita bandingankan dengan seluruh permukaan bumi, seberapa perbandingan antara jarak pandang kita ke horizon dibandingkan dengan permukaan bumi? Berikut ini saya buatkan gambar perbandingan tersebut.

Gambar perbandingan jarak padang dengan permukaan bumi.


Gambar ilustrasi jarak padang dengan permukaan bumi

Dari data ilustrasi di atas, satu titik biru adalah perkiraan jangkauan mata melihat ke arah horizon atau cakrawala, diperlukan sekitar 5.500 titik biru untuk menutup seluruh area permukaan bumi. Dalam arti lain, kita hanya melihat 1 dari 5.500 area yang ada, bahkan dalam kenyataanya ada banyak batasan yang mengganggu penglihatan mata kita. Kenyataannya kita mampu melihat radius 50 Km ke cakrawala merupakan kondisi yang sangat baik, yang artinya perkiraan di atas bisa semakin kecil lagi. Perbandingannya, Kita bisa melihat 1 area dari 14.400 area, sekitar 0,007% saja.

Penggambaran atau ilustrasi di atas sama hal dengan ilmu dan pengetahuan kita, segala sesuatu yang kita ketahui, tidak lebih banyak, tidak lebih besar dari ketidaktahuan kita. Semua ilmu pengetahuan kita sangat kecil dibandingkan dengan ketidaktahuan kita. Segala sesuatu yang tidak ketahui sama halnya dengan gaib atau tidak tampak atau tidak tahu. Itu baru perbandingan denga permukaan bumi, belum perbandingan dengan jagat raya. Rasanya perbandingan antara hal yang kita ketahui dengan jagat raya, satu per desilliun (1033) itu terlalu besar, menurut perhitungan saya bahkan lebih kecil dari itu. 

Saya kira sudah lebih dari cukup data perbandingan antara sesuatu yang kasat mata dengan keseluruhan semesta. Kita untuk bisa percaya, percaya sampai benar-benar yakin, sangat yakin bahwa di luar batas jangkauan mata kita jauh lebih banyak, jauh lebih besar daripada semua hal yang mampu kita lihat. Ini artinya untuk yakin bahwa ada hal-hal  lain di luar sana maka indra kita tidak dibutuhkan. Sesuatu yang kita perlukan adalah membebaskan akal kita supaya tidak terpenjara dalam indra. Akal kita bisa bebas menerka, melogika bahwa di luar batas jangkauan indra ada juga yang serupa dengan itu dan itu lebih besar dari apa yang mampu kita lihat, dengar, sentuh, cium ataupun rasa.

Mari kita lihat bagaimana ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini berjalan / berprilaku? Ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini berperilaku bahwa hanya sesuatu yang bisa teramati, terukur dengan alat ataupun tanpa alat yang bisa dipercaya dan diyakini itu ada. Selain dari itu maka dikatakan tidak saintifik, tidak ilmiah dan tidak masuk akal. Ilmu pengetahuan saat ini mendoktrin kita hanya yang teramati, terukur oleh kelima indra atau dengan alatlah yang bisa diyakini ada. Ilmu pengetahuan saat ini secara halus memerintahkan kita untuk memenjarakan / mengisolasi akal kita, selain yang tidak teramati oleh indra ataupun dengan alat maka sesuatu itu tidak perlu dipercaya apalagi sampai diyakini, sesuatu itu tidak ada. Diamlah sebentar dan fikirkan itu semua, apakah kita juga sudah beranggapan seperti itu? Tuhan itu tidak tampak, bisa jadi Tuhan tidak ada! Bisa jadi kita percaya Tuhan ada tapi belum sampai yakin, karena masih bertanya mengapa Tuhan tidak tampak oleh mata? Berhentilah! Berhenti sejenak, dan bebaskan akalmu, jangan penjarakan akalmu dengan batas indra! Biarkan akalmu bebas, berlogika, ada sesuatu di luar batas indra. Hal itu kita percaya dan kita sangat yakin itu ada. Jangan kita pejarakan akal kita seperti cara kerja ilmu pengetahuan dan teknologi. Kita tetap berilmu, berpengetahuan, dan menggunakan teknologi tapi dengan cara terbuka, bukan terisolasi dan terpenjara oleh indra. Sebagian besar dari kita mungkin telah terbuka dalam berilmu, berpengetahuan, dan mahir dalam menggunakan teknologi. 

Mudah bagi kita percaya bahwa di luar batas penglihatan kita, setelah cakrawala, di balik tembok, di belakang gunung, di balik itu semua ada sesuatu. Setelah cakrawa kita percaya ada pulau lain, ada laut lain, ada samudra lain. Di balik tembok kita percaya ada ruangan lain, ada tanah lapang, ada gedung lain. Di belakang gunung kita percaya di sana ada desa lain, ada danau, ada sungai, ada pulau, bahkan ada gunung lain. Tetapi ketika mendengar kata Tuhan, otak Kita seperti mentok, logika kita terjadi short / hubungan pendek, akal kita langsung terpenjara dalam batas indra, cara nalar kita langsung bekerja seperti syarat ilmiah, bahwa syarat sesuatu itu bisa dikatakan ada, sesuatu bisa diyakini harus bisa diamati, dan diukur dan satuan-satuan tertentu.  Begitulah selama ini sangkaan kita terhadap Tuhan, tidak terasa kebiasaan kita berfikir ilmiah, pengajaran berfikir ilmiah yang kita terima, pengajaran berfikir ilmiah yang kita ajarkan, seringkali membuat short logika, short nalar, short akal, tanpa kita sadari. Hal ini sering kali membuat kita jadi manusia setengah, kadang bertuhan, kadang memutus hubungan dengan Tuhan dengan sengaja. 

“Di dunia kita bebas melakukan apapun dengan cara kita, di akhirat urusan nanti. Ibadah sebatas pintu rumah ibadah, untuk hidup di dunia adalah mencari laba sebanyak-banyaknya, menguasai sumber daya sebanyak mungkin, memperbudak manusia lain, berkuasa selama mungkin.”. 

Kita menghabiskan sebagian besar waktu kita sebagai mahluk yang hidup tertutup di kolong langit dan berjalan di atas bumi dengan keangkuhan tanpa kita sadari. Sebagian besar waktu kita hidup sebagai mahluk tertutup / kafir / cover / terputus dari bertuhan. Sekalipun aku ingatkan bahwa “Kita tidak bisa lepas satu detik pun, seperseribu detik pun dari Tuhan karena seketika itu kita hilang tanpa arti.” Tetap saja akal ini menggeletik dan menegasi, menolak, seluruh badan serasa berteriak ini sangat perih, dan kita tidak suka.

Dari data ilustrasi di atas, satu titik biru adalah perkiraan jangkauan mata melihat ke arah horizon atau cakrawala, diperlukan sekitar 5.500 titik biru untuk menutup seluruh area permukaan bumi. Dalam arti lain, kita hanya melihat 1 dari 5.500 area yang ada, bahkan dalam kenyataanya ada banyak batasan yang mengganggu penglihatan mata kita. Kenyataannya kita mampu melihat radius 50 Km ke cakrawala merupakan kondisi yang sangat baik, yang artinya perkiraan di atas bisa semakin kecil lagi. Perbandingannya, Kita bisa melihat 1 area dari 14.400 area, sekitar 0,007% saja.

Penggambaran atau ilustrasi di atas sama hal dengan ilmu dan pengetahuan kita, segala sesuatu yang kita ketahui, tidak lebih banyak, tidak lebih besar dari ketidaktahuan kita. Semua ilmu pengetahuan kita sangat kecil dibandingkan dengan ketidaktahuan kita. Segala sesuatu yang tidak ketahui sama halnya dengan gaib atau tidak tampak atau tidak tahu. Itu baru perbandingan denga permukaan bumi, belum perbandingan dengan jagat raya. Rasanya perbandingan antara hal yang kita ketahui dengan jagat raya, satu per desilliun (1033) itu terlalu besar, menurut perhitungan saya bahkan lebih kecil dari itu. 
Saya kira sudah lebih dari cukup data perbandingan antara sesuatu yang kasat mata dengan keseluruhan semesta. Kita untuk bisa percaya, percaya sampai benar-benar yakin, sangat yakin bahwa di luar batas jangkauan mata kita jauh lebih banyak, jauh lebih besar daripada semua hal yang mampu kita lihat. Ini artinya untuk yakin bahwa ada hal-hal  lain di luar sana maka indra kita tidak dibutuhkan. Sesuatu yang kita perlukan adalah membebaskan akal kita supaya tidak terpenjara dalam indra. Akal kita bisa bebas menerka, melogika bahwa di luar batas jangkauan indra ada juga yang serupa dengan itu dan itu lebih besar dari apa yang mampu kita lihat, dengar, sentuh, cium ataupun rasa.

