Jumat, 18 Juni 2021

Mengenal Konsep Bilangan Prima

 Mengenal Konsep Bilangan Prima




Bilangan prima adalah bilangan yang hanya bisa dibagi oleh satu dan bilangan itu sendiri. Atau bilangan prima adalah bilangan yang hanya memiliki 2 faktor. Apa yang dimaksud dengan faktor bilangan? Faktor bilangan adalah bilangan yang bisa menjadi sebab pembentuk / adanya bilang itu. Berikut adalah ilustrasinya

Sebelum saya membuat ilustrasi tentang faktor pembentukkan bilang, kita perlu memahami tentang sistem operasi bilangan. Ini sudah pernah saya tulis di artikel saya yang berjudul “Mengenal Sistem Operasi” atau “Mengenal Makna Sistem Operasi Bilangan”. Baik singkat saja tentang sistem operasi bilangan, dalam sistem operasi bilangan ada, perkalian, pembagian, penjumlahan, dan pengurangan. Perkalian adalah sebab yang mengakibatkan jumlah (Penjumlahan) itu ada. Perkalian berpasangan dengan Pembagian, sedangkan Penjumlahan berpasangan dengan Pengurangan. Oleh karena itu setiap operasi bilangan urutan pengoperasiannya pasti perkalian dulu, kemudian pembagian, lalu penjumlahan dan terakhir pengurangan. Adanya pasang-pasangan, “Sebab-Akhibat, Perkalian-Pembagian, Penjumlahan-Pengurangan”, adalah sesusai dengan sifat yang mengikat mahluk (ciptaan). Hal ini seperti yang saya jelaskan pada artikel tentang “makna angka satu (1) sampai dengan sepuluh (10)”.



Gambar hubungan perkalian, pembagian, penjumlahan dan pengurangan.

Kali dan bagi adalah sebab, jumlah dan kurang adalah akibat. Kali adalah pertemuan / penyatuan, Bagi adalah perpisahan / penguraian. Kali berpasangan dengan bagi, begitupula jumlah berpasangan dengan kurang.

Mari kita mulai ilustrasinya. Untuk ilustrasi kita akan menggunakan bilangan dari satu sampai dengan sepuluh.

Satu (1)

1 = 1, 1 = 1 X 1, 1 = 1 : 1, maka tidak ada faktor pembentuk dari angka satu. Satu ya satu itu sendiri, satu tidak berasal dari bilangan manapun, tidak ada bilangan lain yang mampu membentuk satu. Karena itu satu itulah Tuhan, Dialah sang pencipta, Dia ada dan karena itu pula semesta ini ada. Kita tidak bisa mengatakan bahwa faktor adanya satu ya satu. Menurut saya, satu ya satu tanpa sebab, tanpa alasan, tanpa faktor lain. Dia ada, dan memang sudah ada, tetapi dalam bahasa matematika simbol, bolehlah kita berdamai, berkompromi bahwa faktor dari satu ya satu. Meskipun secara bahasa komunikasi rasanya aneh.

Dua (2)

2 = 2 X 1, maka faktor pembentukan dari angka 2 ada 2 yaitu, 2 dan 1. Sebab adanya angka 2 adalah angka 2 itu sendiri dan 1. Mari kita keluar sejenak dari matematika simbol, kita keluar melihat dunianya nyata. 2 dikatakan 2 itu karena adanya perbedaan. Sesuatu itu dikatakan sepasang (2) karena berbeda. Ada laki-laki : ada perempuan, ada siang : ada malam, ada gelap : ada terang, ada sebab : ada akibat dan seterusnya. Oleh karena itu, berpasang-pasang menjadi sifat dari mahluk (ciptaan), berpasang-pasang menjadi pengikat bahwa itu mahluk. Sedangkan Sang Pencipta, itu jelas berbeda dari mahlukNya. Maka dari itu maka sebab adanya berpasang-pasangan karena adanya sang pencipta. Sebab adanya 2 ya karena 2 itu sendiri dan 1 (Sang Pencipta). Artikel saya tentang “Makna Sistem Operasi Bilangan” dan “Makna Angka 1 Sampai 10” mungkin bisa sedikit membantu menjelaskan.

Tiga (3)

3 = 3 X 1, Maka sebab (faktor) adanya angka 3 yaitu 3 dan 1. Dalam artikel saya yang saya sebutkan di atas. Saya menerangkan jika tiga itu adalah lambang dari padat, cair, dan gas. Sebab adanya semua itu, ya karena Sang Pencipta.

Empat (4)

4 = 4 X 1

4 = 2 X 2, maka faktor adanya angka 4 ada 3 yaitu 4, 2, dan 1. Di sini sebab adanya 4 yaitu 4 itu sendiri, kemudian 2 dan 1. Di artikel sebelumnya saya mengatakan bahwa 4 adalah simbol dari api. Api sebagai sumber panas untuk memulai adanya aksi  dan reaksi. Untuk memulai suatu siklus dari makluk.

Lima (5)

5 = 5 X 1, maka faktor pembentuk angka 5 ada 2 yaitu 5 itu sendiri dan 1. Mungkin sampai sini masih ada yang bingung, mengapa faktor atau sebab pembentuk angka atau bilangan itu adalah perkalian atau pembagian? Sebetulnya jawaban tentang ini sudah lengkap saya tulis di artikel tentang “Sistem Operasi Bilangan” tapi akan saya jelaskan dengan cara lain di sini atau lebih singkat. Mengapa 5 berasal dari 5 kali 1, bukannya 5 berasal dari 4 + 1, atau 3 +2, atau 1+1+1+1+1? Hal ini karena penjumlahan itu hanyalah sebuah akibat, bukan menjadi sebab terjadinya sesuatu. Contohnya, jumlah gaya yang bekerja pada sebuah benda berbanding lurus dengan massa benda dan percepatan (jarak dibagi waktu kuadrat).



Maka akan kita dapatkan F = [Kg][M]/[S]2 , F = [N], [N] = [Kg][M]/[S]2. Satuan Newton adalah sesuatu yang baru dan itu dihasilkan dari pertemuan / Perkalian massa dan jarak dibagi waktu kuadrat. Maka di sini kita bisa melihat sebab terjadinya / pembentukan mahluk (ciptaan) atau sesuatu yang baru adalah perkalian dan pembagian, bukan penjumlahan. Karena penjumlahan tidak bisa dioperasikan jika elemen-elemennya berbeda, contohnya massa ditambah jarak dikurangi waktu, tidak bisa dioperasikan. 

