Kamis, 19 Oktober 2023

Geliat Negeriku Indonesia Memilih Pemimpin

 Geliat Negeriku Indonesia Memilih Pemimpin


Adakah pengecualian dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, atau adakah pengecualian di setiap perundang-undangan yang berlaku di negeri kita tercinta Indonesia? Mengapa saya bertanya seperti itu? Jika saja Dasar Negera Indonesia bukanlah Pancasila yang sila pertama berbunyi Ketuhanan yang Maha Esa, tentu saya tidak akan pernah bertanya seperti itu. Sila pertama itu adalah jaminan bagi siapapun yang hidup di negeri ini aman dan terjamin hak-hak. Sila pertama juga sebuah pengakuan bahwa seluruh warga negara Indonesia adalah mahluk ciptaan Tuhan. Sila pertama juga pengakuan bahwa kesempurnaan hanyalah milikNya yaitu Tuhan Yang Maha Esa. 


Oleh karena kita hanyalah manusia, seberapa hebatpun kita, sebanyak apapun orang hebat dikumpulkan untuk membuat undang-undang, maka hasil undang-undang tersebut bukan produk sempurna. Maka pada setiap aturan atau undang-undang perlu adanya batas-batas / perlu adanya pengecualian sebagai tanda tunduk dan tawaduk dan berprilaku sesuai sila pertama Pancasila.


Mundur kebelakang atau mengingat sejarah dimufakati dan disepakatinya Pancasila sebagai dasar negara. Leluhur kita dahulu sepakat bahwa kita bersatu membentuk sebuah negara baru. Visi bersama dalam negara baru tersebut adalah mewujudkan negara yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Kesatuan visi tersebut memiliki asas-asas yang kemudian kita jadikan dasar negara yaitu Pancasila. Kemudian untuk bisa mewujudkan visi bersama dalam berbangsa dan bernegara tersebut dibuatlah sebuah aturan-aturan yang kemudian kita sebut dengan undang-undang. Dan salah satu ayat di undang-undang itu adalah perlunya memilih seorang pemimpin yang memandu untuk mewujudkan visi bersama berbangsa dan bernegara. Dan ayat itu kemudian dirinci, atau diturunkan sampai keluar lah Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Yang didalamnya ada kriteria syarat sesorang itu berhak dipilih sebagai pemimpin. Yang kurang diundang-undang tersebut, atau seluruh undang-undang yang ada adalah butuh adanya pengecualian  atau batasan-batasan supaya kita tidak melampui batas atau merengut hak sempurna yang hanya dimiliki oleh Tuhan Yang Maha Esa. Batasan itu atau pengecualian itu meliputi batasan waktu dan batasan yang dikenai isi dari undang-undang, atau hasil dari undang-udang tersebut.


Sebelum saya utarakan batasan yang saya maksudkan, berikut adalah analogi antara visi, aturan atau undang-undang dan hasil produk undang-undang. Visi berbangsa dan bernegara itu seperti softfile di komputer, untuk bisa mencetak softfile tersebut dibuatlah sebuah perangkat mesin dengan sejumlah protokol yang kita sebut printer, printer adalah undang-undang, hasil dari printer atau hasil dari cetakan itu adalah produk undang-undang. Jika hasil dari cetakan printer tersebut tidak bersesuaian dengan softfile di komputer, maka kita perbaiki printernya. Jika perbaikan itu juga tidak menunjukan hasil yang bersesuaian, sampai kapan kita akan menggunakan printer tersebut. Sampai kapan inilah yang saya maksud sebagai pengecualian.


Softfile adalah visi bersama berbangsa dan bernegara, printer adalah undang-undang, perbaikan printer adalah amandemen, hasil cetakan adalah produk dari undang-undang. Kembali kita menelaah Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentan Pemilihan Umum. Apakah sudah saatnya kita mengaktifkan pengecualian, atau kita hanya perlu perbaikan atau amandemen. Mari kita berhitung, Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 adalah perbaikan dari undang sebelum yaitu Undang-undang Nomor 42 tahun 2008, Undang-undang Nomor 15 Tahun 2011, Undang-undang 8 Tahun 2012. Artinya si printer sudah pernah diperbaiki. Haruskan kita mencetak lagi dari printer hasil perbaikan, atau disaat yang sama kita mencari alternatif lain untuk mencetak, misalnya menggambar manual atau menulis manual softfilenya (visi bersama berbangsa dan bernegara yaitu merdeka, berdaulat, adil, dan makmur). Untuk mengambil keputusan tersebut kita perlu telaah atau koreksi terhadap hasil yang pernah dicetak. Hasil yang baik dari telaah perlu adanya kejujuran, kerendahan hati kita semua, tuluskan niat kita untuk masih tetap bersama satu visi dalam berbangsa dan bernegara, atau kita masih saja mementingkan ego pribadi atau kelompok. Maka mari semua saja berfikir, dan berintrospeksi diri dan jujurlah dalam bertindak, dan tunduk tulus dengan segala kerendahan hati.


Kita mulai berhitung, mungkin saja perhitungan saya, atau pertimbangan saya salah, tapi tolong fikirkan dan renungkan. Kita tahu saat ini kita masih di era reformasi yang dimulai tahun 1998, era reformasi hadir dengan mendobrak era orde baru yang diterjang krisis ekonomi, serta maraknya korupsi, kolusi dan nepotisme. Kemudian lahirlah era reformasi ini, dan era reformasi ini telah berjalan 25 tahun lamanya. Era reformasi hadir juga karena era orde baru nilai gagal memuwujudkan visi bersama berbangsa dan bernegara. Jika kita lihat umur era reformasi yang telah 25 tahun, maka era ini telah lebih lama dari era orde lama dan kurang dari era orde baru. Artinya era reformasi sebetulnya telah diberi waktu yang cukup untuk membuktikan diri. Jika kita lihat hasil dari era reformasi yang ketika lahir menuntut bersihkan korupsi, kolusi, dan nepotisme, apakah hari ini kita telah berhasil membuktikan diri, bahkan banyak dari para aktivis 98 telah diberi kesempatan untuk membuktikannya. Hasilnya? Jujurlah dalam menilai, renungkanlah dengan segala kerendahan hati, hasil harus kita aku masih belum mampu mewujudkan negeri yang makmur. Mungkin sekaranglah saatnya kita menyemai era baru, kita ijinkan era baru bersemi dengan mengaktifkan pengecualian. Sehingga era baru datang dengan segenap doa dan restu kita semua, hingga tidak ada lagi laknat atau sumpah serapah yang menyertainya karena mendobrak, atau merobohkan era yang ada saat ini.


Mungkin sudah saatnya kita mengaktifkan pengecualian untuk memilih pemimpin negeri ini (presiden dan wakil presiden) disaat yang bersamaan kita mencoba sekali mencetaknya dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tersebut. Karena hitungan batas waktu telah terpenuhi, dan telaah akan hasil juga belum bisa mewujudkan visi bersama berbangsa dan bernegara. Mungkin kita butuh alternatif atau pengecualian diaktifkan, karena telah terpenuhi batas-batas waktu, isi, dan hasil dari undang-undang yang bisa kita telah. Mungkin sudah saatnya kita tunduk, tawaduk, berserah diri karena nyatanya kita telah mengerakan seluruh sumber daya, akal dan pikiran untuk memujudkan visi bersama berbangsa dan bernegara tapi belum sesuai harapan. Karena jangan-jangan makmur itu adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, dan kita semua telah lancang, sombong dan angkuh dalam berlaku, karena tidak menambahkan pengecualian dalam membuat undang-undang. Hal itu sama artinya kita mengambil alih kesempurnaan yang hanya milik Tuhan Yang Maha Esa. Karena kita secara tidak sadar berprilaku seperti sombong dan angkuh disebabkan telah mengumpulkan orang terbaik dinegeri ini dan jumawa atas hal tersebut. Marilah siapapun kamu di negeri Indonesia ini, bertobatlah dan berserah dirilah.


Lalu pemimpin kriteria pemimpin yang seperti apakah yang harus kita pilih untuk ditimbang-timbang dengan calon yang memenuhi syarat pada undang-undang No 7 Tahun 2017. Jika makmur itu adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, maka kriteria pemimpin itu syarat hanya satu, yaitu dia hamba Allah dan dia adalahborang yang paling dekat dengan Allah dibuktikan dengan baiknya pemahaman akan Tuhan Yang Maha Esa. Mungkin orang itu adalah wali Allah selevel nabi Musa. Karena kita tahu berita bagaimana Musa dianugerahi membelah lautan ketika sudah terkepung musuh, Nabi Musa juga dianugerahi membelah batu untuk mengeluarkan air minum darinya. Dan semua itu mustahil dicapai oleh akal kita atau akan seluruh warga negeri ini atau umat Nabi Musa. Ya, mungkin kita hanya perlu bertaubat dan berserah diri bersama, karena nyatanya kita telah mengerahkan segala daya, dam upaya, tapi negeri yang makmur itu masih belum juga terwujud. Lalu dimanakah dia saat ini wali Allah yang selevel nabi itu ada?