Mari kita lihat bagaimana ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini berjalan / berprilaku? Ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini berperilaku bahwa hanya sesuatu yang bisa teramati, terukur dengan alat ataupun tanpa alat yang bisa dipercaya dan diyakini itu ada. Selain dari itu maka dikatakan tidak saintifik, tidak ilmiah dan tidak masuk akal. Ilmu pengetahuan saat ini mendoktrin kita hanya yang teramati, terukur oleh kelima indra atau dengan alatlah yang bisa diyakini ada. Ilmu pengetahuan saat ini secara halus memerintahkan kita untuk memenjarakan / mengisolasi akal kita, selain yang tidak teramati oleh indra ataupun dengan alat maka sesuatu itu tidak perlu dipercaya apalagi sampai diyakini, sesuatu itu tidak ada. Diamlah sebentar dan fikirkan itu semua, apakah kita juga sudah beranggapan seperti itu? Tuhan itu tidak tampak, bisa jadi Tuhan tidak ada! Bisa jadi kita percaya Tuhan ada tapi belum sampai yakin, karena masih bertanya mengapa Tuhan tidak tampak oleh mata? 

Berhentilah! Berhenti sejenak, dan bebaskan akalmu, jangan penjarakan akalmu dengan batas indra! Biarkan akalmu bebas, berlogika, ada sesuatu di luar batas indra. Hal itu kita percaya dan kita sangat yakin itu ada. Jangan kita pejarakan akal kita seperti cara kerja ilmu pengetahuan dan teknologi. Kita tetap berilmu, berpengetahuan, dan menggunakan teknologi tapi dengan cara terbuka, bukan terisolasi dan terpenjara oleh indra. Sebagian besar dari kita mungkin telah terbuka dalam berilmu, berpengetahuan, dan mahir dalam menggunakan teknologi. 

Mudah bagi kita percaya bahwa di luar batas penglihatan kita, setelah cakrawala, di balik tembok, di belakang gunung, di balik itu semua ada sesuatu. Setelah cakrawa kita percaya ada pulau lain, ada laut lain, ada samudra lain. Di balik tembok kita percaya ada ruangan lain, ada tanah lapang, ada gedung lain. Di belakang gunung kita percaya di sana ada desa lain, ada danau, ada sungai, ada pulau, bahkan ada gunung lain. Tetapi ketika mendengar kata Tuhan, otak Kita seperti mentok, logika kita terjadi short / hubungan pendek, akal kita langsung terpenjara dalam batas indra, cara nalar kita langsung bekerja seperti syarat ilmiah, bahwa syarat sesuatu itu bisa dikatakan ada, sesuatu bisa diyakini harus bisa diamati, dan diukur dan satuan-satuan tertentu.  Begitulah selama ini sangkaan kita terhadap Tuhan, tidak terasa kebiasaan kita berfikir ilmiah, pengajaran berfikir ilmiah yang kita terima, pengajaran berfikir ilmiah yang kita ajarkan, seringkali membuat short logika, short nalar, short akal, tanpa kita sadari. Hal ini sering kali membuat kita jadi manusia setengah, kadang bertuhan, kadang memutus hubungan dengan Tuhan dengan sengaja. 


“Di dunia kita bebas melakukan apapun dengan cara kita, di akhirat urusan nanti. Ibadah sebatas pintu rumah ibadah, untuk hidup di dunia adalah mencari laba sebanyak-banyaknya, menguasai sumber daya sebanyak mungkin, memperbudak manusia lain, berkuasa selama mungkin.”. 

Kita menghabiskan sebagian besar waktu kita sebagai mahluk yang hidup tertutup di kolong langit dan berjalan di atas bumi dengan keangkuhan tanpa kita sadari. Sebagian besar waktu kita hidup sebagai mahluk tertutup / kafir / cover / terputus dari bertuhan. Sekalipun aku ingatkan bahwa “Kita tidak bisa lepas satu detik pun, seperseribu detik pun dari Tuhan karena seketika itu kita hilang tanpa arti.” Tetap saja akal ini menggeletik dan menegasi, menolak, seluruh badan serasa berteriak ini sangat perih, dan kita tidak suka. 

Tetap saja ada pertanyaan, selalu ada pertanyaan, “Jika Tuhan benar-benar ada, mengapa kita tidak mendengar kalamNya?” padahal telinga yang kita pakai hanya bisa mendengar pembicaraan sebatas ruangan saja. Sekalipun mudah bagi kita percaya dan yakin jika, di balik tembok ruangan kita, di sebelah rumah kita, ada tetangga kita yang mungkin juga bercakap-cakap, bersenda gurau. Di lingkungan sekitar kita, di kampung kita, di kota kita, di kota-kota seluruh dunia dipenuhi dengan manusia yang berinteraksi, bercakap-cakap, berkomunikasi, ada juga dari jenis binatang yang mengaum, bernyanyi, bersiul, berkokok, mendesis. Ada suara gemericik air, tiupan anging, guntur menggelegar, hujan mengguyur, ombak menggulung-gulung lalu pecah. Kita percaya semua itu ada, kita yakin sangat yakin itu ada, dan kita tidak perlu mendengar langsung untuk percaya, panca indra tidak diperlukan untuk membuat kita percaya ada suara di sana, ada bunyi di sana. Kita tidak perlu menjadi saksi bahwa semua suara itu ada untuk percaya dan yakin, ketahuilah bahwa kesaksian itu membawa konsekuensi untuk dipertanggung-jawabkan. Saya ulangi untuk percaya bahwa Tuhan itu ada, panca indra tidak dibutuhkan, panca indra dibutuhkan untuk mengenali sesama mahluk / ciptaan. Kita hanya perlu membebaskan akal, dengan tidak memenjarakannya, mengisolasinya dalam batas jangkauan indra. Kita dan semesta ini nyata ada, tentu saja harus dimulai dari ada. Kosong / nol / tidak ada, tidak akan pernah bisa membuat sesuatu yang nyata adanya. Tidaklah adil jika syarat mengenal Tuhan harus diterima rangsangnya oleh indra kita yang kemampuannya pengindraanya terbatas.


0 × 0 , 0 ÷ 0, 0 + 0, 0 – 0, kosong / hampa / nol, tidak akan pernah bisa membuat ada. Semua di dunia ini nyata adanya, tidak mungkin dimulai dari sesuatu yang hanyal / abstrak / dimulai dari yang tidak ada.

0 × 0, 0 ÷ 0, 0 + 0, 0 – 0, mati, sesuatu yang mati tidak akan pernah memulai, tidak bergerak, tidak akan menjadi hidup, maka segala kehidupan ini dimulai dari Sang Maha Hidup, dan akan kembali ke Sang Maha Hidup.

Mustahil segala sesuatu yang ada ini tanpa ada yang memulai, mustahil segala sesuatu yang hidup ini dimulai dari hal yang mati. Mustahil segala sesuatau yang nyata ini dimulai dari hal abstark / hayal / maya. Maka apa yang memulai segala suatu ini, itulah Tuhan. Hukum / asas atas segala sesuatu yang nyata adanya adalah ada yang membuat / mencipta itu wajib, begitupula hukum atas adanya Tuhan menjadi wajib. Itulah Tuhan yang disembah oleh iblis, Tuhan yang mencipta iblis. Tuhan yang mencipta semesta / jagat raya. Lalu seperti apakah Tuhan itu? Siapakah Tuhan itu? Dimanakah Tuhan itu? Bagaimanakah Tuhan itu?
Satu hal yang pasti, Tuhan itu hidup, tetap hidup, selalu hidup. Tuhan itu Maha Hidup, karena semua yang hidup harus berasal dari yang hidup. lalu seperti apakah Tuhan itu? Jawabannya tidak tahu, di luar jangkauan indra, tak terbatas, tak terhingga. Tentu saja jawaban “tidak tahu” tidak akan membuat kita puas. Tapi “tidak tahu” adalah jawaban yang jujur, dan kejujuran adalah syarat utama untuk percaya, kejujuran adalah syarat untuk bisa iman, kejujuran adalah syarat untuk bisa yakin, benar yakin, sungguh sangat yakin. Semua pertanyaan tentang Tuhan mengenai bentuk, suara, warna, apapun itu yang merujuk, mengerucut, sampai pada sosok, maka jawaban yang paling benar, jawaban yang paling jujur adalah “tidak tahu / ghaib”. Jika ada jawaban yang sampai ada pengambaran, pencitraan, sosok, warna, suara, bentuk, apapun itu, maka tinggalkanlah Tuhan seperti yang digambarkan, dicitrakan itu, karena itu hanyalah hayal belaka, dan dorongan nafsu dalam bertuhan. 