Penjelasan lain, mari kita bawa matematika ini jalan-jalan keluar, bukan matematika sekedar simbol. Karena jika hanya simbol kita tidak bisa membedakan antara hasil 5 = 5 X 1, dengan 5 = 1 + 1 + 1 +1 + 1, semua akan terlihat sama jika itu hanya simbol atau notasi. Mengapa 5 dikatakan 5, karena setiap satuannya berbeda. Jika dalam artikel saya “Mengenal angka 1 sampai 10” itu saya mengatakan bahwa lima adalah simbol dari panca indra (5 indra), maka semua indra itu berbeda semua bentuk dan fungsinya. Mengapa 5 apel dalam mangkuk dikatakan lima, padahal sama-sama apel? Karena kita sebagai mahluk itu terikat ruang dan waktu. Mengapa ada 5 apel karena setiap dari apel itu menempati koordinat ruang yang berbeda, meskipun dalam waktu yang sama. Di sini ruang dan waktu juga termasuk ciptaan yang saling berpasangan. Dan di sini satu itu adalah selalu terlibat dalam setiap penciptaan mahluk. Dan Satu ini sudah pasti berbeda dari mahlukNya. Dan jangan salah logika bahwa mahluk / ciptaan ini ada karena bahan bakunya diambil dari yang satu, ini adalah anggapan atau logika yang keliru tentang penciptaan dan kekeliruan dari penggunaan kali bagi tambah dan kurang, masih ada anggapan bahwa penciptaan mahluk itu dari penjumlahan atau pengurangan.

Enam (6)

6 = 6 X 1

6 = 2 X 3, maka faktor dari angka 6 ada 4 yaitu, 6,3,2, dan 1. Enam bisa ada karena langsung diciptakan ada (6), atau enam bisa ada karena pertemuan atau perkalian dua dan tiga. Contoh panas-dingin (2) bertemu (X) batu, air, dan udara(3) maka hasilnya (=) batu panas, air panas, udara panas, batu dingin, air dingin, udara dingin (6). Saya mengatakan bahwa enam adalah simbol dari waktu, karena waktu muncul ketika bahan sudah ada, padat, cair dan gas, terkena panas / api dan sudah bisa diamati dengan indra (5) maka muncul waktu reaksi atau waktu siklus.

Tujuh (7)

7 = 7 X 1, maka faktor pembentuk angka 7 ada 2 yaitu tujuh itu sendiri dan satu. Saya katakan bahwa tujuh melambangkan tujuh tingkat dari aksi-reaksi dalam kurun waktu tertentu. Ada tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi.

Delapan (8)

8 = 8 X 1

8 = 2 X 4, maka faktor pembentukan angka 8 ada 4 yaitu 8,4,2, dan 1. Saya katakan bahwa delapan adalah kelengkapan dimana setelah aksi-reaksi menghasilkan 7 tingkat ruang dalam kurun waktu tertentu. Selanjutnya butuh kelengkapan untuk mengisi setiap ruang itu, itulah delapan.

Sembilan (9)

9 = 9 X 1

9 = 3 X 3, maka faktor pembentukan angka 9 ada 3 yaitu, 9, 3, dan 1. Sembilan melambangkan manusia, dan manusia memiliki keistimewaan tersendiri sebagai mahluk / ciptaan Tuhan. Semua angka yang dipertemukan dengan sembilan, atau yang berhasil diurai dengan sembilan makan jika dijumlahkan angkanya kembali menjadi sembilan. Contoh, 729 jika dijumlahkan 7 + 2 + 9 = 18, 1 + 8 = 9. Dan bilangan berapapun yang hasil kali sembilan atau habis dibagi sembilan, maka jika dijumlahkan hasilnya kembali menjadi sembilan. Itu adalah keistimewaan angka sembilan. Dan itu juga berarti peringatan untuk kita. Karena Penjumlahan itu adalah akibat, maka semua apapun itu yang disebabkan campur tangan manusia, maka dia atau hasilnya akan kembali kepada manusia itu. Karena itu semua perbuatan manusia itu akan kembali atau menjadi tanggung jawab manusia itu. Semua apa yang kita kerjakan itu akan kita pertanggungjawabkan. Ini keistimewaan atau beban ya? Maka dari itu, hari pertanggungjawaban itu adalah pasti akan tiba, terserah kamu mau bersiap diri atau mengabaikannya.

Sepuluh (10)

10 = 10 X 1

10 = 2 X 5, maka faktor pembentukan angka 10 ada 4 yaitu 10, 5, 2, dan 1. Sepuluh melambangkan kembali ke Tuhan, nol itu adalah kematian dan kemudian kembali ke 1 (Tuhan). Jika kita susun angan satu sampai dengan sepuluh mengikuti kaidah tangan kanan, atau berlawan dengan arah jarum jam. Keunikan angka sepuluh adalah semua angka yang dikalikan dengan angka 10 akan berubah menjadi 10 lipat, atau akan yang dibagi dengan 10 akan berubah / berkurang 10 lipat. Artinya jika kita manusia (9) dalam hidup ini, sering kembali / bertemu dengan Tuhan (shalat), maka nilai kita (pangkat, derajat, dll) itu meningkat 10 kali (90). Dan apapun yang kita usahakan kita kembalikan kepada Tuhan, maka balasnya menjadi 10 kali. Bayangkan jika kita mengerjakannya 5 kali sekali. Atau semua yang kita usahakan kita kembalikan hasilnya kepada sang pencipta itu.

Baik kita kembali ke Konsep Bilagan Prima

Dari penjelesan di atas kita bisa menarik simpulan atau menggolongkan mana bilangan prima, yang mana bukan bilangan prima kurang dari 10

1 bukan bilangan prima karena hanya memiliki 1 faktor (tanpa faktor menurut saya), 2 bilangan prima, 3 bilangan prima, 4 bukan bilangan prima, 5 bilangan prima, 6 bukan bilangan prima, 7 bilangan prima, 8 bukan bilangan prima, 9 bukan bilangan prima, 10 bukan bilangan prima.

Jika kita kelompokan

Bilangan prima adalah 2,3,5,7.

Bukan bilangan prima adalah 4,6,8,9,10

Berikut ini saya buatkan diagram bilangan prima kurang dari 100



Gambar diagram bilangan prima kurang dari 100.

Dari diagram kita bisa melihat, Sang Pencipta (1) itu ada di tengah, menjadi faktor atau sebab bilangan lain (mahluk) itu ada. Tidak ada satu bilanganpun yang sebab terjadinya tanpa adanya satu. Maka semua yang terjadi di bumi dan alam semesta ini adalah karena penciptaan. Tidak ada satupun yang terjadi di bumi dan alam semesta ini tanpa izin Sang Pencipta. Tidak ada satupun sesuatu yang terjadi di bumi dan alam semesta ini, melainkan pasti diketahui oleh Sang Pencipta.

Dari diagram, jika kita lihat, lingkaran tengah ada angka 1, kemudian lingkaran dalam ada angka 2 sampai 10, yang berarti ada 9 angka. Lalu lingkaran luar ada angka 11 sampai 100, maka ada 90 angka. Jika kita buatkanlagi lingkaran lagi diluar maka akan ada angka 101 sampai 1.000, yang berarti ada 900 angka begitu seterusnya. Maka sangat benar jika manusia (9) itu dikatakan sebagai wakil dari Sang Pencipta (khalifahtullah), karena semua yang terjadi dalam alam semesta itu dikembalikan lagi kepada manusia (tanggung jawabnya kepada manusia).