Sadar dan bertobat wahai penduduk negeriku, sudah seharusnya kita bersatu, bersama mewujudkan visi bersama berbangsa dan bernegara. Bukan malah bercerai berai saling ejek saling olok antar pendukung capres-cawapres. Bukan itu ajaran dari Tuhan Yang Maha Esa, bukan itu yang diajarkan oleh Nabi dan Rasul kita. Bertobatlah kepada Allah, bertobatlah kepada Allah, bertobatlah kepada Allah wahai penduduk negeriku.


Jakarta, 19 Oktober 2023


Raden Kuswanto


Orang yang datang dan menyaksikan langsung pendaftaran capres-cawapres hari ini di Kantor Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia.




Senin, 16 Oktober 2023

Filosofi Telur


Sebuah Peristiwa di kadang ayam.

 

Di sebuah kadang hiduplah seekor anak ayam betina. Tumbuhlah ayam itu hingga dewasa dan siap bertelur. Kemudian pemilik ayam membuatkan sarang untuknya, dan tentu saja ada saja ayam jago yang datang menemani si ayam betina setiap harinya. Hingga suatu peristiwa itu terjadi, si jago membuahi ayam betina. Si ayam betina merasa mulas-mulas tanda ada telur yang siap keluar, kemudian ia siap-siap bertelur di  sarang yang sudah disiapkan. Cukup lama si ayam betina di sarang, kemudian terdengar bunyi ‘petok-petok’ cukup keras dari si ayam betina. “Entah ia bahagia, kemudian ia bersyukur dan ingin memberi tahukan ke pemiliknya, atau ia kaget ada telur keluar dari kloakanya.”

Mungkin karena risih dan berisik, Pemilik ayam tersebut komentar dengan cukup keras. “Heh!! Lek wes metu, yo uwes, meneng! Ojo rame ae!” Hahaha, ada-ada saja pemilik ayam itu. Tapi tetap saja si ayam petok-petok sampai berhenti dengan sendirinya. Mungkin sudah puas atau sudah cukup hitungannya.

Hari berganti, waktupun berlalu, dimana setiap hari ayam betina itu terus bertelur, juga ‘petok-petok’ setiap selesai bertelur. Pemilik ayam juga sudah tidak lagi berkomentar. Mungkin sudah terbiasa mendengar ayamnya petok-petok setiap hari. Setelah semua telur yang dikandung si ayam betina telah dikeluarkan dan ia memutuskan untuk mengerami telur-telurnya itu. Si ayam betina mengerami telurnya dengan berdiam diri di sarangnya, tidak mengeluarkan suara, tidak makan, dan hanya diam saja. Hal itu dilakukan setiap hari, dan Si ayam hanya sehari sekali turun sebentar untuk makan sekedarnya saja, hanya cukup untuk menyambung hidupnya saja. Kemudian ia melanjutkan lagi aktivitasnya mengerami telur-telurnya.

Itulah peristiwa yang terjadi di sebuah kandang ayam. Hanya itu dan tidak ada yang istimewa di peristiwa tersebut. Hanya ayam yang bertelur kemudian mengerami telur-telurnya. Sudah, ya itu saja. Bagaimana jika kita mencoba  membuka cakrawala wawasan yang lebih luas? Kita coba melihat pesan yang ada dibalik induk ayam dan telurnya. Ayo kamu ikuti aku dalam petualangan wawasan.

Kita mulai petualangan kita mulai dari telur. Telur bentuknya bulat, dan statusnya mati. Telur adalah benda mati karena telur tidak bisa bergerak, bernapas, tidak tumbuh, dan sebagainya. Tidak ada tanda-tanda mahluk hidup pada telur. Maka ketika si ayam betina bersuara petok-petok setelah bertelur, telurnya tetap diam saja. Itulah telur, fisiknya tertutup cangkang, sifatnya mati, maka tidak akan merespon apapun rangsang dari luar. Ia (telur) hanya akan bereaksi sendiri ketika induk ayam mulai mengeraminya.

Mari kita lihat diri kita, adakah fase telur ada dalam diri kita? Maksudnya adalah keadaan dimana diri kita tidak menerima seruan, menolak saran, mengabaikan masukan, marah pada kritik. Kita memang status adalah mahluk hidup, mahluk maksudnya ciptaan. Ciptaan karena kita hanya mendapati / menemukan diri kita tiba-tiba ada di dunia ini. Kita tidak pernah merencanakan siapa bapak kita, kita tidak pernah bisa memilih terlahir dari ibu yang mana. Kita semua hanya menemukan diri kita tiba-tiba sudah ada di dunia, kemudian sering berjalannya waktu kita belajar mencoba mengendalikan badan ini dengan semua anggota badannya. Seiring mahirnya kita mengendalikan badan ini, kita mulai mengaku-aku tangan ini tangan kita, kaki ini kaki kita, mata ini mata kita, mulut ini mulut kita. Semakin kita tumbuh, semakin banyak yang kita akui milik kita, pakaian ini pakaian kita, rumah ini rumah kita, tanah ini tanah kita, negeri ini negeri kita. Semakin jauh kita melangkah semakin banyak yang kita aku-aku sebagai milik kita.

Ingatlah kawan, kita yang menemukan diri kita tiba-tiba hidup tanpa pernah merencanakannya, maka ada Sang Pengedali sesungguhnya terhadap diri kita dan jagat raya ini. Ingatlah kawan status kita hanyalah mahluk hidup, mahluk yang artinya ciptaan maka butuh adanya Sang Pencipta untuk bisa ada. Ya, Pencipta benar adanya, semua hal disekitar kita ini nyata adanya begitu pula dengan Sang Pencipta itu benar-benar Wujud nyata adanya. Kita yang menemukan diri kita tiba-tiba sudah hidup, maka fase yang kita lalui sebelum ini adalah mati. Siapakah yang mampu memberikan kehidupan kepada kita? Dialah Sang Pencipta, Sang Maha Hidup, dariNya semua kehidupan di dunia ini berasal. Maka semua kehidupan yang kita jalani ini pasti akan kembali kepada Sang Pemberi Kehidupan, Dialah Sang Pencipta, Dialah Tuhan. Masihkah kita ingkar akan adanya Tuhan?

Kawan, sebagai manusia kita tentu berbeda dengan ayam. Perbedaannya adalah kita diberi akal oleh sang pencipta, sedangkan ayam tidak, yang artinya ayam menjalankan hidupnya otomatis tanpa diberikan kesadaran, tanpa berfikir, tanpa akal dan mengakali. Manusia berbeda, dia dibekali kesadaran, diberikan akal, dan bebas menentukan pilihan, bebas menolak, bebas menerima. Dalam arti lain manusia melewati dua kali fase tertutup / tercangkang / kafir / cover, dan dua kali fase hidup / terbuka / terlahir selama di dunia ini. Karena sebab akal itu tadi, maka ada dua fase tersebut.

Fase tertutup / mati pertama

Fase tertutup pertama manusia atau fase mati, fase tercangkang, fase kafir, fase cover adalah ketika manusia belum menjadi sesuatu, masih dalam bentuk zygot atau sel telur atau masih sekedar sari-pati makanan. Dimana di fase ini manusia masih bagian benda mati, zat mati yang artinya ia tidak menerima rangsang, tidak mendengar seruan, bergeraknya karena digerakan oleh rangsangan dari luar. Fase ini terus berkembang sampai memasuki fase hidup, tetapi tetap terkurung / tertutup dalam Rahim ibunya. Tentu saja fase ini tidak pernah terasa bagi kita, karena pada fase itu kita statusnya masih mati, dan kita tidak mengingat sesuatu apapun dalam fase ini. Walaupun ada penelitian kita bisa menerima rangsang ketika distimulus oleh ibu saat dalam kandungan pada usia kandungan tertentu. Tetap saja hasil penelitian itu bukanlah kebenaran mutlak, tapi juga tidak sepenuhnya salah. Masih diantara bisa iya benar, bisa juga tidak. Kemudian ketika kita terlahir maka kita telah memaksuki fase hidup pertama.

Fase hidup pertama

Fase hidup pertama adalah ketika terlahir sebagai anak dari ibu dan bapak kita. Ya kita telah terlahir dan hidup, kita sudah bisa menerima rangsangan dari luar, kita sudah merespon rangsangan itu, kita mulai menjawab seruan / panggilan dari ibu dan bapak kita. Ketika kamu membaca artikel ini bisa dipastikan kamu sudah ada pada fase hidup pertama ini. Dalam fase ini kita melakukan semua ciri-ciri aktivitas hidup. kita bernapas, kita makan, kita minum, kita bergerak, kita tumbuh dan berkembang. Semakin tumbuh besar badan kita, kita juga mulai tertarik dengan lawan jenis yang artinya ada naluri untuk mempertahankan kelangsungan hidup dengan menurunkan keturunan baru. Tetapi pada saat yang bersamaan kita juga telah memasuk fase tertutup / terkurung / mati / kafir / cover kedua.