Tuhan yang tak terbatas, tak hingga, mustahil bisa dijangkau oleh indra manusia yang kemampuannya terbatas, sekeras apapun kita meretas batas indra yang kita temui dari hasil retasan itu hanyalah mahluk (ciptaan), sehebat apapun kita membayangkan Tuhan, gambar / citra hasilnya cuma hayal saja. Maka jujurlah dalam menjawab, sidiklah dalam berlaku, tentu saja jawaban itu tidak tahu / ghaib. Ya itulah Tuhan yang sebenarnya, Tuhan yang wajib bagi kita bertuhan padaNya, Dialah yang Tuhan yang nyata, wujud, wajib ada, yang tak terbatas, tak terindra, tak tergambarkan, tak tercitra.

Tuhan yang tak hingga, tentu saja mustahil bagi kita untuk menggambarkan, mengilustrasikan, karena tidak satupun dari indra kita yang kemampuannya terbatas, mampu mengindra sesuatu yang tak terbatas, takhingga. Terkait syarat kamu untuk percaya dan yakin bahwa Tuhan harus bisa dilihat atau terindra oleh salah satu indra kita, coba renungkan hal berikut ini. Jika syarat itu harus terlihat, maka Tuhan yang kita lihat itu menjadi tidak adil bagi saudara kita yang tuna netra. Padahal Tuhan itu yang seharusnya adil menjadi tidak adil lagi. Tuhan yang seharusnya Maha Adil, sempurna adilnya, menjadi cela, celah, krowok, karena syarat yang kita berikan. Maka untuk yakin Tuhan itu ada, kita hanya perlu membebaskan akal dari penjara batasan indra, dan mempertimbangkan, membatalkan syarat yang kita ajukan itu.

Lalu siapakah Tuhan itu? Dialah Allah yang Maha Suci lagi Maha Tinggi. Dialah Allah yang satu, Dialah Allah, Tuhan yang mengenalkan diriNya pada Muhammad bin Abdullah. Dialah Allah Tuhan yang diperkenalkan Muhammad bin Abdullah kepada kita. Lalu benarkah Tuhan yang benar itu bernama Allah? Tuhan sang pencipta adalah segala sesuatu yang tak terbatas, tak terkira, tak terjangkau oleh semua indra manusia. Maka tidak ada satupun manusia di bumi ini yang bisa memastikan bahwa Tuhan yang benar itu bernama Allah. Semua perangkat indra manusia hanya bekerja pada batasan tertentu, batas bawah dan batas atas. Sekalipun manusia meretas batas itu, Allah yang tak terhingga mustahil bisa terjangkau dalam batasan indra manusia meskipun batas itu telah diretas. Jadi, tidak ada satupun manusia di bumi ini yang memiliki kapasitas, kuantitas, kapabilitas, kompetensi, kualifikasi, kapabiliti, atau apapun itu istilah untuk menyebut kemampuan untuk memastikan bahwa memang benar Tuhan itu bernama Allah! Karena mustahil bagi manusia dengan perangkat yang bekerja terbatas (indra) memastikan sesuatu yang tak hingga, tak terkira, tak terjangkau.

Manusia dengan indra terbatas, mustahil bisa memastikan, mustahil bisa mengidentifikasi, bahwa benar Tuhan itu bernama Allah. Semua pencarian manusia tentang asal-usul dunia dan seisinya akan berujung pada Sang Pencipta (Tuhan), lalu pada sifat yang melekat pada Tuhan. Tuhan itu Maha Awal (pertama), Tuhan itu Maha Kuasa, Tuhan itu Maha Perkasa, Tuhan itu Maha Pengasih, Tuhan itu Maha Hidup, Tuhan itu Maha Menghidupkan, Tuhan itu Maha Penyayang, Tuhan itu Maha Adil, Tuhan itu Maha Raja (Penguasa Menguasai), Tuhan itu Maha Akhir (terakhir), dan semua sifat Tuhan yang melebur menjadi satu dengan gelarNya. Dan manusia dengan akalnya, akal yang bebas, yang keluar dari isolasi indra, akal yang keluar dari penjara indra, hanya bisa sampai pada batas “Bahwa segala sesuatu ini nyata adanya, disebabkan oleh sesuatu yang nyata, yaitu Tuhan Sang Pencipta.” Sang Pencipta itu memiliki sifat seperti ini, ataupun gelarnya seperti ini. Maka penyebutan sifat dan gelar ini bisa berbeda-beda disetiap bangsa dan bahasa. Sang Hyang Widhi (Yang Maha Tunggal), San Hyang Taya (Yang Maha Takterkira, Takterhingga), Thian Yuan (Yang Maha Esa, Maha Besar), dan sebagainya penyebutan sifat dan gelar Tuhan, boleh berbeda setiap bangsa dan bahasa. Dengan kaidah bahwa Tuhan itu Maha Besar, takterkira, takterhingga, takterbayangkan, maka Tuhan itu tidak boleh berhenti pada sosok, rupa, citra, bayangan tertentu. Maka kita wajib meninggalkan Tuhan yang tersosok pada tokoh tertentu, kita tidak boleh bertuhan pada rupa tertentu, kita tidak boleh bertuhan yang tercitra dalam indra, kita tidak boleh bertuhan dengan bayangan / khayalan tertentu. Kita wajib meninggalkan Tuhan-Tuhan yang berupa tokoh manusia, hewan, gabungan manusia dan hewan. Karena Tuhan yang takterkira, takterhingga, hanya Tuhan sajalah yang bisa mengenalkan diriNya pada Nabi dan RasulNya. Dialah Allah, Tuhan yang mengenalkan diriNya pada Nabi Adam ‘alaihi salam. 

Dialah Allah, nama Sang Pencipta yang dikenalkan, dituturkan oleh Nabi Adam ‘alaihi salam, ke nabi-nabi selanjutnya, sekaligus turunannya sampai ke Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasalam. Kita tidak memiliki pilihan lain selain percaya pada Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wasalam, bahwa Tuhan itu bernama Allah, karena semua sifat pada Tuhan, semua gelar pada Tuhan, semua sebutan terbaik pada Tuhan, ada pada Tuhan yang dikenalkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasalam. Hanya Allah sajalah yang bisa mengenalkan diriNya pada Nabi dan RasulNya, dan kita umat manusia hanya bisa percaya. Dan apa yang disampaikan oleh Rasullullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasalam, tentang Allah Subhanahu Wata’ala, terperinci dalam kitab Al-Qur’anul Karim adalah bukti nyata bahwa “Hanya Allah sajalah yang bisa mengenalkan diriNya pada manusia, dan Al-Qur’an adalah bukti bahwa Muhammad bin Abdullah benar-benar utusanNya.” Karena kita tidak bisa meyakini itu jika hanya sebatas klaim, harus bukti terbukukan (kitab) yang nyata terperinci. 
Asyhadu an laa ilaha illallah, wa asyhadu anna muhammadar rasulullah. “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang wajib disembah selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.”

Maafkan saya jika harus memotong jalur pencarian, pengidentifikasian Tuhan pada Rasullullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasalam karena memang mustahil memastikan nama Tuhan kecuali Tuhan sendiri yang mengenalkan diriNya pada manusia pilihanNya. Dialah Allah, nama Tuhan Sang Pencipta yang mengenalkan diriNya pada Nabi Adam ‘alahi salam. Dialah Allah nama Tuhan yang dikenalkan Nabi Adam ‘alaihi salam ke anak turunnya. Dialah Allah yang mengenalkan diriNya ke Nabi-nabiNya, Rasul-rasulNya. Dialah Allah yang dikenalkan Rasul-rasulNya ke umatnya. Hanya saja nenek moyang kita segan, merasa tak pantas, merasa tak sopan untuk menyebutnya langsung. Maka yang sampai kepada kita adalah gelar, dan sifat yang melekat padaNya. Dan sebutkanlah namaNya “Allah Allah Allah” langsung untuk meretas batas indra, merobohkan batasan indra, mengikis keraguan dan menyingkat waktu. Itu tidak mengapa, tidaklah apa-apa, karena Allah itu Maha Memaafkan juga Maha mengampuni.