“Mas Kus, kenapa diagram lingkarannya didesain seperti itu?”

“Waduh ciloko iki! Lapo kowe kok takon ngono kuwi barang? Wong kuwi sengojo tak gawe ben iso ngedrabus neng kowe kok, malah kok takoni. Bah bah lomoh iku karepku.”

Selanjutnya dari diagram selain kita bisa tahu mengapa manusia dikatakan khalifah (wakil dari Tuhan) di Bumi. Kita juga bisa tahu bahwa alasan diciptakannya bumi langit dan seisinya karena manusia (9) (jika kita lihat diagram di atas, kemudian angka 2 dan seterusnya adalah mahluk termasuk jagat raya, maka setiap interval dari lingkaran itu 9,90,900,9.000, dst, adalah lambang dari manusia. Artikel saya mengenal angka 1 sampai 10), akan tetapi mungkin waktu itu bukan wujud manusia seperti sekarang ini tapi masih berwujud nur Muhammad. Dan menjadi tanggung jawab manusia untuk menggelola semua setelah tiba di bumi.

Kembali ke konsep Bilangan Prima, mengapa 2 menjadi satu-satunya bilangan genap sekaligus menjadi bilangan prima? Sedangkan bilangan prima yang lain sudah pasti bilangan ganjil. Dan tidak ada satupun bilangan ganjil yang faktor pembentukannya itu melibatkan angka 2. Karena 2 adalah sifat yang disematkan kepada mahluk (ciptaan) yaitu berpasang-pasangan. Hal ini menjadi pembeda antara mahluk dan Sang Pencipta. Maka semua mahluk itu pasti berpasang-pasangan, walaupun dalam proses terjadinya bilangan ganjil itu tidak melibatkan angka 2 tetapi ia (bilangan ganjil itu) terikat oleh sifat berpasang-pasangan. Atau setiap mahluk itu pasti terikat oleh ruang dan waktu. Ruang dan waktu adalah mahluk unik yang berpasangan dan mengikat mahluk lainnya. Dan 2 masuk dalam kategori bilangan prima, karena bilangan prima itu sangat unik sebab terjadinya itu langsung diciptakan oleh Tuhan itu sendiri. Maka 2 masuk kedalam bilangan prima yang mana bilangan prima itu adalah bilangan ganjil yang paling ganjil karena tidak bisa dibuat dari bilangan lain. Contoh 9 = 3 X 3. Maka layaklah 2 masuk dalam bilangan prima. Jika kita lihat bilangan prima sebagai mahluk, maka setiap mahluk itu pasti terikat oleh ruang dan waktu. Sudah menjadi ketetapan bahwa mahluk itu menempati ruang dan terikat oleh waktu, meskipun itu adalah mahluk yang diciptakan sekali saja (bilangan prima).

Baik mari kita bawa konsep bilangan prima ini ke dunia nyata. Dalam dunia nyata, sebuah mahluk itu terikat oleh ruang dan waktu. Termasuk dalam bilangan prima, yaitu mahluk yang unik yang hanya akan Allah ciptakan sekali saja dan dalam ruang waktu tertentu. Maka fenomena Covid-19 (Corona) ini bisa jadi ini adalah perwujudan dari mahluk bilangan prima. Bisa jadi corona ini adalah bentuk dari mahluk yang mempunyai sifat dari bilangan prima. Diciptakan sekali dalam ruang waktu tertentu dan akan berakhir dalam masa tertentu. Meskipun dalam perjalanan Corona ada teori bahwa Corona ini adalah virus yang sengaja diciptakan untuk membuat kegaduhan atau senjata biologis untuk mengerem ekonomi. Atau merusak laju ekonomi negara tertentu atau kelompok negara tertentu. Tapi jangan lupa bahwa, segala sesuatu yang terjadi di dunia ini atas izin dari Allah subhanahu wa ta’ala. Dan tidak ada satupun yang luput dari pengetahuan Allah.

Jika benar corona ini memiliki sifat bilangan prima, maka ia memiliki sifat membawa tanda perubahan. Karena sifat bilangan prima itu tidak bisa dirumuskan, maka yang terjadi setelahnya biasanya hitungannya berubah. Seperti apakah tren yang terjadi setelah Corona ini berakhir? Aku tidak tahu, karena tidak cukup pengetahuanku akan Corona ini adalah wujud dari bilangan prima yang kesekian. Belum lagi masa ini sudah pada masa / waktu yang seberapa hitungannya. Satu-satunya hal yang pasti adalah kita harus menyiapkan diri akan perubahan itu. Dan perubahan yang paling baik adalah berserah diri kepada sang pencipta. Baca lagi keterangan angka sepuluh. Dan mengenal Sang Pencipta itu adalah cara berserah diri yang paling baik. Dan semua artikel yang sebelumnya saya tulis saya maksudkan adalah untuk lebih mengenal Sang Pencipta.

Saya menduga bahwa Corona adalah layaknya bilangan prima, atau mahluk yang diciptakan dan diizikan keluar pada suatu waktu (bersama dengan kita saat ini), dan setiap mahluk itu pasti ada batas berakhirnya. Kemudian karena memiliki sifat bilangan prima, maka ia juga akan membawa tanda perubahan dalam perjalanannya. Oleh karena itu, sikap kita yang benar adalah menyiapkan diri untuk berubah mulai saat ini. Dan perubahan yang paling baik adalah kembali kepada Sang Pencipta, Allah Subhanahu wa ta’ala. Semua yang terjadi di dunia ini atas izin Allah, semua yang terjadi diketahui dengan detil oleh Allah, semuanya akan dikembalikan kepada Allah. Dan pilihan terbaik adalah berserah diri kembali kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Wasalam Raden Kuswanto

Rabu, 16 Juni 2021

Al Kisah Rombongan Musyafir

 Ini adalah kisah tentang rombongan musyafir, silahkan menyimak.


Aku cerikan sebuah kisah untuk kamu. Kisah ini terjadi pada suatu jaman, pada jaman itu sudah menjadi umum untuk seseorang itu menjadi musyafir atau melakukan perjalanan untuk keperluan tertentu. Banyak dari orang-orang itu melakukan perjalanan untuk berdagang atau mencari keberuntungan dan memperoleh perbedaharaan dunia seperti emas dan permata. Disisi lain juga banyak orang-orang yang melakukan perjalanan demi ilmu dan pengetahuan, karena dengannya kemuliaan dan kehormatan bisa didapatkan. Pada jaman itu pula ada desas-desus tentang ada sebuah negeri yang kehidupan di negeri itu penuh kenyamanan, ketentraman, dan kemakmuran. Tidak ada cerita tentang orang kelaparan di negeri tersebut, tidak ada cerita tentang penganiayaan atau penindasan di negeri itu, dan tanah negeri itu menumbuhkan berbagai jenis tanaman dengan subur, hewan ternaknya juga gemuk-gemuk. Semua makanan di negeri itu sangatlah lezat dan begitu memanjakan lidah manusia. Di negeri itu emas yang sengaja dibuang di jalan tidak akan ada yang mengambil hingga orang yang menjatuhkan itu kembali ke tempat ia menjatuhkannya untuk mengambil emas tersebut. Segala kenyamanan dan kenikmatan dunia ada di negeri tersebut. Desas-desus tentang negeri ini menjadi buah bibir, ada yang menganggapnya itu hanya dongeng anak kecil saja, ada pula yang menyakini itu benar adanya.