Fase tertutup / mati kedua

Setelah Fase hidup yang pertama, kita juga telah memasuki fase tertutup / mati yang kedua dikarenakan akal kita. Memang kita telah hidup, tapi pada kenyataanya hidup kita masih terkurung / tertutup / tercangkang dalam kolong langit. Kita juga masih terkurung dalam jagat raya yang artinya dalam fase hidup pertama ini kita juga terkurung / tertutup / kafir / cover yang berlapis-lapis. Belum lagi kita juga terkurung dalam jasad / badan kita. Badan kita dibekali oleh indra yang kemampuannya terbatas. Jauhnya jangkakuan mata kita melihat terbatas, begitu juga dekatnya juga terbatas. Besarnya ukuran benda yang kita lihat juga bisa menjadi pembatas mata melihat, terlalu kecilnya ukuran sebuah benda juga tidak bisa kita lihat. Sekalipun kita meretas batas-batas kemampuan indra kita, tetapnya itu masih juga dalam batas-batas tertentu saja.

Secara akal kita juga masih tertutup / mati, ketika kita yang mempercayai bahwa yang ada hanyalah segala sesuatu yang bisa kita terima rangsangnya melalui semua indra kita. Kita tidak bisa percaya jika sesuatu itu tidak kita saksikan sendiri melalui indra kita. Secara pemikiran kita juga masih tertutup / mati / kafir, jika hanya menganggap pemikiran / pendapat kitalah yang benar, sedangkan pendapat orang lain salah, atau kita menganggap jika sesuatu itu tidak bisa diturunkan ciri-cirinya secara ilmiah maka itu salah dan tidak patut untuk dipercayai. Kita juga masih kafir / tertutup / mati ketika belum bisa menerima pendapat orang lain, kita belum bisa menerima sudut pandang orang, kita belum bisa membebaskan akal kita dari cara berfikir dalam batasan indra. Maka untuk hidup lagi dalam fase yang kedua kita harus mulai membuka akal, mencoba melihat sesuatu lebih dari satu sisi, mengukur dengan berbagai alat ukur, dan menerima pemikiran orang lain. Kita harus membebaskan akal dari penjara / batasan indra, kita harus membebaskan akal untuk berfikir jauh melebihi batasan jangkauan tangan dan kaki kita. Maka pada saat itu kita ada dalam detik-detik memasuki fase hidup yang kedua. Pada fase mati kedua ini adalah mati secara akal atau metafisika, jasad kita hidup selayaknya mahluk hidup tapi secara akal / pemikiran kita masih mati belum terbuka. Fase mati kedua ini adalah mati dalam jasad yang hidup. Kita hidup secara fisik, hidup di derajat satu, tapi kita masih tertutup / mati secara akal, mati di derajat dua.

Fase hidup yang kedua

Fase hidup yang kedua ini juga kita jalani bersamaan dengan fase hidup yang pertama, artinya ketika kita menjalani fase hidup yang pertama, kita hidup secara jasad, secara raga, tapi disaat yang sama kita juga memulai fase mati pertama secara akal, jika kita berkembang secara akal maka kita juga akan memasuki fase hidup yang kedua. Fase hidup yang kedua bermula ketika kita sudah mulai terbuka secara akal. Terbuka terhadap cara pandang, kita sudah mulai memandang segala sesuatu minimal dari dua sisi. Kita mulai menerima masukan, pandangan dari orang lain. Kita akan benar-benar terlahir hidup secara akal ketika kita menerima adanya keberadaan Tuhan. Ketika kita sadar yang awalnya kita mati kemudian tahu-tahu kita sudah hidup sebagai manusia, saat pertanyaan siapakah pemberi kehidupan sesungguhnya? Ya itulah Tuhan. Ketika kita bisa menerima bahwa ada sesuatu yang memulai segalanya yaitu Tuhan, maka pada saat itu kita terlahir untuk yang kedua kalinya. Pada saat itu kita telah hidup secara metafisika yang artinya kita hidup di derajat dua kehidupan. Status kita hidup (secara akal, secara metafisika) pada jasad yang hidup (fisik).

Pada saat kita telah terlahir pada fase kedua ini, kita hanya menyakini adanya Zat / Sesuatu yang memulai semuanya, yang mengendalikan semuanya, yang mengerakkan semuanya yaitu Tuhan. Pada saat yang sama kita dihadapkan dengan banyaknya pilihan akan bertuhan. Lalu Tuhan yang mana yang sebenar-benarnya Tuhan? Untuk mengetahui Tuhan yang sebenar-benarnya Tuhan, tentu saja kita harus mengujinya. Mengujinya dalam artian menetapkan standar nilai, bahwa sesuatu itu memang benar layak dan memenuhi syarat disebut sebagai Tuhan. Tentu saja syarat pertama Tuhan itu wajib ada “Wujud”, karena ini juga menjadi syarat untuk kita terlahir di fase hidup kedua ini. Kemudian untuk menentukan Tuhan yang benar kita harus melakukan beberapa uji dengan akal kita, karena kenyataannya ternyata setelah kita terlahir, kita juga mendapati begitu banyak pilihan bertuhan, dan juga mendapati berbagai umat pemeluk agama, dimana semua pemeluk agama itu juga bertuhan. Baik mari kita ikuti beberapa uji berikut, untuk mendapatkan  standar nilai bahwa sesuatu bisa dikatakan Tuhan, atau Tuhan itu harusnya memenuhi standar nilai tersebut.

Uji pertama

Uji pertama kita lakukan dengan bekal perangkat yang menyertai, melekat pada diri kita yaitu panca indra. Kelima indra kita, telinga, mata, hidung, mulut / lidah, dan kulit, dari semua indra yang menyertai kita, kelima-limanya bekerja secara terbatas. Di Luar batas indra itu, kita tahu di sana ada sesuatu yang sama dengan yang bisa kita lihat saat ini. Untuk melihat sesuatu yang ada di luar batas indra, kita butuh meretas batas itu. Cara paling mudah meretas batas indra adalah dengan berjalan mendekati sampai batas di mana indra kita (mata) bisa melihat. Setelah kita mendekat sampai batas jangkauan indra (cakrawala), ternyata di sana ada sesuatu yang sama dengan yang ada di awal kita melihat tadi, sedangkan awal kita mulai tadi sekarang juga telah menjadi cakrawala. Cara kedua meretas batas indra adalah dengan mengunakan alat, untuk meretas jangkauan jauhnya batas indra kita bisa menggunakan teropong, untuk meretas batas kecilnya benda yang kita lihat kita menggunakan mikroskop. Tetapi tetap saja, dengan meretas batas indra, yang kita temui dari hasil meretas itu tetaplah mahluk (ciptaan), sedangkan Tuhan itu kita sadari ada diluar batas-batas indra, maka standar nilai yang bisa kita pakai adalah Tuhan itu tak terbayangkan atau tak tercitra.

Tuhan itu ada, tentu saja kita harus membebaskan akal kita dari batasan kemampuan indra. Karena selama akal masih saja dipaksa bekerja dalam batasan indra, maka semua yang kita temui tetaplah mahluk (ciptaan), sedangkan Tuhan sang Pencipta itu di luar batas itu, tak terjangkau oleh indra. Maka Tuhan itu haruslah tidak terbayangkan, tak tercitra, ini adalah standar nilai pertama yang bisa turunkan dari uji pertama ini.

Tuhan itu tak terbayangkan, tak tercitra, tak tampak oleh mata, tak terjangkau oleh kelima indra. Tuhan itu mutlak Ghaib.

Uji kedua

Uji kedua menetapkan standar nilai untuk menyatakan bahwa sesuatu itu bisa kita sebut sebagai Tuhan, kita sudah tidak lagi menggunakan panca indra, tetapi dengan membebaskan akal kita untuk berfikir dan berlogika untuk menetapkan standar nilai dari hasil uji pertama (uji indra). Karena sesuatu yang kita sebut Tuhan itu ada di luar batas indra, maka tuhan itu harusnya tak terbatas, tak hingga, tak terkira. Logikanya adalah ketika kita meretas batas indra, yang kita temui dari retasan batasan itu tetaplah mahluk, maka seberapapun kita mencoba meretas batas indra, Tuhan itu di luar batas itu. Maka Tuhan itu haruslah tak terbatas, tak hingga, tak terkira, ini adalah standar nilai kedua untuk menyatakan sesuatu itu layak disebut Tuhan.

Tuhan itu tak terbatas, tak hingga, tak terkira. Tuhan itu Maha Besar.

Uji Ketiga

Semua hal yang kita temukan dengan panca indra tanpa meretas batasnya ataupun dengan meretas batasannya itu semua adalah mahluk. Semua mahluk yang ada memiliki batasan ukurannya sendiri-sediri. Mahluk-mahluk itu berkumpul dan berkelompok dalam ruang atauapun membentuk ruang. Mahluk terbesar yang kita temukan dengan panca indra adalah ruang. Selain itu, mahluk-mahluk itu juga terikat / terpenjara dalam batasan waktu. Maka ruang dan waktu itu adalah mahluk terbesar yang saling berpasangan yang dapat kita sadari dengan logika akal kita. Tuhan itu haruslah tak terpenjara dalam ruang dan tak terikat oleh waktu, Tuhan itu harusnya bebas, sebebas-bebasnya. Ini adalah standar nilai yang ketiga untuk menyatakan sesuatu itu layak disebut Tuhan.

Tuhan itu tak terpenjara dalam ruang dan tak terikat oleh waktu.