Tidak ada pilihan lain dalam bertuhan, kita hanya bisa bertuhan hanya kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Terkait dengan persaksian kita kepada Allah, dengan 2 kalimat syahadat / persaksian, persaksian itu tidak menjadikan Allah itu adalah milik kita. Allah Subhanahu Wata’ala itu adalah pemilik langit, bumi dan seisinya. Dialah Allah pemilik jagat raya / semesta ini, jangan terbalik logika. Jangan pernah menyangka bahwa dengan persaksian ini, menjadikan Allah milik kita. Jangan pernah mengira bahwa Allah menjadi hak orang yang membuat kesaksian padaNya.

Telah benar kita menyatakan persaksian kita dengan mengucapkan 2 kalimat syahadat, tetapi tidak benar jika kita menjadi pemilik kebenaran itu. Ketika kita menjadi saksi bagi orang lain yang menyatakan kesaksiannya akan “Tiada Tuhan yang wajib disembah selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah.”, kita tidak punya hak, kuasa ataupun wewenang untuk memustuskan bahwa persaksian itu syah atau batal. Karena batas pengetahuan kita  atas kesaksian orang lain hanya sampai pada apa yang kita dengar dan apa yang kita lihat, maka hal itu tidak bisa digunakan untuk mengesahkan atau membatalkan kesaksian orang lain, sekalipun dalam mengucapkan persaksiannya orang tersebut tidak begitu lancar, fasih, tetap saja hal itu tidak sampai pada batalnya persaksian tersebut. Syah atau batalnya kesaksian seseorang hanya hak Allah saja. Seluruh jagat raya ini adalah milik Allah Subhanahu Wata’ala.

Bumi dan langit dengan segala isinya adalah milik Allah, dan kebenaran mutlak hanyalah milikNya. Maka bagi kita yang telah menyatakan dua kalimat persaksian jangan terbalik logika, dan juga menyempitkan makna bahwa “Allah adalah milik orang-orang yang memberi / melakukan persaksian.”. Jangan pula mempersempit makna bahwa kasih sayang Allah hanya boleh diberikan kepada mereka sujud kepadaNya saja. Jangan pula merasa bahwa kebenaran hanya untuk mereka yang telah memberikan persaksian. Jangan pula meminta pembenaran dari Allah tentang semua perbuatan kita. Jangan pula memaksakan kebenaran walaupun itu berdasarkan dalil, jangan pula meminta pembenaran dengan dalil-dalil. “Laa ilaha illallah” adalah kalimat yang mutlak benar, tidak peduli siapapun yang mengucapkan kalimat itu, maka kalimat itu meleburkan, subyek yang mengucapkan itu. Maka tidak boleh seorangpun mengklaim kepemilikan kalimat itu, tidak boleh ada orang, kelompok orang, perkumpulan, firqah, tarikat, yayasan, badan, oraganisasi apapun itu sebutannya yang mengklaim bahwa syah atau batalnya kalimat persaksian atapu kalimat “Laa ilaha illallah” hanya dari tarikatnya, kelompoknya, organisasinya, badannya. Maka tidak boleh ada istilah “Allahku, Allahmu, Allah kita, Allah mereka”. Allah adalah pemilik bumi langit dan seisinya, maka istilah “Allahku, Allahmu, Allah kita, Allah mereka” BATAL / BATIL / SALAH untuk digunakan jika nama Allah itu disamakan artinya dengan Tuhan, God, Gusti, dan lain sebagainya sebutan untuk Tuhan. Karena hal itu bisa bermakna ada banyak Tuhan, sedangkan 

Tuhan itu satu yaitu Allah subhanahu wata’ala saja. Adapun ketika berdo’a kita menggunakan kata sapaan “Ya Tuhanku, Wahai Tuhan kami” maka kata sapaan itu bukan berarti milik, akan kata sapaan itu menunjukkan kehambaan, ketaatan, ketundukkan, kelemahan, ketakwaan dari hambaNya. Kata sapaan “Ya Tuhanku, Ya Tuhan kami” adalah cara dari hambaNya untuk mendekatkan diri, tunduk dan penuh harap, bukan untuk mengklaim kepemilikan akan Tuhan. Bukan pula untuk mempersempit kasih sayang Tuhan hanya untuk dirinya atau kaumnya atau kelompoknya saja. Karena hal seperti itulah Iblis menganggap Tuhan adalah miliknya, merasa benar dan menuntut dibenarkan oleh Allah subhanahu wata’ala.

Janganlah sampai kita menempati kedudukan Iblis, dengan beranggapan bahwa Allah adalah milik orang-orang yang bersujud kepadaNya, Allah hanya boleh sayang kepada orang yang memberikan kesaksian atasNya. Menjauhlah dari maqam / tempat / kedudukan Iblis. Jangan pernah berharap, bahkan meminta bahwa “Allah subhanahu wata’ala yang menciptakan langit bumi dan seisinya dengan semua suku, ras, manusia dan jin” untuk berpilih kasih terhadap ciptaanNya yaitu orang-orang yang memberikan kesaksian saja. Jangan pernah meminta kepada Allah yang Maha Pengasih untuk berpilih kasih. Bertuhanlah hanya kepada Allah subhanahu wata’ala saja tanpa menyekutukan sedikitpun, tetaplah berserah diri menjadi muslim dan tetaplah terbuka terhadap segala sesuatu kemungkinan. Karena Tuhan kita adalah Allah subhanahu wata’ala yang berkuasa atas segala sesuatu, juga berkuasa melakukan segala sesuatu. Selalulah waspada untuk tidak menempati maqam / kedudukan Iblis dengan menutup pemikiran, pendapat dan penafsiran. Karena kafir-nya Iblis bukanlah tidak bertuhan tetapi menutup diri, pemikiran dan pendapatnya dari kuasa Alllah subhanahu wata’ala. Tetaplah waspada dan hati-hati terhadap dirimu sendiri.

Tanda-tanda mengenal Tuhan dan Makrifatullah

Bismilllahi Rahmanir Rohimi, atas nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, tidak ada seorang manusia pun yang terlahir di dunia ini, sampai kemudian mati kecuali telah dicukupkan tanda-tanda untuk mengenalNya, Allah subhanahu wata’ala. Hanya saja tidak semua orang menyambut tanda itu, sebagian orang mengabaikan tanda itu, menghiraukannya, menganggapnya hanya angin lalu. Padahal “angin lalu” juga bagian dari tanda-tanda itu.

Einstein dengan teori relativitas waktunya, waktu hanyalah ilusi yang tercipta karena memori manusia untuk membedakan sesuatu yang telah terjadi, sedang terjadi dan akan terjadi (masa lalu, masa kini, dan masa depan). Akan tetapi ketika bergerak dengan kecepatan cahaya, masa lalu, masa kini dan masa depan terjadi pada saat yang bersamaan. Einstein menutup teorinya sampai pada waktu itu sendiri, pada benda fisik yang terdampak waktu itu. Einstein tidak meneruskan pertanyaanya pada “Siapakah yang mampu bergerak dengan kecepatan cahaya?, Jika cahaya adalah gelombang, sumber dari pacaran cahaya adalah benda mati, Siapakah yang mengerakkan benda mati itu? Karena hanya yang hidup saja yang bisa bergerak. Jika semua benda itu asalnya mati, dari manakah datangnya kehidupan itu? Karena hanya yang hidup yang mampu memberikan kehidupan.”.

Bagi siapakah kejadian masa lalu, masa kini dan masa depan terjadi bersamaan? Jawabanya ada pada matematika, yaitu satu, iya hanya satu.

1 X masa lalu       = masa lalu (L)

1 X masa kini       = masa kini (K)

1 X masa depan = masa depan (D)

1 X  L = 1 X K = 1 X D, 1 (satu)*

Satu tak terikat oleh waktu, tak terpenjara dalam ruang, karena ia pemilik ruang dan waktu.

Faktor pembentuk / penciptaannya masa lalu, masa kini dan masa depan ya hanya satu, dan hanya “satu” dimana masa lalu, masa kini dan masa depan terjadi bersamaan saat ini juga. Faktor atau sebab terjadinya semua bilangan / angka, ya satu, “ 2 adalah 1 X 2; 3 adalah 1 X 3; 4 adalah 1 X 4, 2 X 2; 5 adalah 1 X 5; 6 adalah 1 X 6, 2 X3” maka tiada ada bilangan yang sebab atau faktornya tanpa angka satu. Siapakah satu itu, yaitulah Tuhan. Baca artikel saya tentang angka 1 sampai 10, nol satu dan tak hingga, konsep bilangan prima.