Hinggga suatu saat terkumpulah banyak orang yang begitu meyakini akan keberadaan negeri itu. Dibuatlah kesepakatan diantara orang-orang itu untuk pergi menuju negeri itu. Tetapi semua dari mereka tidak tahu jalan menuju negeri tersebut, satu-satunya petunjuk menuju negeri tersebut adalah “Hanya ada satu jalan untuk sampai di negeri itu, jika kamu sudah menemukan suatu jalan yang lurus tak berbelok, maka kamu sudah sampai pada jalan menuju gerbang negeri itu.”. Kemudian permasalahan timbul diantara mereka, tidak ada jalan lurus seperti itu pada peta mereka. Google maps belum ada, apakah ada jalan lain diluar peta yang sudah ada saat ini? Tidak ada satu orangpun diantara mereka yang tahu jalan lain diluar yang telah mereka ketahui saat ini. Sebagian dari mereka menyimpulkan bahwa petunjuk itu bukanlah petunjuk tentang peta jalan sesuai kenyataan, itu adalah sandi yang harus mereka pecahkan. Bisa jadi keberadaan negeri itu tertutupi oleh tabir tak kasat mata dan untuk pergi ke sana perlu memecah sandi dari petunjuk tersebut. Terpecahlah mereka dengan dua pendapat tersebut, hingga dibuatlah sebuah kesepakatan bahwa mereka harus memilih pemimpin yang bisa membawa ke tujuan mereka. Akan tetapi diantara meraka tidak satupun yang tahu bahwa pentunjuk itu adalah sandi atau petunjuk sebenarnya, maka dibuatlah kontestasi diantara mereka yang paling banyak ilmu dan pengetahuan.

Sampailah mereka pada hari kontestasi, terpilihlah diantara mereka orang yang dianggap paling banyak ilmunya dan paling luas wawasannya. Satu dari calon pemimpin itu berpidato dan berorasi menunjukkan keilmuannya dan keluasan wawasannya, maka sebagian dari mereka riuh bertepuk tangan memuji calon tersebut. Begitu pula ketika calon pemimpin lainya berpidato dan berorasi, riuh tepuk tangan juga menyabutnya. Selesai kontestasi tersebut tidak disepakati satu pemimpinpun, akan tetapi mereka tetap harus memilih satu diantara mereka. Kemudian disepakati diadakan pilihan langsung, siapa yang memilih calon satu, bergerak ke arah kiri, yang memilih calon dua bergerak ke arah kanan. Terpilihlah satu diantara mereka dengan jumlah pendukung terbanyak. Dan mulailah pemimpin tersebut berseru kepada rombangan untuk bersiap-siap berangkat menuju negeri impian tersebut.

Waktu pemberangkatan telah tiba, berjalanlah mereka dengan membawa semua perbekalan mengikuti sang pemimpin. Dan juga telah disepakati bahwa sang setiap orang yang ikut rombongan wajib menyisihkan sedikit bekal mereka untuk diberikan kepada sang pemimpin terpilih sebagai ucapan terima kasih dan balas jasa karena telah bekerja dan mencari jalan menuju negeri impian. Setelah jauh berjalan, mereka beristirahat. Dan saat beristirahat itu ada seseorang menegur mereka.

“Siapakah kalian dan mau kemana kalian?” seru orang tersebut.

“Kami adalah rombongan musyafir yang akan menuju Negeri Batok!” jawab pemimpin rombongan musyafir itu, dengan telah membuat istilah negeri impian mereka dengan sebutan “batok”.

“Aku tahu jalan menuju negeri itu.” Jawab orang itu.

“Maukah kamu mengantarkan kami ke negeri tersebut?” Balas pemimpin rombongan.

“Tentu, tapi aku minta imbalan dari perbekalan kalian!” Jawabnya orang itu, dengan mengajukan syarat bagi rombongan musyafir itu.

“Baik tidak masalah.” Jawab mereka, sekaligus menyetujui syarat yang orang asing itu ajukan.

Berkatalah pemimpin rombongan musyafir itu kepada kelompoknya, bahwa mulai saat ini mereka harus menyisihkan sedikit tambahan lagi dari perbekalan mereka untuk membayar jasa dari orang asing tersebut.

Berjalanlah rombongan musyafir itu mengikuti sang pemimpin yang juga mengikuti orang asing itu. Sampailah mereka pada suatu negeri dimana mereka memiliki bangunan yang megah dan berciri khas. Orang asing itu pun berkata kepada rombongan itu.

“Ini adalah negeri yang kalian tuju!” Kata orang asing itu.

“Negeri ini memang megah, tapi ini bukan negeri yang kami maksud!” Balas rombongan musyafir itu.

“Di Negeri Batok itu tidak ada orang kelaparan, tetapi negeri ini meskipun megah orang banyak yang kelaparan, dan makanan juga harus dibeli. Sekalipun bisa membeli, tetapi makanannya tidak ada.” Jawab rombongan musyafir itu meneruskan.

Dari negeri yang ditunjukkan orang asing tersebut, rombongan musyafir itu membuat kesepakatan lagi bahwa mereka harus mencari pemimpin lagi untuk mencari Negeri Batok itu. Saat ini sudah biasa menyebut negeri tujuan mereka dengan istilah batok. Terpilihlah seorang dari mereka untuk mencari jalan menuju Negeri Batok tersebut. Dan rombongan musyafir itu berangkat lagi mencari Negeri Batok itu mengikuti pimpinan yang mereka pilih. Dalam perjalanan mereka, mereka bertemu juga dengan orang asing, kemudian bertanya pada rombongan musyafir itu.

“Siapakah kalian, dan mau kemana kalian?” tanya orang asing tersebut.

“Kami adalah rombongan musyafir, dan kami sedang menuju Negeri Batok!” Jawab rombongan itu.

“Oh! Negeri Batok, saya tahu dimana negeri itu berada.” Kata orang asing tersebut.

“Jika kalian mau, saya bisa mengantarkan kalian. Tetapi karena negeri itu sangat jauh, saya maunya kalian semua naik kendaraan ini.” Kata orang asing itu melanjutkan.

“Dimanakah kendaraan seperti itu ada?” Jawab rombongan itu.

“Saya ada kenalan, orang yang punya kendaraan seperti itu. Cukup banyak dan bisa muat untuk kalian semua.” Timpal orang asing itu.

“Baik, bawa kami kesana!” Jawab romongan musyafir. Dan sampailah mereka ke pemilik kendaraan yang dimaksud oleh orang asing itu.