Uji Keempat

Semua hal yang bisa kita amati dengan panca indra bersifat fisik, atau dampak dari prilaku fisika. Maka panca indra kita bekerja secara fisika, kita juga terjebak dalam tubuh yang bersifat fisik. Maka Tuhan itu harus ada sebelum fisik / fisika ada. Tuhan itu haruslah prafisik, Tuhan itu haruslah metafisika. Ketika ruang tempat tinggal kita bersifat fisik (jasad), dan status benda fisika itu mati. Sedangkan kita tahu bahwa saat ini kita hidup. Maka Tuhan itu juga harus Maha Hidup, Maha Awal, dan Maha Akhir. Karena semua kehidupan ini nyata adanya, dan Hidup hanya bisa berawal dari yang hidup.

Tuhan itu harusnya Prafisika / Metafisika (Ghaib), Tuhan Itu Maha Awal, Tuhan itu Maha Hidup (tidak pernah mati). Tuhan itu menghidupkan mahluk, Tuhan itu mematikan mahluk, Tuhan itu Maha Akhir.

Uji Kelima

Jagat raya / semesta adalah ruang terbesar yang masih bisa kita amati dengan indra kita. Jagat raya adalah mahluk terbesar yang bisa kita amati dengan indra kita, ada sejumlah aturan yang menjadikan dari prafisik menjadi fisik, ada sejumlah aturan yang membuat dari fisik (mati) menjadi hidup (hayat). Dan hal seperti itu yang bisa dilakukan oleh Tuhan, maka Tuhan Sang Pencipta kuasa melakukan segala sesuatu, Tuhan Sang Pencipta itu Berkuasa atas segala sesuatu.

Tuhan Sang Pencipta kuasa melakukan segala sesuatu, Tuhan Sang Pencipta itu Berkuasa atas segala sesuatu.

Uji Keenam

Jagat raya adalah ruang terbesar yang memenjarakan kita, jasad adalah penjara terhebat diri kita, sedangkan waktu adalah belengku terkuat yang mengikat kita. Kita tahu jagat raya itu adalah ciptaan karena perlu diadakan, sedang jagat raya itu berfungsi sebagai ruang dan berpasangan dengan waktu. Maka Tuhan itu berbeda dari itu, Tuhan itu harus satu. Tuhan tidak boleh dua, tiga, ataupun banyak.

Mengapa Tuhan harus satu ? kita gunakan matematika untuk menguji mengapa Tuhan harus satu.

1 adalah satu

2 adalah 1 X 2 (satu kali dua)

3 adalah 1 X 3 (satu kali tiga)

4 adalah 1 X 4, 2 X 2 (satu kali empat atau dua kali dua)

5 adalah 1 X 5 (satu kali lima)

6 adalah 1 X 6, 2 X 3 (satu kali enam atau dua kali tiga)

...

20 adalah 1 X 20, 2 X 10, 4 X 5 ( satu kali dua puluh atau dua kali sepuluh atau empat kali lima, dan seterusnya

Uraian di atas adalah faktor pembentukan bilangan, ketika melihat dua, yang kita lihat hanya dua, tetapi sejatinya bahwa itu ada satu di sana, tapi tidak pernah dituliskan. Ketika melihat tiga, sejatinya ada satu di sana tapi tidak pernah dituliskan, ketika melihat empat sejatinya ada satu di sana, tetapi empat juga bisa disusun oleh dua dan dua. Begitu pula dengan lima, enam, dua puluh dan seterusnya.

Dua mahluk terbesarnya adalah ruang dan waktu, sampai yang kecilnya adalah pasangan-pasangan dari mahluk pengisi ruang dan waktu. Tiga adalah bentuk fisik zat penyusun ruang yaitu padat, cair dan gas. Dua, tiga, empat adalah simbolisasi dari mahluk penghuni jagat raya. Dua, tiga, empat, lima, enam, dan seterusnya simbol dari mahluk (ciptaan).

Dua ada disebabkan karena satu, dua diciptakan langsung oleh satu. Tiga ada disebabkan oleh satu, tiga diciptakan langsung oleh satu. Empat ada disebabkan oleh satu, atau disusun oleh dua dan dua, dan seterusnya. Semua bilangan pasti ada sebab / faktor dengan satu. Di saat yang sama ketika kita melihat angka itu, dua, tiga, empat, lima, enam, dan seterusnya, satu ada tapi tidak pernah dituliskan. Satu adalah faktor dari semua bilangan, sedangkan dua hanya bisa menjadi faktor dari bilangan tertentu. Contoh bilangan yang faktornya bisa dari dua yaitu empat, enam, delapan, sepuluh, dan seterusnya. Tiga hanya bisa menjadi faktor dari bilangan tertentu juga contohnya enam, sembilan, dua belas, lima belas dan seterunya. Selanjutnya pun demikian. Maka hanya satu, standar nilai yang bisa menjadi faktor / sebab bilangan lain. Maka Tuhan itu wajib satu, dan hanya angka satu yang memenuhi kriteria standar nilai sesuatu bisa disebut Tuhan.

2,3,4,5,6,... -------> satu ada tapi tak pernah terlihat (ghaib), tak tercitra, tak terbatas ruang, tak terikat waktu, yang awal, yang menyebabkan semua ada.

2 sejatinya  1 X 2, tetapi satu tidak pernah dituliskan

2 sejatinya  21 ,dua pangkat satu, tapi dianggap tidak perlu dituliskan

3 sejatinya 1 X 3, satu tidak pernah terlihat

3 sejatinya 31 ,satu tidak pernah dituliskan karena dianggap merepotkan. 4,5,6, … dst. Hanya satu yang bisa menempati ruang dan waktu secara bersamaan, dan hanya satu yang berkuasa atas ruang dan waktu.

Tuhan itu satu, wajib satu, tidak bisa dua, tidak bisa tiga. Tuhan itu satu tidak boleh banyak. Tuhan itu satu, tidak boleh dicitrakan, tidak boleh diserupakan, disosokkan. Tuhan itu satu, Dia menciptakan. Tuhan itu satu, tidak beranak tidak boleh diperanakkan.

Uji Ketujuh

Siapakah Tuhan itu? Jika jawaban yang diminta dari pertanyaan ini adalah sebuah nama yang memudahkan kita untuk menyapa, memanggil, menyebut, menyeru padaNya, maka tidak satupun manusia yang pernah lahir ke dunia ini bisa memastikan kebenaran dari sebuah nama Tuhan. Karena Tuhan yang Maha Besar, tak terkira , tak terhingga, mustahil ada manusia dengan perangkat panca indra yang berkerja secara terbatas bisa menggapaiNya, mencapaiNya (mustahil).

Tuhan itu satu, Ia Maha Hidup, Maha Kuasa atas segala sesuatu, Maha Kuasa melakukan segala sesuatu simbolnya satu (1), Tuhan itu Maha Mematikan simbolnya Nol (0), Tuhan itu Maha Besar, Takhingga, takterkira simbolnya (∞). Kapan Tuhan menjadi 0, kapan Tuhan menjadi 1, kapan Tuhan jadi takhingga? Berikut sedikit ilustrasi.

21, 31, 41, 51, 61, … = 2, 3, 4, 5, 6, …, maka seluruh jagat raya dalam kesatuan ruang dan waktu status saat itu pangkat satu, ada karena diadakan oleh satu (Tuhan), semua kehidupan itu ada karena diberikan oleh Tuhan (1) Sang Maha Hidup.

20, 30, 40, 50, 60, … = 1, semua yang statusnya mati kembali kesatu. Semua pangkat nol hasilnya satu, semua kehidupan ini hanyalah milik satu, ketika hidup diambil dia kembali ke satu Sang Maha Hidup, Sang Pemberi Kehidupan.

∞ adalah ketika kita sadar Tuhan ada, dan Ia tak terpenjara dalam ruang, tak terikat oleh waktu maka Ia tak pernah tergapai, takhingga.

Tidak seorangpun yang terlahir di dunia ini bisa memastikan nama Tuhan yang sebenarnya dengan bekal perangkat panca indra yang ada. Satu-satunya cara adalah, Dia (Tuhan) yang takhingga menetapkan sejumlah aturan untuk mengenalNya, dan Dialah yang memilih hamba yang mana untuk mengenalNya, kemudian Hamba tersebut diutus, diperintahkan untuk mengenalkanNya pada kita semua. Itu standar nilai mengenal Tuhan 



Disinilah batasan kita sebagai mahluk dengan perangkat indra terbatas. Pada akhirnya kita juga harus menyerah, dan menunggu atau menanti utusan dari Tuhan datang menjelaskan segalanya. Pada uji ketujuh ini kita hanya bisa menyerahkan diri kita pada utusan dari Tuhan, karena memang yang Maha Besar, takhingga, takterkira, taktercitra mustahil kita pastikan indentifikasiNya dengan perangkat panca indra kita.