Einstein dan para ilmuan modern berlaku tertutup terhadap teori dan metodenya, sehingga mereka menegasikan / menolak eksistensi Tuhan. Mereka berlaku tertutup / kafir / cover pada teori / pendapatnya dan juga pada metodologinya, sehingga mereka menganggap temuannya adalah akhir, simpulannya adalah kebenaran mutlak. Sebetulnya tidak ada masalah dengan metode dan teori sampai pada penetapan hukum tentang sesuatu, asalkan juga menyertakan syarat bahwa hukum itu hanya berlaku jika semua syarat dan kriterianya terpenuhi, jika di luar itu maka ada faktor X yang bisa mengubah segalanya. Faktor X itulah kuasa Tuhan, tetapi mereka terlanjur tertutup, dan mengira simpulannya akan teori dan hukumnya adalah final. Para ilmuan itu mengira bahwa mereka telah sampai pada akhir, padahal mereka butuh meneruskan tanda itu sampai pada zat yang menjadikan semua itu ada. Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang tentu saja, tidak berpilih  kasih dalam memberikan tanda-tanda untuk mengenalNya, hanya keputusan dan pilihan dari mahluk saja yang secara sadar memutus dan menutup tanda – tanda itu. Maka tidak akan ada pertanyaan “Mengapa Allah tidak memberikan petunjuk / tanda-tanda keberadaanNya?” pada hari kebangkitan nanti. Dan bersiaplah untuk hari itu mulai saat ini.

Sebagian dari  kita juga ada yang menyambut tanda-tanda itu, menelusurinya, mengikuti sampai mana tanda itu berhenti, siapa yang ada dibalik tanda-tanda itu, tanda-tanda itu datang dari Tuhan, dilanjutkan pencarian, Tuhan itu seperti apa? Tuhan itu siapa? Tuhan itu bagaimana? Dari pencarian itu, ada yang berhenti pada Tuhan itu adalah sosok, figur, tokoh, wujud / bentuknya seperti ini, hidup di zaman ini. Sebagian lagi sampai pada bahwa Tuhan itu satu, Tuhan itu tak terkira, Tuhan itu tak tercitra, Tuhan itu yang memiliki kehendak, Tuhan itu Sang Maha Hidup. Iya, memang benar, Ia telah sampai pada tangga terakhir dalam mengenal Tuhan. Ketika sampai pada tangga terakhir mengenal Tuhan, janganlah kita merasa bangga, sombong, memamerkan dengan pencapaianmu pada tangga terakhir mengenal Tuhan (makrifat). Ketika makrifat ( mengenal Tuhan ) janganlah lantas merasa hebat dengan makrifatnya, janganlah pula merasa bisa melakukan apapun semau-maunya karena telah mengenal Tuhan. Jangan pula merasa benar dengan makrifatnya, kemudian membenarkan apapun tidakan / perilaku kita. Hati-hatilah, karena yang makrifat itu bukan hanya kamu, karena tanda-tanda mengenal Tuhan itu diberikan / disampaikan pada setiap manusia dan jin yang yang pernah hidup tanpa terkecuali. Allah yang Maha Pengasih, tidak pernah berpilih kasih dalam memberikan tanda-tanda untuk mengenalNya baik dari golongan jin maupun golongan manusia. Karena yang makrifatullah (mengenal Allah subhanahu wata’ala) bukan hanya kamu tetapi juga Iblis. Iblis itu makrifatullah, tapi Ia sombong dengan makrifatnya, maka janganlah kamu yang makrifatullah menduduki maqam Iblis yaitu menjadi congkak, sombong, merasa benar dan selalu minta dibenarkan. Mengenal Tuhan (makrifat) bukan sesuatu yang istimewa, sehingga engkau membanggakannya, sombong dengannya, dan merendahkan mereka yang belum sampai pada tangga yang sama dengan yang kamu capai. Tetaplah hati-hati jangan sampai masuk dalam kedudukan Iblis.

Mengenal Tuhan adalah hal yang biasa, karena tanda-tanda untuk mengenalnya diberikan kepada semua umat manusia dan jin tanpa kecuali, tanpa pilih kasih, tanpa kurang. Semua tanda-tanda untuk mengenal Tuhan diberikan dengan cukup dan pas. Karena itu ketika kita telah sampai pada tangga terakhir mengenal Tuhan (makrifat), maka makrifat itu membuat kita tunduk, tawaduk. Makrifatullah itu, kita mengetahui bahwa Allah itu tak terbatas, tak terhingga ( Allah Maha Besar, Allahu Akbar), maka dari sisi mahluk, kita juga telah tahu sampai mana batas kemampuan, sampai mana batas yang bisa dijangkau oleh indra?, sampai mana batas kita menalar?, sampai mana batas akal memastikan siapa nama Tuhan itu sebenarnya?

Allah dan MalaikatNya

Manusia dengan segala keterbatasannya, terbatas jangkauan indranya, terbatas jarak jangkaunya, terbatas ruang geraknya, terbatas waktu hidupnya, terbatas nalarnya, maka mustahil bagi manusia untuk bisa memastikan nama Tuhannya sebenarnya. Oleh karena itu tangga terakhir mengenal Tuhan, hanya sampai pada segala sesuatu yang nyata di dunia, pasti ada sebab / yang menyebabkan itu ada dan itulah Tuhan. Tuhan itu nyata adanya, dan Dia tak terbatas / tak hingga / Maha Besar, nalarnya adalah Tuhan itu tidak mungkin kita ketahui namaNya kecuali Tuhan sendiri yang mengenalkan dirinNya kepada hambanya. Hamba Tuhan itu bukan kamu yang telah mencapai makrifat, bukan aku, bukan kita semua yang mengikuti tanda-tanda dari Tuhan sampai pada tangga terakhir mengenal Tuhan (makrifat). Hamba utusan Tuhan itu adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Munthalib, ya dialah Rasullullah dan dialah utusan yang terakhir. Karena semua ciri-ciri dan sifat-sifat Tuhan yang kita capai dengan makrifat telah terbukukan dalam kitab Al Qur’an. Dan Al Qur’an adalah bukti keabsahan / keshahihan / legalitas bahwa Muhammad bin Abdullah bin Abdul Munthalib adalah benar-benar seorang nabi dan rasul. Di dalam Al Qur’an juga telah diberitakan bahwa “Muhammad adalah seorang Rasul (utusan) dan penutup nabi-nabi” jadi tidak ada nabi maupun rasul lagi setelahnya. Maka bagi kita yang telah mencapai makrifatullah, tidak ada jalan lain kecuali menyerahkan diri, tunduk, patuh, tawaduk dan menetapi syariat Muhammad Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan bagi siapapun yang menyombongkan dirinya dengan makrifatnya, dan berbuat semaunya saja, maka ia harus membawa bukti yang lebih hebat dari Al Qur’an, bukan sekedar klaim atau hanya cerita fantasi layaknya fatamorgana. Itulah dua macam sikap dalam menanggapi tanda-tanda dari Tuhan, dan sebagian besar dari kita acuh begitu saja terhadap tanda-tanda itu.

Selain Iblis, ada kelompok lain yang mau bersujud kepada Adam alaihi salam, yaitu golongan malaikat dan tetap menjadi malaikat. Siapakah para malaikat itu? Apakah mungkin anak turun dari Nabi Adam alaihi salam juga diperkenankan menundukan malaikat? Apakah menundukan malaikat terlalu berlebihan bagi anak turun Nabi Adam alaihi salam? Apakah berita tentang nama-nama dan malaikat bersujud, cukup berhenti pada Nabi Adam alaihi salam saja? Baik, mari kita mengenal dulu nama-nama malaikat. Ada Jibril adalah malaikat yang menyampaikan wahyu, ada Mikail, malaikat yang membagikan rejeki, ada Israfil, Izrail, Rakib, Atid, Ridwan, Malik, Mungkar, Nakir, salam bagi semua malaikat tersebut dan yang tak tersebut. Apakah ada malaikat selain yang sepuluh itu? Kok itu dikatakan yang tak tersebut! Menurut saya ada, menurut saya ketika Allah subhanahu wata’ala telah menetapkan untuk menciptakan semesta ini, langit dan bumi berserta isinya, maka ketetapan itu ditulis dalam kitab Lauhulmahfudz. Lauhulmahfudz adalah cetak biru / blue print jagat raya. Didalamnya ditulis bagaimana jagat raya ini dibangun dan ditumbuhkan. Untuk membangun jagat raya ini bahannya telah ditentukan termasuk cara membangun atau menumbuhkan jagat raya ini telah ditulis dalam kitab Lauhulmahfudz itu. Sejumlah cara atau aturan dalam membangun atau menumbuhkan jagat raya itulah yang kemudian disebut dengan malaikat.