“Saya akan antar kalian menuju negeri tersebut tanpa meminta imbalan dari kalian, dengan syarat kita semua naik kendaraan seperti ini.” Orang asing itu mulai berbicara.

“Hanya saja, pemilik kendaraan ini mau kalian membayar sewa selama kendaraanya dipakai.” Orang asing itu melanjutkan.

Terjadilah kesepakatan diantara mereka bertiga, rombongan musyafir, orang asing penunjuk arah, dan orang asing pemilik kendaraan. Kemudian berangkatlah mereka dengan kendaraan sewaan dipandu oleh orang asing tersebut. Dan dalam perjalanan, pemimpin mereka sudah membayangkan akan segera tiba di Negeri Batok. Dan pemimpin tersebut meminta sepersekian dari bekal mereka untuk membayar sewa kendaraan dan tanda jasa untuk orang asing tersebut. Harga yang pantas dan wajar untuk tiba di negeri yang tidak ada penderitaan didalamnya.

Sampailah mereka pada suatu negeri yang mana memiliki lebih banyak bangunan megah. Makanan di negeri itu juga tersedia banyak dan cukup murah. Hanya saja tetap saja ada orang yang kelaparan karena orang-orang itu tersisihkan dan dianggap berbahaya di negeri itu. Maka orang-orang musyafir itu menyimpulkan bahwa negeri itu bukanlah negeri tujuan mereka. Kembalilah mereka membuat kesepakatan lagi memilih pemimpin lagi untuk mengantarkan mereka ke Negeri Batok.

Pemimpin batu telah terpilih, lagi-lagi kejadian terulang lagi. Mereka bertemu orang asing dan menawarkan jasa untuk mengantarkan mereka. Dan lagi-lagi pemimpin yang mereka pilih meminta imbalan dari jasa pada rombongan dan untuk membayar jasa orang asing itu. Setiap tiba di suatu negeri mereka mengganti pemimpin lagi, begitu seterusnya.

Itulah cerita singkat para rombongan musyafir yang terjebak dalam siklus biro perjalanan dan belum sampai pada Negeri Batok tujuan mereka. Setiap pemimpin baru yang terpilih untuk memecah petunjuk jalan ke Negeri Batok, sudah biasa pemimpin itu meminta imbalan dulu. Padahal tujuan mereka adalah sama, bukankan cukup bagi pemimpin baru itu dibawakan bekalnya dan cukup makan untuk fokus memecah petunjuk itu. Bukankan imbalan itu pantasnya diberikan setelah pemimpin itu berhasil membawa rombongan  musyafir sampai ke negeri tujuan mereka? Bukankan pemimpin itu dipilih untuk memberikan jalan keluar atau solusi dari minimnya petunjuk jalan ke Negeri Batok itu bukan malah memaksa rombongannya untuk membayar jasanya dan jasa penunjuk arah? Masih pantaskan pemimpin itu meminta imbalan jika, tugasnya memecah petunjuk itu sudah dilimpahkan ke orang asing itu? Tidakkah mereka curiga terhadap orang asing itu, jika memang orang asing itu tahu jalan ke Negeri Batok, sudah tentu mereka tidak ada di sini? Bukankah diluar rombongan musyafir itu ada dua rombongan lagi yang mempunyai tujuan mereka masing-masing? Bisa jadi orang asing itu adalah kelompok orang yang mengejar harta kekayaan berupa emas dan permata. Atau orang asing itu kelompok orang yang menjual ilmu dan pengetahuan demi kedudukan dan kehormatan.

Kasihan sekali rombongan musyafir itu, mereka lupa akan tujuan mereka. Setiap pemimpin yang terpilih selalu melimpahkan tanggung jawabnya pada orang asing. Setiap pemimpin yang terpilih hanya sibuk membuat negeri impiannya sendiri, dan melupakan tujuan ke Negeri Batok yang sesungguhnya. Semoga saja mereka kelak memiliki pemimpin yang mampu memecah kode sandi dari jalan menuju keberadaan Negeri Batok itu.

Tunggu-tunggu sebentar, Waduh Celaka! Sejak kapan aku berada dalam rombongan musyafir ini. Padahal sebelumnya aku sedang istirahat, kenapa tiba-tiba aku sudah berada dalam rombongan musyafir ini. Hai Kalian yang mendengarkan ceritaku ini, tolong bangunlah atau bangunkan aku. Aku berharap aku hanya bermimpi berada dalam rombongan musyafir ini. Ayo siapa saja yang mendengarkan ceritaku ini, tolong sadarkan aku.


Rabu, 02 Juni 2021

Sangkar dan Privatisasi Kebenaran

 

Hallo Para  Sahabat semuanya, selamat datang di era globalisasi dan di era keterbukaan. Era dimana semua informasi terbuka dan semua konektifitas antar individu, kelompok, bangsa, negara dan batas geografi dibuka dan bisa diakses oleh siapa saja. Akan tetapi apakah benar seperti itu? Apakah kita sudah sampai pada era seperti itu (globalisasi)? Atau apakah kita masih dalam proses menuju ke situ? Mungkinkah kita justru berjalan mundur dari era itu? Lalu apakah era globalisasi dan keterbukaan itu hanya sebatas slogan-slogan saja? Mungkinkah itu semua hanya doktrin-doktrin saja yang didengungkan terus menerus sehingga terasa seperti kita sudah                                                                                                                                            sampai pada era itu? Waduh! Sepertinya pertanyaan-pertanyaannya mulai kacau, sehat Mas Kus? Gak sedang teler kan? Masih menginjak bumikah?

(“Waduh pertanyaan gendeng iki, diarani edan aku. Yo wes gak popo”)

Jawabnya jelas, kita telah sampai di era ini, era globalisasi dan era keterbukaan. Dengan semua akses infomarsi yang bisa kita dapat darimana saja melewati batas teretorial. Dan tentu saja ini adalah era baru yang berjalan maju.

Yakinkah kita akan jawaban seperti itu? Atau mungkinkah kita layaknya seekor burung dalam sangkar, yang sudah menikmati keadaanya dalam sangkar, sehingga melihat sangkar itu bukan lagi penjara baginya, bahkan ketika ia dilepas liarkan dia akan kembali dalam sangkar. Karena menganggap di alam liar ia akan mati. Sedangkan dalam sangkar ia bisa hidup nyaman tanpa terganggu kerasnya alam liar dan tanpa khawatir akan datangnya predator.

“Mungkin kita seperti burung dalam sangkar yang sudah menikmati kehidupan dalam sangkar, hingga enggan jika dilepas-liarkan. “Wes kadung jinak”.”

Atau mungkinkah globalisasi itu seperti kubah penangkaran burung-burung, sehingga tidak lagi dalam sangkar yang kecil-kecil. Atau mungkin saja globalisasi selayaknya virtual reality (VR) yang dipasangkan ke kita sehingga kita menganggap bahwa seolah-olah kita telah hidup bebas?