Menyerah pada Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam

Pada akhirnya kita harus menyerah kepada pilihan beragama yang sudah ada. Ya karena Tuhan yang Maha Besar, Takhingga, TakTercitra, Takterbatas, hanya Dia yang bisa mengenalkan diriNya sendiri kepada hambaNya. Kita hanya perlu meninjau tentang apa yang disampaikan oleh para utusanNya itu, tentang informasi yang disampaikan kepada kita tentang Tuhan itu mengandung semua standar nilai dari hasil uji kita. Dan semua standar nilai tentang sesuatu itu bisa disebut sebagai Tuhan dijelaskan dan dilengkapi oleh informasi yang disampaikan utusanNya yaitu Muhammad bin Abdullah bin Abdul Munthalib shalallahu ‘alaihi wasalam. Dan informasi yang disampaikan itu terbukukan / terkitabkan dalam Al Qur’an Nul Karim. Dengan adanya Al Qur’an itu mengkonfirmasi bahwa benar kitab itu diturunkan / disadur / disalin dari kitab grand design penciptaan jagat raya yang bernama Lauhulmahfudz. Informasi tentang Lauhulmahfudz ini mengkonfirmasi bahwa benar kitab ini (Al Qur’an) ini disampikan oleh dzat yang tak terikat oleh waktu, tak terpenjara dalam ruang yaitu Tuhan yang sebenarnya. Selain itu kita bisa cek kebenaran Al Quran dengan beberapa list berikut :

Cek list kandungan informasi Al Qur’an, sebagai tanda bahwa benar datang dari Tuhan Sang Pencipta.

Ada informasi tentang Tuhan yang memenuhi standar nilai tentang sesuatu itu bisa disebut sebagai Tuhan. Al Qur’an menjelaskan dengan rinci bahkan menggenapi / melengkapi informasi tentang Tuhan sampai 99 sebutan tentang Tuhan.

Ö

Ada informasi tentang siapa nama Tuhan. Tuhan Itu bernama Allah Subhanahu wata’ala (Allah yang Maha Suci lagi Maha Tinggi). Dia (Tuhan) itu satu, padaNya bergantung segala sesuatu. Dia tidak beranak, tidak pula diperanakan. Dan Tidak ada sesuatu apapun yang sepertiNya (takkira, taktercitra, takterbayangkan).

Ö

Ada informasi tentang bagaimana jagat raya ini diciptakan. Al Qur’an menjelaskan bagaimana jaga raya ini diciptakan dan terdiri dari berapa lapis, dan berapa tahap waktu penciptaan. Ini mengkonfirmasi bahwa benar Al Qur’an datang dari Tuhan yang menguasai dan memiliki ruang (jagat raya).

Ö

Di dalam Al Qur’an ada informasi yang benar-benar tidak kita ketahui maksudnya, dan tidak pernah dijelaskan maksudnya. Konfirmasi memang benar bahwa Al Qur’an datang dari Tuhan Sang Pencipta yang Maha Mengetahui, yang Maha Besar, yang takterkira, takhingga. Sehingga manusia dengan semua panca indra dan keterbatasan akan akal, dan seluruh waktu yang diberikan tak mungkin sanggup untuk menggapainya, menggali, mengenali, menguraikan maksud dari kata, kalimat, berita, informasi yang disampaikan.

Ö

Di dalam Al Qur’an ada informasi tentang kejadian di masa lalu, kejadian di masa kini, dan kejadian di masa yang akan datang. Konfirmasi bahwa benar Al Qur’an datang dari Tuhan sang pemilik Waktu. Yang artinya juga Ia tidak terpenjara dalam ruang dan tak terikat oleh waktu.

*sebagian informasi tentang masa lalu telah terungkap, sebagian peristiwa di suatu tempat di bumi juga sudah terungkap seiring waktu berjalan.

Ö

Di dalam Al Qur’an ada informasi tentang panduan menjalankan hidup di dunia ini, apa yang boleh, apa yang dilarang. Konfirmasi memang benar Al Qur’an datang dari Sang Pencipta yang Maha Mengetahui bagaimana Jagat Raya ini diciptakan dan bagimana cara menggunakannya. Karena hanya Sang Pencipta saja yang tahu persis bagaimana dan untuk apa jagat raya ini diadakan / diciptakan. Dan seperti apa seharusnya kita bersikap dan berlaku di dunia ini.

Ö

 

Dari cek list di atas, kita tahu bahwa Al Qur’an memenuhi semua kriteria bahwa Ia benar diturunkan / didatangkan dari Sang Pencipta. Al Qur’an menjadi tidak sempurna jika Pembawa / Penyampainya ada cacat dalam hal fisik juga akal. Atau Al Qur’an akan cacat jika Pembawanya / Penyampainya adalah seorang peniru / plagiat atau penghayal atau pendongeng, maka kita harus tahu riwayat penyampainya. Walaupun kebenaran tetaplah benar, siapapun itu yang menyampaikan. Tetapi karena ini menyangkut tentang informasi dari Tuhan yang Maha Besar, takhingga, dimana tak seorangpun yang pernah terlahir di dunia ini bisa mengkonfirmasi, mengecek, memastikan kebenaran itu. Maka penyampainya / utusan / nabi / rasul yang menyampaikan menjadi penting. Ia (nabi, rasul) haruslah murni (ummi), Ia haruslah sempurna fisiknya, Ia juga harus sehat akalnya.

Semua informasi tentang Nabi Muhammad tercatat/ tertulis lengkap dalam sirah nabawiyah (riwayat perjalanan hidup Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam), di sini (sirah nabawiyah) kita diberitakan bahwa Rasulullah itu terlahir sebagai yatim, kemudian masa kecil diasuh dalam pengasuhan oleh suku badui yang mana tinggal di daerah pedalaman terpencil. Di sini Rasulullah kecil jauh dari akses informasi, tidak ada buku, tidak ada guru. Rasulullah kecil memenuhi syarat murni (ummi). Kemudian beranjak remaja, Rasulullah remaja hidup sebagai pengembala, Rasulullah dewasa bedagang, dan dari interaksinya dalam berdagang inilah Rasulullah digelari sebagai yang terpercaya (al-amin), tidak pernah dusta, tidak pernah melanggar janji dalam melakukan transaksinya juga dalam semua hal dalam sosialisasinya. Rasulullah dewasa juga belum bisa membaca dan menulis yang berarti ia tidak memiliki guru yang mengajarkan ia ilmu dari kitab-kitab yang terdahulu. Rasulullah dewasa juga dikenal orang yang sangat tampan. Dari gelar al-amin juga kita tahu bahwa Rasulullah dewasa sempurna akalnya. Maka semua syarat bahwa Rasulullah itu harus murni (ummi), tidak mengerti ilmu dari guru, tidak plagiat, tidak meniru, syarat-syarat itu terpenuhi. Rasulullah dewasa juga sempurna fisiknya, sempurna akalnya dikonfirmasi dengan kejujurannya dalam berbisnis sehingga digelari Al-Amin (yang terpecaya). Sekarang kita tahu semua syarat sebagai utusan terbaik sudah terpenuhi. Semua jalur informasi kepada Rasulullah terproteksi / teramankan, maka hanya ada satu kemungkinan yaitu Rasulullah hanya mendapatkan ilmu dari Allah yang Maha Besar, Maha Mengetahui dengan cara yang Allah kehendaki.

Dari semua uraian di atas, kita menentukan pilihan dalam bertuhan pada Tuhan yang bernama Allah subhanahu wata’ala (Allah yang Maha Suci lagi Maha Tinggi) yang disampaikan oleh Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam. Pilihan ini karena apa yang disampaikan oleh Rasulullah yaitu Al Qur’an (isi / content / ajaran) memenuhi semua syarat standar nilai tentang sesuatu itu bisa disebut sebagai Tuhan, bahkan melengkapinya. Yang kedua dalam Al Qur’an juga ada informasi yang tidak diketahui maksudnya pastinya sama sekali oleh siapapun sampai kapanpun. Informasi semacam ini adalah tanda bahwa Al Qur’an itu memang benar datang dari Tuhan yang Maha Besar, takterkira, takhingga. Al Qur’an ini disampaikan dalam keadaan terenkripsi / tersandikan / teramankan. Dalam hal Sang Penyampainya yaitu Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam, Ia memenuhi syarat bahwa Sang Penyampainya itu terproteksi / teramankan / ummi. Kita tidak bisa menuduhnya sebagai peniru, plagiat, karena riwayat hidupnya tercatat jelas. Rasulullah itu ummi, tidak punya guru, tidak bisa membaca, Ia sempurna fisiknya (tampan), Ia sehat akalnya. Maka semua syarat yang kita perlukan untuk mempercayai telah tercukupi, langkah selanjutnya adalah kita harus menyerah kepada Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam dan berjanji dan berusaha menetapi semua syariat yang diajarkannya.

Sampai sini kita telah hidup pada derajat dua, yaitu kita hidup dengan akal terbuka dan jasad yang hayat (hidup). Selayaknya jasad / badan / raga untuk bisa hidup atau dikatakan hidup maka badan itu memerlukan makan, minum, bernafas, bergerak atau melakukan gerak, tumbuh, menanggapi dan respon rangsang dan lain sebagainya sebagai tanda bahwa ia hidup, maka untuk bisa dikatakan hidup secara akal juga ada tandanya. Hidup secara akal maksudnya adalah bertuhan, dan Tuhan itu adalah Allah subhanahu wata’ala, maka tanda bahwa kita masih hidup secara akal adalah dengan melakukan semua syariat yang datang dari Allah subhanahu wata’ala yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji jika diberi kemampuan (mampu secara biaya, mampu secara badan sehat, fisik kuat).