Malaikat adalah semua ketetapan / aturan / protokol yang mengikat / mengatur semua hal dari awal jagat raya dibentuk / dibangun, kemudian ditumbuhkan sampai akhir dari jagat raya. Maka ada banyak malaikat, ada banyak aturan dalam jagat raya ini, dari awal dibentuk, kemudian saat ini berlangsung, menuju nanti akhir dari jagat raya. Maka ada banyak malaikat selain yang kita kenal namanya sejumlah sepuluh itu tadi. Malaikat yang sejumlah sepuluh itu merupakan sejumlah aturan / protokol yang fungsinya mengantarkan / mentransmisikan segala sesuatu dari Allah subhanahu wata’ala kepada mahluknya dan juga sebaliknya. Tentu saja sejumlah aturan / protokol itu tidak mungkin kita tangkap dengan kelima panca indra kita, tapi ada kalanya malaikat diberi kuasa untuk melakukan korespondesi dengan hamba pilihanNya yaitu dengan menyerupakan dengan bentuk mahlukNya. Ya kepada para nabi dan rasul, ada kalanya malaikat sepuluh itu bisa menampakkan wujud untuk mengajarkan sesuatu, menerangkan, atau menyampaikan jawaban dari Allah subhanahu wata’ala. Tapi bukan itu wujud asli malaikat, wujud aslinya jelas tidak mungkin bisa ditangkap oleh indra. Jika ada malaikat / aturan yang fungsinya melakukan korespondesi / antarmuka / menghubungkan, tentu ada malaikat / protokol / aturan yang fungsinya mengikat sifat mahluk / benda / materi. Malaikat yang mengikat mahluk / sifat benda tidak dikenalkan namanya kepada kita. Untuk mengenal malaikat yang mengikat materi tentu saja kita harus mengenal nama benda / materi itu, lalu kita pelajari sampai kita bisa menurunkan sifat-sifat yang mengikat benda atau materi itu. Maka dengan demikian kita telah mengenali, mengetahui malaikat yang mengikat mahluk / materi. Sifat-sifat yang mengikat benda adalah unit terkecil dari malaikat sehingga ia tidak bisa lepas / bebas dari semua aturan / sifat yang melekat padanya.

Contoh mengenali malaikat / aturan / protokol pada benda, kita ambil contoh air. Kita mengenalnya dengan nama “air”, lalu kita amati sampai kita dapat sifat-sifat dari air seperti, air selalu mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah, air selalu menyebar ke segala arah, air memiliki permukaan yang datar atau tenang, air menempati ruang, air melarutkan, dan sebagainya. Maka dengan bisa menurunkan sifat-sifat air, kita juga telah mengenal malaikat yang mengikat air. Saat ini kita juga telah tahu bahwa air bukanlah unsur murni. Air ternyata adalah senyawa dari dua unsur murni yaitu hydrogen dan oksigen. Hydrogen memiliki sifat-sifat zat sendiri, oksigen juga memiliki sifat-sifat zat sendiri. Ketika hydrogen dan oksigen membentuk senyawa air maka juga memiliki sifat uniknya sendiri. Sifat-sifat unik yang mengikat unsur murni / atom, sifat-sifat unik ketika atom-atom membentuk senyawa, sejumlah sifat-sifat itu adalah sejumlah malaikat / aturan / protokol yang mampu kita kenali / kita identifikasi, dan nama malaikat itu melekat pada nama benda / materi / senyawa / unsur.

Di era saat ini, kita telah banyak mengenal nama benda, nama senyawa / molekul, nama unsur-unsur murni di alam. Hari ini kita telah mengenal banyak nama-nama unsur murni dan kita telah mengidentifikasi sifat-sifat dan unsur murni tersebut. Seberapa banyak kita mengenal nama benda, nama unsur? Seberapa kita mengenali sifat-sifat benda, sifat-sifat unsur? Maka sebanyak itu pula kita telah mengenali nama-nama malaikat / aturan / protokol yang mengikat benda / materi dan unsur padanya. Apakah dengan mengenali banyak malaikat yang mengikat materi serta-merta membuat kita bisa menundukan malaikat ataupun materi yang diikatnya? Tentu saja tidak, untuk menundukan malaikat yang mengikat materi, kita butuh banyak pengetahuan tentang nama benda, nama unsur, sifat benda, sifat unsur, kemudian kita juga mengamati pengaruh dari satu benda ke benda lain. Perlu juga kita membuat sistem mekanis, atau aturan bagaimana semua itu saling terhubung dan bekerja sesuai keinginan kita. Ketika sistem mekanis tersebut berjalan dan ada manfaat yang kita dapat darinya, maka saat itulah kita telah menundukan malaikat – malaikat yang mengikat unsur / benda  tersebut untuk bekerja pada kita. Jadi masa sekarang ini, di jaman ini, jika kita mengenali benda / barang / produk yang kita gunakan sehari-hari, yang manfaatnya kita rasakan, maka di situ ada banyak malaikat yang bekerja untuk kita sehingga benda itu bekerja sesuai dengan fungsi yang kita inginkan. Dari sisi kita, sistem mekanis itu bekerja sesuai keinginan kita, tetapi dari sisi malaikat pengikat sifat benda / sifat unsur, ia hanya tunduk dan bertasbih kepada Allah subhanahu wata’ala saja.

Mari kita ambil sebuah contoh sistem mekanis yang cukup kompleks, salah satunya adalah listrik. Kita ambil contoh listrik tenaga air. Untuk membangun listrik tenaga air kita butuh sifat air yang mengalir dari tempat tinggi ke tempat yang rendah. Kemudian kita juga perlu memahami magnet dengan sifatnya yang menarik benda dengan unsur logam. Ketika magnet mampu menarik benda terbuat dari logam, maka di sana ada daya / kekuatan untuk menarik itu. Logam sendiri meneruskan / menginduksikan daya tarik dari magnet sampai ke ujung logam itu. Dari sini kita butuh pengetahuan yang cukup tentang magnet, teknik pembuatan magnet, kita butuh pengetahuan yang cukup tentang unsur-unsur logam dan teknik permurnian logam. Karena logam di alam ditemukan dalam bentuk senyawa, dan sedikit yang dalam bentuk logam murni seperti emas atau platina. Kita juga perlu tahu tentang batas-batas daya yang mampu ditahan / ditanggung oleh logam itu. Setelah semua pengetahuan itu, kita butuh membuat sistem mekanis pembangkit listriknya. Kita butuh menampung sejumlah air dengan membuat bendungan. Di sini kita sudah mengisolasi air, kemudian kita juga butuh mengalirkan air dengan aliran konstan / tetap. Pada air yang bergerak mengalir itu kita pasangakan turbin yang terhubung dengan generator. Dalam  generator itu ada magnet yang dibalut oleh kumparan. Maka aliran air, menggerakan turbin, turbin terhubung ke generator yang didalamnya memainkan magnet dalam kumparan. Sehingga daya menarik dari magnet dimainkan, hal ini seperti bermain mendorong dan menarik secara terus menerus, kemudian daya itu diteruskan oleh logam dengan sifatnya menginduksikan daya sampai ke ujung. Daya yang dihasilkan pun perlu kita hitung batas atas, dan batas bawahnya. Di sini kita juga butuh pengetahuan tentang perhitungan. Dibutuhkan daya yang sangat besar bisa menghantar daya listrik yang dihasilkan pembangkit sampai disalurkan ke tempat yang jauh hingga ratusan kilometer. Kemudian juga butuh penurunan daya / pengurangan daya sampai dinilai cukup aman untuk digunakan. Sampai pada daya itu kita manfaatkan lagi, menjadi cahaya, menjadi gerak / kipas, menjadi pendingin, menjadi suara dan lain sebagainya.

Semua hal di atas bisa kita lakukan dengan syarat kita memiliki banyak pengetahuan akan nama-nama, banyak pengetahuan tentang sifat-sifat dari nama-nama benda, pengetahuan tentang teknik dan mekanis. Untuk sampai pada era saat ini, dibutuhkan perjalanan panjang ratusan tahun untuk mengenali nama-nama, menurunkan sifat-sifat dari nama-nama, mengetahui teknik isolasi / memenjarakan salah satu sifat atau beberapa sifat, butuh banyak pengetahuan tentang perhitungan, butuh pengetahuan pengaruh benda satu dengan benda yang lain,  dan pengetahuan-pengetahuan lain. Hasilnya hari ini mengetahui macam-macam perangkat yang kita gunakan / manfaatkan sehari-hari. Pada perangkat-perangkat itu ada banyak sifat-sifat benda yang saling bekerja, maka di perangkat-perangkat itu ada banyak malaikat bekerja dan tunduk sesuai fungsi yang kita ingginkan. Para malaikat tetap tunduk pada fungsi mengikat sifat benda, dan tetap tunduk pada sunatullah, dan tetap bertasih kepada Allah subhanahu wata’ala. Akan sangat rugi jika hari ini, apa yang kita lihat, yang kita dengar, yang kira rasa dengan lidah dan tangan kita, yang kita cium dengan hidung kita, jika semua itu tidak mengingatkan kita akan Tuhan. Akan sangat rugi jika semua itu tidak bisa membuat kita bertasih kepada Tuhan, padahal pada semua itu ada banyak malaikat tetap bertasih pada Allah subhanahu wata’ala, rugi jika kita tidak juga bertasbih bersama mereka. Akan sangat rugi jika semua itu tidak juga membuat kita untuk memuji Alllah subhanahu wata’ala. Ya Allah, tidaklah Engkau ciptakan semua ini sia-sia, Maha Suci Engku, Segala Puji Bagimu, dan lindungilah kami dari siksa neraka.