Ah rasa-rasanya kok tidak mungkin semua ini seperti itu. Itu hanya sebatas hayalan saja.

Jika dan hanya jika itu hanya hayalan saja, dan yang masih bebas dan merdeka dalam diri kita hanya hayalan itu. Mungkin sebaiknya kita biarkan hayalan itu mengembara melihat tubuh ini terpenjara. Atau kita beranikan diri meninjau ulang semuanya tentang kenyamaman yang kita terima. Bisa jadi kita menikmati semua kenyamanan semua ini layaknya ikan-ikan dalam kolam yang menikmati pakan setiap waktunya, tanpa mau berfikir bahwa itu (pakan tersebut) akan membawanya ke dalam minyak panas pada saat tiba waktunya.

Kita memang sudah dalam masa yang bebas dalam mengakses informasi, tetapi sejak kita lahir, kita sudah dibatasi oleh aturan-aturan adat-istiadat, hukum-hukum modern yang ada dalam wilayah tempat kita lahir. Sejak kita lahir, kita sudah mewarisi agama, adat-istiadat, dan hukum-hukum modern yang mengikat kita di tempat kita lahir. Dan tidak ada pilihan lain selain menerimanya. Jika memang agama yang kita warisi adalah agama yang benar, seharusnya tidak masalah kita sebagai pewaris agama ini menguji kebenarannya. Jika itu memang benar, tidak perlu khawatir akan hasil uji para pewaris ini (kita), tentu saja hasilnya akan sama yaitu benar. Dan juga tentang adat-istiadat dan juga hukum-hukum modern. Mengapa kita dipaksa menerima agama, adat-istiadat dan hukum modern sebagai doktrin bahwa yang benar itu, sedangkan opsi lain yang melawan itu atau hendak menguji itu adalah tindakan yang salah.

Agama, adat-istiadat, dan hukum-hukum modern adalah jeruji-jeruji yang mengurung kita dalam kubah globalisasi, modernisasi, dan era keterbukaan. Saya mempertanyakan atau menguji kebenaran akan semua itu adalah sebuah kenekatan, dengan pilihan dihukumi pemberontak, melakukan tindakan salah, dan wajib dikenakan sanksi sosial dengan cara dikucilkan atau yang lainnya. Seperti halnya seekor ikan yang mencoba melompat keluar kolam, dengan pilihan berharap menemukan parit dan hidup bebas tanpa jaminan pakan, atau mati karena ternyata di luar kolam adalah daratan, bisa juga masuk ke kolam lain yang isinya ikan predator. Hiiiii seremmmmm! Pantas saja banyak yang takut melakukannya, taruhannya sepertiga, satu, hidup tanpa jaminan kelayakan, dua mati kelaparan atau mati dimakan predator. Pilihan yang tidak enak sama sekali.

Belum lagi tentang hukum-hukum baru yang kita sepakati, eh mereka buat yang mengikat kita atau bahkan calon anak cucu kita. Bagi kamu mungkin tidak terlihat kita sedang terbelenggu, tapi bagi saya melihat dengan jelas jeruji-jeruji, batas-batas itu adalah nyata.

Yakinkah kamu bahwa kita sudah ada di era globalisasi, era keterbukan, era kebebasan? Atau saya yang menyakini kita berada di masa belenggu, terpenjara dan isolasi? Bagaimana jika kita uji saja? Apakah benar di sana ada dinding batas yang tak kasat mata, atau kita melihat dengan jelas dinding itu tapi tidak menganggapnya sebagai batas tapi justru sebagai kenikmatan dan perlindungan? Cukup beranikan kamu mengujinya untuk membuktikan kamu yang benar atau saya yang benar?

Ayo ikutlah aku meninjau dinding-dinding batas itu!

Sekarang ini kita sudah terbiasa tentang istilah ilmu dunia dan ilmu akhirat.

Lho memangnya salah? Ancene koyok ngono kan!

Baik, jangan buru-buru, kita kunyah pelan-pelan. “Digayemi ae, ben kroso”. Mari kita lihat efek dari pemisahan ini. Pemisahan ilmu ini sudah seperti air dan minyak yang disatukan dalam satu wadah. Kemudian ada dua jenis ikan yang bisa hidup dalam air saja, atau dalam minyak saja. Ketika berani menyeberang maka kematian datang. Itu hanya perumpamaan saja.

Semakin mendekat ke masa sekarang (saat ini), kita kemudian membuat lembaga-lembaga, institusi-institusi, badan-badan, atau organisasi-organisasi berdasarkan pemisahan tersebut, yaitu ilmu dunia dan ilmu akhirat. Untuk belajar tentang tentang dunia ini, untuk tahu tentang dunia ini, untuk menguasai sesuatu tentang dunia ini, kita diarahkan menuju lembaga tertentu, badan tertentu, institusi tertentu dan seterusnya. Untuk mengetahui tentang akhirat, menjadi ahli waris akhirat kita juga diarahkan ke lembaga tertentu, badan tertentu atau institusi tertentu. Seolah-olah ketika kita berada dalam institusi yang mengurus tentang dunia, tidak ada urusannya dengan akhirat. Ketika kita berada dalam institusi yang mengurus urusan akhirat, kita adalah ahli waris akhirat.

Ketika kita berada dalam lembaga tentang keduniaan, menjadi terlarang ketika untuk sekedar menyinggung tentang akhirat. Ketika kita dalam lembaga tentang keakhiratan, adalah kita yang paling benar, dan yang lain pasti salah dan tidak ada hubungannya dengan keduniaan. Lembaga-lembaga ini, institusi-institusi ini, badan-badan ini, organisasi-organisasi ini, atau bentuk-bentuk lain dari ini, memiliki bangunan-bangunan yang berdinding, mempunyai pagar-pagar wilayah, melengkapi diri mereka dengan penjaga. Bukankah itu adalah batas yang jelas? Dinding-dinding, pagar-pagar, dan penjaga-penjaga itu bisa kamu lihat dengan matamu.

Kembali lagi ke pemisahan dari ilmu dunia dan ilmu akhirat, kemudian terbitlah buku-buku, kitab-kitab yang membahas tentang dunia, materi penyusunnya, cara kerjanya, manipulasi materinya, penghuninya dan perlengkapan lainnya. Hal yang sama terjadi pada buku-buku, kitab-kitab yang membahas tentang akhirat (agama), ada banyak jenis dan ragamnya, dari caranya, alirannya, dan seterusnya. Dalam buku-buku tentang dunia, kita tidak akan pernah menemukan catatan yang mengkaitkan ini dengan akhirat. Tidak ada benang merah yang menghubungkan buku keduniaan dengan akhirat. Begitu pula dengan buku-buku tentang akhirat, dibuat dan didesain bahwa ini murni urusan akhirat berisi doktrin yang tidak bisa atau tidak perlu dibuktikan di dunia ini. Padahal buku-buku itu juga diperjual belikan untuk urusan dunia.