Bagaimana jika salah satu atau dua ciri secara akal (bertuhan) tidak kita temukan pada diri kita atau seseorang? Selayaknya hidup secara jasad, jika salah satu atau dua ciri-ciri secara jasad / badan tidak ditemukan pada kita atau seseorang, maka bisa dikatakan orang tersebut sedang sakit, atau bahkan mati suri. Jika semua ciri-ciri hidup secara jasad tidak ditemukan pada diri seseorang maka ia dikatakan mati. Langkah mengetahui seseorang itu telah mati adalah dengan merasakan denyut nadi atau denyut jantung, mendeteksi apakah masih bernafas, atau melihat pupil matanya apakah masih merespon pada cahaya atau tidak. Maka untuk mengetahui seseorang itu masih hidup secara akal adalah dengan melihat semua ciri-ciri orang bisa dikatakan hidup. Jika semua ciri-ciri orang hidup secara akal (bertuhan) ada pada seseorang maka ia dipastikan hidup. Jika hanya ada satu atau dua ciri-ciri orang masih bertuhan yang kita lihat, maka bisa kita identifikasi bahwa seseorang tersebut sedang sakit. Jika tidak kita temukan sama sekali ciri-ciri seorang masih bertuhan maka kita perlu memastikan bahwa seseorang tersebut telah meninggal (mati) dalam bertuhan atau sedang mati suri saja (pingsan). Cara mengeceknya adalah bertanya pada dia, karena orang mati / tertutup / kafir secara akal ia hanya mati akalnya saja tapi tidak dengan jasadnya. Jika kita tanya ia masih menjawab bahwa Tuhan itu adalah Allah subhanahu wata’ala, tetapi ia tidak melaksanakan syariat dalam beragama sama sekali, mungkin ia sedang mati suri / pingsan atau ia sedang sakit sehingga hilang kemampuan / kemauan untuk bergerak melaksanakan syariat. Hal itu juga bisa menjadi indikasi ada yang salah atau kurang tepat ia mengenal Allah atau ia berhenti dalam usaha mengenal Allah.

Itulah tahapan perjalanan hidup manusia, yang asalnya mati (telur), lalu menetas / terlahir, hidup. Setelah terlahir, kemudian belajar mengendalikan badan dan anggota badan. Pada saat yang sama akal berkembang, dengan berkembangnya akal, akalnya dalam keadaan tertutup / telur / mati disebabkan karena dengan akalnya ia menganggap badan dan anggota badan adalah miliknya, kemudian barang-barang, kemudian bapak-ibunya, dan seterusnya. Akalnya akan terbuka ketika ia sudah bisa menerima pandangan, pendapat dari orang lain. Jika perkembangan akalnya sampai pada Allah subhanahu wata’ala maka dia dan akalnya telah terlahir dan hidup di derajat dua. Hidup dengan akal terbuka pada jasad yang hidup.

Jika kita telah sampai pada titik tersebut, hidup di derajat dua, kita menyadari ada Allah subhanahu wata’ala yang Kuasa atas segala sesuatu, dan Kuasa melakukan segala sesuatu. Kita akan menerima berita bahwa masih akan ada kehidupan setelah ini. Pada kehidupan setelah ini, kita akan diminta pertanggung-jawaban atas segala sesuatu yang kita kerjakan saat ini. Pengembalian kehidupan dan kesadaran akal dengan segala ingatan yang kita simpan dan semua rekaman laku / kelakuan kita selama hidup ini, akan sangat buruk jika saat kita dimatikan dari kehidupan ini tetapi akal kita masih tertutup / kafir akan Allah subhanahu wata’ala. Dengan segala tanda-tanda yang Allah berikan pada setiap umat manusia, akan rugi jika semua itu tidak membuat kita terbuka akan Allah subhanahu wata’ala dan memutuskan untuk hidup tertutup / kafir akan diri, pemikiran dan pendapatnya sendiri. Sungguh pengembalian yang sangat buruk. Sebuah keputusan yang merugikan kita sendiri, dan sebuah kesombongan yang luar biasa dari semesta ketidaktahuan. Sebuah keangkuhan dalam mengambil simpulan didasarkan dari setitik pengetahuan dibanding jutaan-milyaran ketidaktahuan.

Dari telur, terkurung / tertutup (kafir), dan mati, sampai pada menetas dan hidup, ada pengetahuan, ada pengajaran yang bisa kita sarikan / turunkan dari sana. Dengan memikirkan telur kita bisa tahu, bisa sampai pada mengenal Tuhan yaitu Allah subhanahu wata’ala. Sekarang kita coba melihat dari sisi Si Induk Ayam dengan laku mengeraminya.

Dilihat dari Si Induk Ayam, maka ia statusnya hidup. Jika itu terjadi pada kita (manusia) maka status hidup itu ada pada derajat dua. Hidup di derajat dua yang artinya Ia hidup secara jasad, raga, jasmani, badan, dan juga hidup secara akal yang artinya terbuka, mau menerima pendapat orang dan tingkat tertinggi adalah menerima, dan mengakui keberadaan Allah subhanahu wata’ala. Lalu apakah yang mendasari Si Induk Ayam untuk susah payah mengerami telur-telur itu? Tentu saja Si Induk Ayam melakukannya secara naluri karena ayam hanya hidup di derajat satu tanpa harus hidup di derajat dua seperti kita manusia. Jika dilihat dari sisi kita manusia, maka Si Induk Ayam adalah kita yang telah hidup di derajat dua kehidupan, yang artinya telah bisa menerima dan mengakui keberADAan Allah subhanahu wata’ala sehingga kita mau melakukan tindakan / amal / tirakat / tarekat yaitu puasa dengan tujuan menetaskan telur-telur (saudara kita yang masih hidup pada derajat satu).

Saudara-saudara kita yang masih hidup di derajat satu bukanlah benda mati, mereka menyadang status hidup, mereka makan, minum, bernafas, bergerak dan berbicara, serta melakukan aktivitas-aktivitas ciri sebagai mahluk hidup. Mereka hanya tertutup secara akal dan pemikiran, mereka tidak bisa menerima pandangan, pendapat orang lain. Mereka tidak mempercayai sesuatu hal di luar batas indranya. Maka kita akan mendengar mereka berbicara “Dimana Tuhan, Tunjukan Tuhan supaya aku bisa melihatNya? Aku akan percaya Tuhan jika bisa melihatNya? Datangkan mukzijat jika benar Tuhan itu ada! dan masih banyak yang lainnya”. Sehebat apapun logika dibagun, sekeras apapun kita mendebat mereka, sebanyak apapun peringatan disampaikan, apapun itu mukzijat yang mereka minta kita datangkan, kita tidak akan pernah mampu membuat mereka beriman, kita tidak akan pernah mampu membuat mereka percaya Tuhan itu ada, kita tidak akan pernah bisa membuat mereka hidup (percaya Allah subhanahu wata’ala). Karena hidup itu adalah hak Allah, hidup itu adalah milik Allah, apapun itu baik hidup di derajat satu, maupun hidup di derajat dua, semua itu milik Allah subhanahu wata’ala.

Karena hidup adalah hak Allah, maka yang kita lakukan adalah menjadi Si Induk Ayam, Si Induk Ayam mengerami dengan berdiam diri, menahan lapar, menjaga suhu badannya, dan membolak-balikkan telur-telurnya. Karena sia-sia saja ‘petok-petok’, ‘teriak-teriak’ tidak akan membuat telur-telur itu menetas. Percuma juga bercerita pada telur-telur itu bahwa di dunia ini ada pohon, daun, batu, semut, rayap, padi, jagung, motor, mobil, ponsel, atau apapun itu yang pernah ditemui Si Induk Ayam, karena telurnya tidak akan mendengar itu. Pada akhirnya Si Induk Ayam hanya bisa mengerami telur-telur itu, ia membisu, berdiam diri, menahan lapar untuk menetaskan telur-telurnya. Si Induk Ayam tidak bisa memilih telur mana yang akan menetas, Si Induk Ayam tidak bisa memastikan semua telurnya menetas. Tapi Si Induk Ayam tetap saja mengerami telur-telurnya, walaupun tidak bisa memilih telur yang mana yang akan menetas, walaupun tidak tahu jika telurnya nanti gagal menetas semuanya.