Kini kita tahu bahwa sujudnya malaikat kepada Nabi Adam alaihi salam dikarenakan Nabi Adam alaihi salam diberi pengetahuan akan nama-nama sekaligus sifat-sifat dari nama-nama, maka semua malaikat itu diperintahkan untuk tunduk bersujud kepada Nabi Adam alaihi salam. Dan bagi siapapun anak turun Nabi Adam alaihi salam, yang menguasai banyak ilmu, mengerti banyak sifat-sifat dari benda-benda / materi, mampu membuat sistem mekanis apapun itu, maka ia telah menundukan beberapa malaikat untuk mau bekerja untuknya. Oleh karena itu,  penting bagi kita untuk bisa menguasai banyak ilmu, menghapal banyak nama, mengerti sifat-sifat materi, sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah subhanahu wata’ala. Kita bertasbih dengan semua pengetahuan itu yang dikuasakan kepada kita, juga sebagai generasi penerus dari Nabi Adam alaihi salam. Kita harus berusaha dan berupaya menguasai ilmu pengetahuan, sebagai turunan dari Nabi Adam alaihi salam yang mana ilmu pengetahuan itu sampai pada mengenal malaikat, juga sampai kepada mengenal dan memahami Allah subhanahu wata’ala. Semua ilmu itu mengingatkan kita kepada Allah subhanahu wata’ala, dan terus mengingatkan saudara kita yang ilmunya hanya sampai pada zat / materi saja.

Malaikat-malaikat yang sujud kepada Nabi Adam alaihi salam adalah semua malaikat yang mengikat benda materi yang nama-namanya telah disebutkan olehnya tapi juga malaikat-malaikat yang tugasnya melakukan korespondesi / tatap muka / antar muka yang kita kenal jumlahnya sepuluh (Jibril, Mikail, Israfil, Izrail, Ridwan, Malik, Rakib, Atid, Mungkar, Nakir, salam bagi semuanya). Kepada para nabi dan rasul malaikat itu diijinkan menampakan diri dengan rupa-rupa tertentu, tetapi kepada anak cucu Nabi Adam alaihi salam, hanya bisa dikenali ketika ia berfikir dan merenungkan semua yang telah terjadi atau sedang terjadi. Allah subhanahu wata’ala telah mencukupkan tanda-tanda mengenalNya kepada semua umat manusia yang terlahir ke dunia ini tanpa kecuali. Tanda-tanda mengenal Allah subhanahu wata’ala itu disampaikan oleh malaikat Jibril alaihi salam, tapi ketika unit terkecil dari malaikat Jibril alaihi salam datang, banyak dari kita tidak menyadarinya. Sebagai contoh berikut, dimana ada unit terkecil malaikat Jibril telah datang kepada kita.

“Di awal film Ratatouille ketika Remy menyelinap ke dapur lalu melihat acara televisi yang menayangkan Chef Gusteau, di situ Chef Gusteau berkata “Makanan baik itu seperti musik dalam hal rasa, dan warna dalam hal aroma …” kemudian Remy memakan keju dan muncul animasi warna dan suara, lalu Remy memakan strobery juga muncul animasi warna dan suara, adegan dilanjutkan dengan Remy memakan keduanya bersamaan. “

Dari potongan adegan dalam film Ratatouille di atas, Sang Animator menggambarkan bahwa rasa itu seperti musik dan aroma itu seperti warna. Animator menyampaikan bahwa rasa itu tidak hanya, manis, asin, gurih, pedas, kemudian aroma itu tidak hanya wangi, harum, sedap, busuk. Lebih jauh yang disampaikan adalah dari rasa ke suara itu hanyalah tafsir, maka banyak kita temui tafsir dari rasa gula, manis, sweet, hulwun, amai, dan tafsir dari aroma tidak hanya sekedar harum, lalu semua harus mengatakan harum. Dari mana datangnya rasa, suara, aroma? Yang kita tahu, kita tiba-tiba sudah hidup, dengan dibekali dengan semua perangkat itu (indra) dan pernah belajar untuk mengendalikan tubuh kita. Dari mana kehidupan itu datang, kecuali dari sang Maha hidup yaitu Tuhan. Seperti apakah Tuhan itu? jawabnya tak terkira, tak tercitra, tak hingga, karena semua perangkat yang ada dalam dirinya kita berkerja terbatas, dan semuanya hanyalah tafsir. Indra kita tidak akan pernah mampu mengidentifikasi Tuhan, karena Tuhan yang Maha Besar / tak terbatas mustahil dijangkau oleh panca indra dengan kemampuan terbatas ( ∞ ÷ (j,k,l,m,n) = mustahil / impossible *j,k,l,m,n adalah batas atas atau batas bawah dari kemampuan lima indra, seberapapun kita meretas batas itu tetap saja vairabel / peubah itu masih terbatas). Maka mengapa kita harus bertuhan kepada Sosok, rupa? Kenapa kita harus bertuhan kepada sosok hanya hidup di jaman lampau atau jaman tertentu? Kenapa kita harus bertuhan kepada sosok yang terjebak di masa tertentu? Maka kita harus meninggalkan Tuhan-Tuhan yang seperti itu. Kita hanya boleh bertuhan kepada Ia yang Maha Besar, tak terbatas, tak tercitra, tak terkira.

Itulah tadi tanda yang telah disampaikan Allah subhanahu wata’ala kepada kita melalui Malaikat Jibril alaihi salam lewat film Ratatouille. Siapa diantara kita yang menyadari dari adegan di atas, unit terkecil dari Malaikat Jibril alaihi salam telah datang kepada kita yang menonton film itu, atau bahkan kepada mereka yang terlibat dalam pembuatan film Ratatouille itu? Berapa juta pasang mata telah menonton film Ratatouille  yang menyadari bahwa mereka didatangi oleh unit terkecil dari Malaikat Jibril alaihi salam? Ya tentu saja kita tidak akan mengenali Malaikat Jibril sebagai sosok atau wujud tertentu, tapi jika kita sadar ada jika unit terkecil dari malaikat adalah sejumlah aturan / protokol melakukan fungsi tertentu, maka dengan memikirkannya kita bisa mengenali bahwa ada unit terkecil dari Malaikat Jibril alaihi salam telah datang menyampaikan tanda dari Allah subhanahu wata’ala. Masihkah kita berfikir Allah subhanahu wata’ala yang Maha Pengasih berpilih kasih dalam memberikan tanda-tanda mengenalNya hanya kepada para nabi dan rasul saja, ataukah kita masih berfikir setelah Rasullullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasalam wafat, Malaikat Jibril non-job, angkong-angkong, jadi pengangguran? Allah telah mencukupkan tanda-tanda mengenalNya kepada seluruh umat manusia melalui Malaikat Jibril alaihi salam, tapi kebanyakan dari kita abai pada tanda-tanda itu.

Itulah unit terkecil dari Malaikat Jibril alaihi salam, telah datang menyampaikan tanda-tanda mengenal Allah subhanahu wata’ala. Bagaimana dengan Malaikat Mikail alaihi salam?  Seorang baby sister / pengasuh anak, ia selalu tersenyum dan ceria ketika menemani anak yang diasuhnya bermain, ia juga masih tersenyum ketika anak yang diasuhnya rewel, beol / buang hajat, karena ia sadar bahwa ia akan mendapatkan gaji / honor dari sana. Bandingkan dengan kita / seorang bapak / ibu ketika mengasuh anak kita sendiri, banyak kalanya kita marah ketika anak kita buang hajat, atau ketika anak kita membuat mainannya berantakan, atau ia menumpahkan minuman atau sebagainya. Satu sisi Si Pengasuh anak mendapatkan uang / bayaran dari anak yang diasuh, di sisi lain bapak / ibu yang mengasuh anaknya sendiri hanya mendapatkan lelah atau tambahan lelah. Maka Malaikat Mikail bukanlah majikan dari Si Pengasuh anak, unit terkecil dari Malaikat Mikail adalah sejumlah aturan / protokol yang menjadikan sesuatu dapat memperpanjang masa hidup (sumber penghidupan). Maka unit terkecil dari Malaikat Mikail datang pada Si Pengasuh, begitu pula ia datang kepada kita / bapak / ibu yang menghasuh sendiri anaknya, maka senyumlah dan ucapkanlah salam kepadanya. Lagi pula apa alasanmu marah kepada anak yang sedang minta ijin untuk bisa mengendalikan tubuh, tangan dan kakinya? Kamu marah, karena telah berharap lebih atau membayangkan mereka sudah bisa melakukan semuanya sendiri atau kamu telah lupa bahwa dulu juga perlu ijin untuk bisa mengendalikan tangan dan kakimu.