Seiring waktu berjalan, lembaga-lembaga ini, institusi-institusi ini, badan-badan ini, organisasi-organisasi ini, dan bentuk-bentuk lainnya baik untuk urusan keduniaan ataupun keakhiratan saling mengeluarkan sertifikat-sertifikat, ijazah-ijazah, gelar-gelar. Ketika sebuah lembaga atau institusi atau bentuk lainnya sudah bisa mengeluarkan ijazah ataupun sertifikat, maka sudah layak baginya untuk menentukan mahar atau biaya untuk mendapatkan sertifikat atau ijazah tersebut. Dan bagi orang-perorang yang sudah memegang sertifikat atau ijazah dari lembaga atau institusi tertentu, maka sudah layak dia disebut professional yang artinya sudah layak dia menerima upah atau menentukan upah atau menentukan harga dari produk yang bisa ia buat.

Dari sini sudahkah kamu melihat jeruji-jeruji batas dari sangkar yang mengurung kita di era globalisasi?

Jika memang benar, lembaga-lembaga ini, institusi-institusi ini, badan-badan ini, yand bisa mengeluarkan sertifikat atau ijazah, dan orang-perorang yang memegang hak atas ijazah ini adalah benar, atau yang mengusai ilmu, atau yang mengetahui ilmu tentang alat untuk menguji kebenaran. Maka jangan pernah berharap keadilan itu bisa terasa di muka bumi ini. Karena semua perangkat untuk menguji tentang kebenaran yang bisa menentukan suatu masalah itu adil hanya didapatkan bagi mereka yang bisa membayar mahar atau membayar upah sejumlah ketentuan mereka. Dan lebih parahnya lagi mereka membuat sistem dan alat untuk membayar itu.

Karena itu jangan heran jika hari ini keadilan itu tidak terasa atau terlihat. Karena keadilan itu hanya milik mereka yang mampu membayar mahar akan kebenaran. Karena kebenaran hari ini yang menjadi benda bukan lagi nilai. Hari ini kita melihat atau menyaksikan, orang yang mengetahui tentang bagaimana penyebab sebuah penyakit kemudian bagaimana cara menghindari sebelum penyakit itu datang atau cara mengambil tindakan setelah penyakit itu datang telah mengambil upah atas pengetahuannya itu atau menentukan harga dari produk dari pengetahuannya itu. Hari ini kita juga melihat atau menyaksikan, orang yang mengetahui tentang bagaimana sebuah bangunan dibangun, bahan apa yang digunakan, bagaimana cara membuat bahan bagunan itu, telah mengambil upah atas pengetahuannya itu dan menjual produk dari pengetahuannya itu. Hari ini kita juga melihat dan menyaksikan, orang yang banyak mengetahui tentang suatu urusan (ilmu), telah mengambil upah dari pengetahuannya itu dan menjual produk dari pengetahuannya itu. Karena ia (orang-orang yang berpengetahuan itu) juga telah membeli pengetahuan itu dari badan-badan, lembaga-lembaga dan instansi-instansi yang menjual pengetahuan itu. Harap maklum.

Pengetahuan tentang sebuah penyakit dan cara menghindari atau tindakan yang diambil ketika penyakit itu menyerang adalah sebuah kebenaran. Pengetahuan tentang bahan, alat, cara, dan gambar akan sebuah bangunan dibangun adalah sebuah kebenaran. Pengetahuan atas berbagai urusan itu adalah sebuah kebenaran. Maka hari ini kita melihat “Kebenaran adalah segala sesuatu yang bisa mendatangkan uang bagi mereka yang mengetahui sedikit atau banyak atas sesuatu. Kebenaran hanya untuk mereka yang mampu membayar untuk mendapatkannya.”. Karena sebab itu pula maka keadilan hanya bagi mereka yang mampu membelinya.

La ilaha illallah, Tiada Tuhan Selain Allah.” Ini adalah kalimat tauhid dan ini adalah sebuah kebenaran mutlak. Keluar dari mulut siapapun yang menyatakan kalimat tauhid tersebut dia tetaplah benar. Presiden, menteri, lurah, tukang, buruh, preman, perampok, psk dan siapaun yang menyatakan kalimat tauhid tersebut, maka pernyataan tersebut tetaplah benar, dan dengan pernyataan tersebut telah menghilangkan / meluluhkan / meniadakan arti dari subyek (orang) yang menyatakannya. Akan tetapi hari ini, kita melihat kalimat tauhid tersebut hanya bernilai benar jika yang menyatakannya adalah kelompok-kelompok tertentu, aliran-aliran tertentu. Kalimat tauhid hanya benar jika dari lembaga-lembaga tertentu, organisasi-organisasi tertentu, badan-badan tertentu, atau instansi-instansi tertentu.

 Hari ini kita telah melihat kebenaran telah dikurung dalam sangkar-sangkar dan diaku-aku kepemilikannya. Hari ini kebenaran telah diklaim-klaim bahwa hanya dia adalah pemiliknya. Kenapa bisa seperti itu? Itu muncul karena rasa memiliki. Hanya karena tangan dan kaki bisa kita gerakkan sesuai keinginan kita, kemudian kita merasa bahwa badan ini adalah milik kita. Tidak cukup dengan badan ini, kemudian kita mengaku-aku sesuatu yang lain yang terpisah dari badan kita adalah milik kita. Pakaian adalah pakaian kita, gawai adalah gawai kita, kendaraan adalah kendaraan kita, rumah adalah rumah kita, negeri adalah negeri kita.

“Sial betul nasib Kebenaran hari ini, sudah seperti burung saja, dimaksukkan ke dalam sangkar-sangkar. Diaku-aku kepemilikannya, dipajang-pajang untuk diperjual-belikan.”

Benarkah kita adalah pemilik sesungguhnya dari badan kita? Bukankah di tangan dan kaki kita ada kuku-kuku yang tumbuh tanpa menunggu perintah kita. Bukankah di kepala kita ada rambut yang tumbuhnya tidak perlu kita tarik, dan ketika rambut itu tanggal kita tidak bisa menahannya. Kita bisa menjadwalkan makan dan minum kita, tapi kita tidak kuasa menjadwal kapan kita kencing dan beol kita. Kita tidak pernah memerintahkan jantung kita kapan berdetak kapan berhenti. Tidakkah kita berfikir bahwa itu adalah tanda bahwa yang sesuatu yang mengusai badan kita ini, yang selalu bersama kita dimanapun kita berada, yang mengetahui segala sesuatu tentang diri kita. Kenapa kita tidak mencari tahu siapa sesungguhnya sesuatu itu yang mengusai badan kita ini? Mengapa kita justru mengaku-aku badan ini adalah milik kita, akal ini akal kita, pengetahuan ini adalah pengetahuan kita. Sehingga kita harus membuat kesepakatan pelindungan Hak Kekayaan Intelektual, bahwa siapun yang menginginkan pengetahuan kita harus membeli atau membayar ke kita. Sebegitu buruknya kita, betapa kejinya kita hari ini.