Mari lihat diri kita, sudahkah kita bisa membuka diri? Pada kita yang bisa menerima akan keberADAan Tuhan, Allah subhanahu wata’ala. Ada kalanya merasa aneh pada saudara-saudara yang masih tertutup. Ada nafsu menggebu ingin mereka semua seiman. Ada hasrat membara supaya mereka lekas sadar dan percaya. Lalu kita menantang dan mendebat mereka semua, kita membuat forum diskusi, debat terbuka dengan mereka. Kita memaksa mereka melakukan sesuatu yang kita pandang sesuai syariat, kita meminta mereka menghargai, menghormati, mentoleransi ketika kita bersyariat. Kita membuat forum / symposium / studi perbandingan agama, kita datangkan bukti-bukti penelitian ilmiah seolah-olah kita mendatangkan mukzijat dari Allah subhanahu wata’ala. Sekali lagi itu semua tidak akan pernah membuat seorangpun dari saudara kita yang masih tertutup itu akan beriman (terbuka / hidup di derajat dua). Pada akhirnya kita harus menyerah dan mulai melakukan tirakat, tarekat, amal, laku, seperti induk ayam, ketika kita berhasil dan mengenali, mengidentifikasi kita hidup seperti induk ayam. Semua kehebatan berlogika, semua gemerlapnya dunia yang kita temui, semua hal tentang bukti ilmiah, semua analogi yang kita punya, semua itu hanya akan membuat kita tunduk, tawaduk dan berserah diri kepada Allah subhanahu wata’ala dan mulai melakukan tirakat, tarekat, amal, laku mengerami selayaknya induk ayam. Diam, menahan diri (mendekam), menahan lapar (puasa), menahan kantuk (terjaga), dan terus berharap Allah mendatangan hidup (menetas = hidayah) pada telur-telur yang kita erami. Diam mungkin bisa dengan menjadi pendengar yang baik, sahabat yang selalu ada, menahan diri (mendekam) mungkin dengan tidak mendebat keras, kasar atau dengan tidak mencaci, memaki, memvonis, atau menghukumi, menahan lapar (puasa) bisa dengan berbagi, dan berempati pada kesulitan hidupnya di dunia, menahan kantuk (terjaga) bisa dengan siap siaga jika saudara kita membutuhkan bantuan kita, apapun itu bentuknya, kapan ia mendatangi kita.

Semua kehebatan berlogika dan beranalogi mengenal Allah, Segala macam pengetahuan yang ada pada kita, Seluruh perbendaharaan dunia yang di bawah pengawasan kita, Semua itu yang membuat kita untuk melakukan tirakat, tarekat, laku, amal, MENGERAMI. Karena kita sadar Hak (kebenaran dan kepemilikan) Hidup hanya Milik Allah saja.

Si Induk Ayam tidak bisa memilih telur yang mana yang akan menetas. Hal itu seperti kita, tidak bisa memilih, menentukan siapa saja yang akan mendapatkan hidayah (hayat / hidup di derajat dua). Kita tidak bisa memaksakan seseorang mendapatkan hidayat, kita tidak bisa memilih siapa-siapa yang akan beriman. Hidayah (memberi hayat / hidup) bukanlah kewenangan kita, bahkan Rasulullah sekalipun tidak diberi wenang memilih-milih siapa yang akan mendapatkan hidayah. Karena itu Rasulullah menyampaikan risalah ke semua orang, tanpa syarat, tanpa kriteria, tanpa seleksi. Siapapun yang mendengar risalah dari Rasulullah bebas menolak ataupun menerima. Jika menolak ia tetap dalam ketertutupannya, tercangkang, telur, dan status mati. Jika menerima ia bisa memecah cangkang itu, dan hidup di derajat dua dengan segala konsekuensinya.

Hidup adalah milik Allah subhanahu wata’ala, baik itu hidup secara jasad / hidup di derajat satu, ataupun hidup secara akal / hidup di derajat dua, semuanya milik Allah. Ketika kita telah disampaikan / diberi / dianugrahi pada hidup di derajat dua, yang artinya kita menjadi saksi dan menyaksikan bahwa setiap saat, setiap waktu, tanpa jeda Tuhan selalu ada dan hadir, terlibat di semua hal yang ada pada diri dan hidup kita. Kita juga menjadi saksi bahwa Allah itu sebenar-benarnya Tuhan yang Maha Besar, takterkira, takhingga, taktercitra, mengkonfirmasi bahwa apa yang disampaikan oleh Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam adalah benar. Hal itu menegaskan untuk kita bersaksi bahwa Muhammad itu benar-benar seorang Rasul (utusan). Perlu kita sadari saat ini kita telah menjadi Anak Ayam (menetas, statusnya hidup = mendapat hidayah, dianugrahi oleh Allah Subhanahu wata’ala). Dan status hidup itu membawa konsekuensi seperti perlu bergerak dan bernafas, perlu mengkais makanan, perlu minum, perlu tidur. Atau dengan kata lain, konsekuensi hidup adalah lelah, letih, lapar, sakit, senang, sedih, pusing, kenyang, dingin, panas dan lain sebagainya. Semua itu menjadi siklus hidup dalam ketidakpastian, karena yang pasti hanyalah milik Allah saja. Ketika datang siklus sedih, sakit, lapar, ditinggalkan, dikhianati, dicurangi, dijauhi, dibuli, dikucilkan, ditelantarkan, pada saat-saat seperti itu, lihatlah jauh ke dalam hati, apakah masih ada nama Allah di dalamnya? Apakah pada saat itu kita masih bersaksi bahwa Allah itu sebenar-benarnya Tuhan, tiada Tuhan selain Allah dan juga Muhammad adalah utusan Allah? Jika jawaban atas pertanyaan tersebut adalah YA! Maka apapun kondisi kamu saat itu, sesakit apapun kamu, selemah apapun kamu saat itu, sesedih apapun kamu, semerugi apapun kamu, sebangkrut apapun kamu, kata yang paling pantas kamu ucapkan adalah “Alhamdulillah, segala puji bagi Allah” karena pada saat ini kita masih dipercaya, dianugrahi, diberi nikmat terbesar yaitu diberi hak hidup di derajat dua. Dan laku / amal / syariat / tindakan  yang tepat dan patut kita kerjakan adalah sujud yang dalam seraya mengucap “Subhanallah, Maha Suci Allah”, sesulit apapun sujud itu kita kerjakan, secacat apapun sujud kita itu (tak sempurna) akan tetap kita kerjakan, karena anugerah luar biasa yang telah diijinkan hidup di derajat dua (mendapatkan hidayah). Dan menjadi kebanggaan terbesar kita ditakdirkan untuk bisa sujud sekalipun sujud itu tidak sempurna.

Laku / Tarekat tidak hanya Mengeram

Mari kita lihat juga laku / amal / tarekat / tirakat yang dilakukan oleh Si Induk Ayam yaitu mengerami. Laku tersebut tidak membuat Si Induk Ayam berubah secara fisik. Kita tidak bisa melihat induk ayam tersebut berubah setelah mengerami telur-telurnya. Si Induk Ayam juga tidak pula mengajak anak-anak ayam yang menetas untuk melakukan laku yang sama (mengerami). Hal yang dilakukan oleh Si Induk Ayam, yaitu mengasuh anak-anak ayam hingga ia mandiri, bisa mencari makan sendiri, bisa menjalani hidup sendiri hingga si anak-anak ayam mengenali diri mereka sendiri. Begitu pula seharusnya kita pada saudara kita yang baru menyatakan kesaksiannya yaitu dengan menyatakan dua kalimat syahadat. Pada mereka janganlah kita membebani mereka dengan sejumlah amalan yang memberatkan mereka. Janganlah kita menyuruh saudara-saudara yang baru saja menetas hidup di derajat dua melakukan amal / laku / tarekat / tirakat yang sama yang kita lakukan yaitu mengerami. Karena laku seperti itu hanya dilakukan oleh Si Induk Ayam. Pada saudara kita yang baru menetas atau dianugrahi hidup di derajat dua (mendapat hidayah) cukup kita ajarkan cara hidup di derajat dua, kita bantu mereka bergerak mencari makan di derajat dua, sampai mereka cukup mandiri untuk bisa hidup di derajat dua, kemudian kita lepaskan pengasuhan itu.

Dari Induk Ayam mari kita meluaskan cakrawala pengamatan kita ke dunia binatang. Di dunia binatang kita mendapati banyak laku / amal dari binatang kita sebut saja ada ulat sebelum menjadi kupu-kupu, ada ulat lebah / tawon sebelum menjadi lebah atau tawon, ada ular dan masih banyak lagi binatang dengan lakunya. Jika kita melihat ulat dengan makan lahapnya kemudian berlaku menjadi kepompong kemudian bermetamorfosis menjadi kupu-kupu. Maka laku / tarekat dari ulat menjadikannya kupu-kupu, membuatnya berubah secara fisik, betuk dan perilaku sebelum dan sesudahnya yang terlihat berbeda. Contoh lain binatang yang berlaku seperti kupu-kupu adalah nyamuk, ngengat, lalat dan lain sebagainya dari golongan serangga. Selain kupu-kupu juga ada lebah, yang laku atau tarekatnya membuatnya berubah secara bentuk dan prilaku, yang membedakan keduanya adalah makanan saat dalam fase ulat dan juga cara makannya. Setelah menjadi kupu-kupu atau lebah perannya bagi dunia itu juga berbeda. Ada kupu-kupu, ada lebah ada pula ular, ular juga melakukan laku / amal / tarekat tapi laku tersebut tidak membuat ular berubah secara fisik, kecuali hanya bertambah besar saja, selain itu semuanya tetap sama. Dari contoh laku / amal / tarekat para binatang tersebut, bukan berarti bahwa yang paling baik dari semua tarekat itu adalah tarekatnya kupu-kupu, atau lebah. Bukan pula tarekatnya Si Induk Ayam yang nilainya paling bagus / paling tinggi dikarenakan lakunya bermanfaat bagi individu baru. Bukan pula tarekat model ular adalah yang buruk. Hal yang terpenting dari semua itu adalah mengenali siapa diri kita, sehingga kita tahu laku apa / amal apa / tarekat apa yang sesuai dengan diri kita. Salah satu caranya mengenali diri kita sendiri adalah dengan memperhatikan kecenderungan diri kita terhadap sesuatu atau terhadap hal tertentu.