Telah banyak datang unit terkecil dari Malaikat Mikail datang kepada kita, tapi banyak kita acuhkan tanpa mengucapkan salam. Ketika seorang dokter mendapatkan bayaran atas jasa seseorang yang gangguan pernapasan, gangguan saluran pencernaan, pendengarannya terganggu, gangguan fungsi organ tubuh, dan lain sebagainya. Sejumlah aturan dan kejadian yang menjadikan dokter tersebut menerima bayaran atas jasanya adalah rejeki, maka ketika kita dapat mata, hidung, telinga, mulut dan badan kita baik-baik saja (sehat), disaat itulah unit terkecil dari Malaikat Mikail alahi salam telah datang menghantarkan rejeki kepada kita. Bertasbih dan bertahmidlah ketika kita mendapatkan semuanya baik-baik saja karena unit terkecil Malaikat Mikail telah datang dan menunaikan tugasnya. Usahakan jangan marah, terhadap segala sesuatu yang kita perkiraan tidak mendatangkan uang kepada kita. Tetap bersyukur dan tersenyumlah karena di dunia ini ujian yang kita kerjakan adalah ujian praktik. Praktik sabar itu sulit, tapi ingatlah di saat yang sama adalah malaikat yang menyampaikannya dan telah diijinkan itu terjadi pada kita.

Tidak hanya unit terkecil dari Malaikat Jibril alaihi salam atau Malaikat Mikail alaihi salam saja yang datang kepada kita, sesaat kita terbangun dari tidur, maka semua malaikat yang sepuluh datang menyapa kita, dan sejumlah malaikat pengikat materi tetap dalam kedudukkannya sesuai sunatullah. Tapi ada satu, tidak semua yang kita kenali kemudian kita turunkan sifat-sifatnya bisa kita tundukkan. Ada sejumlah hal yang kita kenali dan kita tahu sifat-sifatnya tapi kita tidak diijinkan untuk menundukkannya, salah satunya adalah darah dan aliran darah. Kita tahu ada darah dalam tubuh kita, kita juga tahu darah itu mengalir, tapi kita tidak diijinkan untuk mengendalikannya, itu adalah unit terkecil dari Iblis. Ya unit terkecil dari Iblis bersemayam dalam aliran darah, kita tidak diijinkan untuk menundukkannya meskipun kita mengenalinya dan tahu namanya. Kita hanya bisa membuatnya merespon ketika kita menggunakan ijin untuk mengedalikan tangan dan kaki kita. Dan aksi terbaik, picuan terbaik adalah ketika menggunakan tangan dan kaki kita untuk sujud kepada Allah subhanahu wata’ala. Maka pada saat itulah Iblis pun ikut sujud kepada Allah subhanahu wata’ala. Dan ingatlah Iblis hanya tunduh dan sujud kepada Allah saja.

Mari kita ingat kembali berita tentang Iblis yang menolak untuk sujud kepad nabi Adam alaihi salam. Saat itu Iblis bersumpah bahwa “Demi Maha KuasaMu, akan ku sesatkan mereka semuanya (golangan jin dan manusia)”. Dari sisi Iblis, bantahan tersebut sebenarnya adalah pembelaannya kepada malaikat, Iblis membela dirinya dan para malaikat bahwa “Iblis dan para malaikat tidak keberatan jika yang memotong-motong, atau menggabung-gabungkan sejumlah aturan itu adalah Allah subhanahu wata’ala”. Iblis keberatan jika yang harus memotong-motong, mengisolasi / memenjarakan, menggabung-gabungkan sejumlah aturan itu juga berstatus sesama mahluk yaitu manusia, dalam hal ini Nabi Adam alaihi salam dan keturunannya. Iblis enggan / tidak mau menurut jika yang memotong-motong, memisah ikatan, menyambung ikatan itu adalah manusia. Maka yang dimaksud Iblis dengan menumpahkan darah adalah tidak hanya kenyataan bahwa manusia akan saling menumpahkan darah tetapi juga bahwa manusia itu kelak akan memutus juga menyambungkan ikatan-ikatan malaikat. Hingga saat ini manusia itu memotong-motong, juga menggabung-gabung sejumlah protokol, aturan yang mengikat atom, senyawa. Manusia mereaksikan satu atom dengan atom yang lain, hingga membentuk senyawa baru, atau memisahkan / memurnikan senyawa lainnya. Maka malaikat itu / protokol / aturan / sifat yang mengikat atom / materi itu tunduk pada kemauan manusia (anak cucu Nabi Adam alaihi salam). Tetap saja ada sejumlah kasus, sejumlah materi / sejumlah aturan acak, yang sulit untuk dirumuskan sehingga sulit untuk ditundukan. Maka itu adalah bagian kecil dari Iblis, tidak semua itu bisa ditundukan oleh manusia. Dari sisi Allah itu adalah hal yang menjaga Maha BesarNya, sehingga jelas tidak mungkin bisa dikenali oleh manusia dengan indra dan akal pikirnya. Dari sisi manusia kita hanya diijinkan untuk tahu dalam batas tertentu, dan bisa menundukan dalam batas tertentu juga. Dan dalam keterbatasan, dalam ketidaktahuan yang amat besar, sikap / laku terbaik adalah SUJUD. Tidak ada cara terbaik ketika sampai pada titik ketidaktahuan / keghaiban / kebuntuan kecuali dengan sujud.

Sujud adalah tindakan terakhir yang bisa kita lakukan, karena kenyataannya, dunia ini, semesta ini, jaga raya ini, bumi kita dengan segala isinya adalah hal nyata, dan tidak mungkin ada tanpa ada yang memulai. Konsletnya pemikiran kita bahwa semua ini dimulai dari nol, kita mengira hitungan itu dimulai dari nol dan menganggap dunia ini dimulai dari nol. The missing link pemikiran kita adalah mengira bahwa semua dimulai dari tidak ada. Maka sudah saatnya kita memaknai ulang nol bukan lagi tidak ada, tapi nol adalah mati. Dan mustahil segala sesuatu yang hidup ini berasal dari benda mati, segala sesuatu yang hidup ini dimulai dari yang Maha Hidup. Sang Maha Hidup itulah Allah subhanahu wata’ala. Kita tata ulang pola pikir kita untuk mereset ulang bahwa semuanya harus dimulai dari satu bukan lagi nol. Itulah the missing link yang saya maksud. Allah subhanahu wata’ala itu hanya satu dan tidak ada yang menyerupaiNya, dan Dialah sebenar-benarnya Tuhan. Dan kita semua wajib bertuhan.

 

Ø  Kita semua wajib bertuhan, rumus universal mekanika belum ditemukan, dan tidak akan pernah ditemukan. Maka tidak ada pilihan tidak bertuhan.

Ø  Pencarian kita melalui disiplin ilmu, fisika, kimia, biologi, matematika, bahasa dan sastra, dan semua cabang disiplin ilmu, adalah untuk mengidentifikasi sifat-sifat dari nama-nama benda dan menundukan aturan protokol yang mengikat benda (malaikat), bukan untuk membuktikan ketidakberadaan tuhan.

Ø  Makrifatullah bukanlah hal yang luar bisa sehingga kita bangga-banggakan atau kita jual untuk mengumpulkan perbendaharaan dunia. Makrifatullah seharusnya membuat kita menetapi syariat Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasalam.

Ø  Percayalah / berimanlah pada Allah subhanahu wata’ala dengan sungguh-sungguh iman, yakin dengan sangat yakin.

Ø  Tetaplah terbuka dengan segala sesuatu yang kita yakini kebenarannya, dan satu-satunya tutup akan kebenaran adalah La ilaha illallah.


The Missing Link is Zero : Empty

  This article was written in Indonesian and a little Javanese. I wrote this article using a lot of synonyms, with the intention of describi...