Atas dasar HAKI, hari ini siapapun yang menikmati karya suara, sastra, lukis, rasa, maka ia harus membayar. Sehingga hari ini kita rebut akan bayar membayar. Atas dasar HAKI, hari ini siapapun yang ingin sembuh dari penyakit, menghindari penyakit maka ia harus membayar. Jika tidak mampu membayar, maka tunggulah kematian datang pelan-pelan. Atas dasar HAKI, hari ni siapapun yang ingin mengetahui tentang sesuatu maka ia harus membayar atau harus membeli produk dari pengetahuan itu.

Mengapa kita menjadi dholim hari ini. Kita mengaku-aku kepemilikan badan kita, sampai mengaku-aku kebenaran adalah milik kita. Hari ini benar hanya akan bernilai benar jika itu bisa mendatangkan uang untuk kita. Mengapa kita tidak merespon tanda yang dikirim oleh penguasa sesungguhnya akan badan kita? Kenapa kita tidak mau mencari tahu siapa penguasa itu? Padahal tanda-tanda itu begitu nyata, penguasa itu ada dimanapun kita berada. Penguasa itu ada walaupun tidak ada satupun dari indra kita yang mendeteksi keberadaanya (ghaib), tapi tanda yang dikirimkannya bukankah sudah sangat jelas?

Apakah hanya karena pengetahuan yang kita kuasai ini masuk dalam kategori ilmu dunia, maka kita sah-sah saja melakukan jual beli atas pengetahuan itu? Apakah karena sang penguasa sejati itu tidak mampu kita indra (kita tanggkap dengan indra) kemudian kita mengikari keberadaannya? Bukankan tanda yang dikirim di tangan dan kaki kita sudah sangat jelas? Berhentilah sejenak dalam memburu dunia, dan cobalah cari tahu siapa penguasa itu.

Hari ini kita juga melihat pengaku-akuan akan kalimat tauhid. Kalimat tauhid hanya benar jika melalui aliran-aliran tertentu, kelompok-kelompok tertentu, otoritas-otoritas tertentu. Hari ini pengetahuan tentang agama juga sudah harus dibeli dari lembaga-lembaga, institusi-institusi, badan-badan, dengan begitu pengetahuan yang didapat menjadi sah dan legal, bergelar dan berhak mendapat upah darinya. Akibatnya juga muncul klaim-klaim kepemilikan akan kebenaran. Hari ini kita mengklaim bahwa kitalah pemilik kalimat tauhid tersebut. Padahal kita tahu pernyataan tegas “MilikNyalah apa yang ada di langit dan di bumi.. Mengapa hari ini kita berani-beraninya mengklaim kebenaran adalah milik kita? Mengapa hari ini kita berani-beraninya mengambil upah dari manusia lain atas pengetahuan tentang penguasa langit dan bumi? Apakah pengetahuan kita ini hanya sekedar hafalan tanpa keyakinan? Apakah kita tidak meyakini tentang kepenguasaanNya? Apakah kita tidak memperhatikan tanda yang ada pada tangan dan kaki kita juga badan kita? Padahal jika kita sampaikan pengetahuan ini (tentang penguasa langit dan bumi) kepada manusia, masih mungkin itu diingkari.

Sekarang sudah jelaslah dan terbukti bahwa Muhammad bin Abdullah bin Abdul Munthalib adalah benar-benar seorang nabi dan seorang rasul (utusan). Shalawat serta salam selalu terlimpahkan untuk Beliau dan keluarganya. Rasulullah menerangkan bahwa penguasa sesungguhnya yang memberi tanda pada tangan dan kaki kita serta tubuh kita adalah Tuhan yang memiliki langit dan bumi yaitu Allah subhanahu wa ta’ala, Allah Yang Maha Suci Lagi Maha Maha Tinggi. Bahwa Tuhan yang sebenarnya itu tidak ada sesuatu apapun yang serupa denganNya, maka penggambaran akan tuhan yang berwujud manusia, hewan, mitologi bahkan api adalah salah. Karena dengan mengambarkan tuhan berwujud manusia, hewan dan lain sebagainya itu berarti sebuah keingkaran atau penolakan bahwa tuhan yang menumbuhkan kuku, yang ada dimana saja kita berada pada kenyataanya tidak mampu kita tangkap dengan indra. Bahwa kemampuan indra kita terbatas, jika kita pergi menuju cakrawala, kemudian setelah sampai di sana kemudian kita balik badan memandang ke tempat asal kita, maka asal kita tadi menjadi cakrawala. Sangat keji jika kita menyatakan bahwa asal kita tadi tidak ada sesuatu apapun, padahal kita baru saja dari sana. Sebuah kedholiman dalam membuat simpulan karena batas indra penglihatan. Maka Allah subhanahu wa ta’ala itu ghaib (diluar batas indra kita) adalah mutlak benar.

Kenyataan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menarik upah atas semua pengetahuan dan pengajarannya, tidak pula menentukan kriteria siapa yang boleh menerima pengetahuan dan pengajarannya adalah bukti lain bahwa apa yang Beliau bawa adalah sebuah kebenaran. Beliau mempersilahkan siapa saja yang mendengar / mendapat pengetahuan dari Beliau untuk mengujinya dan tidak pernah ragu akan hasil uji tersebut. Karena yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ajarkan adalah sebuah kebenaran, maka hasil uji dari kebenaran tersebut tetaplah benar walaupun sang penguji itu mengikari hasilnya. Dengan tanpa meminta upah dan tanpa seleksi kriteria yang berhak menerima pengajaran dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah bukti juga bahwa Beliau sangat mengenal siapa pemilik langit dan bumi, penguasa sesungguhnya umat manusia.

Sudah sampai sini, silahkan kamu memikirkan jeruji-jeruji yang membatasi kita. Terserah kamu menganggapnya itu adalah batas atau bukan, kamu mau melompat bebas atau menetap di situ menerima pakan layaknya ikan dalam kolam.

Tibalah saatnya aku menyatakan dengan penuh keyakinan

“Ashadualla ilahailallah wa ashadu anna Muhammad rasulullah, Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah dan Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.”

“Ya Allah, aku mengakui Engkau adalah Tuhanku, tidak ada Tuhan selain Engkau dan aku hanyalah mahlukMu. Aku adalah pengabdiMu, dan aku setia pada janjiku kepadMu semampuku. Aku berlindung kepadaMu dari keburukanku, karena Engkaulah sebenar-benarnya penguasaku. Aku akui semua nikmatmu kepadaku dan aku akui semua kelupaanku dan kesalahanku, dosa-dosaku. Maka ampunilah aku, karena tidak ada yang bisa mengampuni dosa-dosaku kecuali Engkau. Sampaikanlah shalawat serta salam ke Nabi Muhammad beserta keluarganya.”

Aku yang diberi nama Raden Kuswanto.

The Missing Link is Zero : Empty

  This article was written in Indonesian and a little Javanese. I wrote this article using a lot of synonyms, with the intention of describi...