Jika kita dapati diri kita mudah memahami sesuatu, senang dengan pengetahuan baru, selalu haus akan ilmu, kemungkinan kita ditakdirkan hidup seperti induk ayam. Tugas kita adalah mengajarkan semua pengetahuan itu kepada semua umat manusia, tetapi perlu diingat bahwa bukan pengetahuan itu yang menjadikan seseorang terlahir di derajat dua. Semua ilmu yang ada pada sisi kita yang menjadikan kita berbuat / melakukan / laku / tarikat / tarekat / amal yaitu mengerami. Mengajarkan ilmu adalah bagian dari laku mengerami, puasa adalah amal tarikat kita berserah diri pada Allah subhanahu wata’ala, bahwa hidup adalah milik Allah, dan kita berserah diri kepada Allah siapa saja yang diberi hak hidup di derajat dua. Mendampingi orang-orang yang belajar bersama kita, memberi bantuan pada mereka, mendengarkan mereka adalah bagian terkait dan terikat dengan amal / laku / tarekat yang kita kerjakan. Jangan pula meminta orang-orang yang belajar bersama kita untuk melakukan amal puasa seperti kita, karena setelah kita dapati mereka yang belajar bersama kita dianugrahi hidayah / hidup di derajat dua, kita wajib memahamkan bahwa hidup itu mudah. Kita masih harus mengasuh mereka dengan memberikan makan, sebelum kita mengajarkan mereka cara mencari makan. Di titik ini kita harus memahamkan bahwa beragama itu mudah, dan agama datang untuk memudahkan.

Jika kita dapati di sekitar kita banyak perbendaharaan dunia ini, dan kecenderungan kita adalah bersenang-senang dengan semua itu. Hal itu bisa jadi mengindikasikan bahwa kita ditakdirkan hidup selayaknya ulat atau kupu-kupu atau lebah. Silahkan bersenang-senang dengan semua itu, tapi kita harus tahu, harus mengukur saat / waktu kapan kita harus berhenti dengan semua itu. Pada saat itu kita harus melakukan puasa, puasa adalah amal / tarekat yang menjadikan kita berubah dari yang hanya bisa bersenang-senang / menghabiskan, menjadi berperan aktif dalam menghasilkan perbendaharaan itu. Sedangkan tanda / waktu telah cukupnya kita bersenang-senang adalah ketika ada rasa jenuh / bosan ketika kita melakukan sesuatu yang menjadi kesenangan kita.

Jika kita dapati diri kita begitu bernafsu terhadap sesuatu, tandanya adalah jika kita merasa perlu memiliki sesuatu yang melebihi kebutuhan kita. Jika orang normal cukup butuh satu, sedangkan kita telah punya lima, masih juga ingin sepuluh. Ada kemungkinan kita ditakdirkan hidup seperti ular. Jika kita dapati diri kita seperti ini, kita harus tahu bahwa setelah kita capai sesuatu sesuai keinginan kita, saat itu tiba, cobalah untuk mengukur atau menimbang-nimbang bahwa itu cukup atau telah lebih dari yang kita butuhkan, jika hal itu ternyata lebih dari yang kita butuhkan, pada saat itu kita harus berhenti, janganlah terus mengejar dan menuruti keinginan kita. Kita harus melakukan amal / laku berpuasa (berhenti), karena dengannya (berpuasa / berhenti) yang menjadikan kita tetap hidup. Maka amal / tarekat / laku  yang kita kerjakan (puasa / ibadah) menjadikan kita tetap hidup. Karena jika kita mengumbar nafsu kita, maka nafsu tersebut akan membunuh kita, selayaknya ular mati karena kekenyangan.

Tiga contoh amal / laku di atas adalah contoh dari amal / laku yang ekstrim atau keras, akan tetapi kita juga tahu bahwa di dunia binatang tidak semua binatang itu melakukan amal / laku / tarekat yang ekstrim seperti puasa. Ada kambing, sapi, kuda, atau singa, adalah contoh beberapa hewan yang sepertinya tidak melakukan laku / amal yang ekstrim. Akan tetapi ada sebuah ciri, dari para binatang tersebut yang mengindikasikan bahwa mereka juga melakukan laku / amal. Ciri itu adalah mereka hanya mengambil secukupnya saja dari apa yang ia dapatkan di dunia ini. Jika mereka mendapatkan lebih, mereka hanya mengambil sebanyak yang bisa ditampung oleh perut / lambungnya, jika ada sisa maka mereka akan meninggalkannya dan membiarkan yang lain mengambilnya. Jika kita adalah tipe orang yang merasa cukup dengan apa yang kita dapatkan hari ini, atau kita merasa sudah cukup jika kita bisa makan untuk sehari saja, kemudian esok hari kita mencari lagi untuk sehari saja. Jika kita mendapatkan makanan yang lebih dari yang kita butuhkan dalam sehari kemudian kita membagikan sisanya. Jika kita cenderung hanya mengambil sekedarnya saja padahal kita diberi kesempatan untuk mengambil banyak, atau bahasa jelek / bahasa kasarnya adalah kita bukanlah tipe orang yang diberi bakat kaya. Hal itu bisa jadi tanda bahwa kita hidup selayaknya singa, laku / amal kita yaitu diberikan rasa cukup dengan yang sedikit. Kita merasa cukup dengan hidup sehari atau dua hari saja, maka tarekat / amal kita ditakdirkan selayaknya singa. Tarekat kita adalah secukupnya saja yaitu syariat pokok dalam beragama tidak lebih.

Dari semua contoh laku / amal / tarekat di atas, tidak ada salah satu yang terbaik melebihi yang lain. Tarekat yang terbaik adalah yang paling sesuai dengan takdir kita, tarekat yang terbaik adalah yang cocok dengan kecenderungan / kesukaan kita dalam menjalani hidup. Oleh karena itu langkah penting bagi kita adalah mengenali bakat yang dianugrahkan pada kita, kemudian dengan itu kita menjalani hidup. Karena inti dari semua amal / laku / tarekat tersebut adalah cara kita dalam menjalani hidup. Kenali dirimu dan kenali bakatmu dan tuntunlah minatmu bersesuaian dengan bakat hidupmu.

Kenali dirimu dan kenali bakatmu dan tuntunlah minatmu bersesuaian dengan bakat hidupmu.

Yang menetas “mendapat hidayah” tidak hanya telur-telur yang dierami di sarang / petarangan saja

Saat ini kita juga tahu jika di dunia ini tidak hanya ada telur ayam saja. Ada banyak macam telur, dan juga macam-macam cara menetasnya. Telur ayam menentas dengan cara dierami, telur ular ada yang menetas dengan ditimbun di tempat bersuhu hangat, telur penyu menetas dengan cara ditimbun pasir, telur kupu-kupu, telur keong, telur siput, telur katak, telur ikan, dan masih banyak lagi macam telur dan berbeda-beda cara menetasnya.

Telur, apapun jenisnya, bagaimanapun cara menetasnya, ketika ia sudah menetas maka statusnya adalah hidup. Banyak macam telur, banyak cara telur menetas, seperti itulah hidayah datang. Hidayah (hidup di derajat dua) datang dengan berbagai cara, terserah Allah subhanahu wata’ala Sang Pemilik Hidayah kepada siapa hidayah, atau hak hidup di derajat dua diberikan. Janganlah kita menganggap bahwa yang terbaik menetas adalah dengan cara ayam, janganlah kita menganggap bahwa menetas dengan cara dierami adalah satu-satunya cara mendapatkan hidayah. Jangan pula kita mengatakan dan menghimbau manusia bahwasanya untuk mendapatkan hidayah harus melalui lembaga atau instansi dibawah kekuasaan kita, sedangkan mereka kita wajibkan untuk membayar atau menyewa atas jasa di lembaga atau instansi kita. Inggatlah, bahwa batasan usaha kita hanyalah mengerami bukan menetaskan. Menetas / hidup di derajat dua / hidayah adalah milik Allah subhanahu wata’ala, dan kepadaNya pula ia kembali. KepadaNya segala sesuatu itu dikembalikan. Sadarlah atas batasanmu, dan janganlah melewati batasan sebagai mahluk / ciptaan Allah subhanahu wata’ala.

Telur apabila ia telah menetas, telur apapun itu jenisnya, bagaimanapun itu caranya menetas, jika telah menetas maka statusnya adalah hidup. Sama halnya dengan hidayah, bagaimanapun itu hidayah datang pada seseorang, bagaimanapun cara seseorang diberi hidayah oleh Allah subhanahu wata’ala maka status adalah hidup di derajat dua. Ciri seseorang hidup di derajat dua adalah ia melaksanakan syariat yang tetapkan oleh Allah subhanahu wata’ala melalui rasulNya, yaitu Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam. Syariat adalah ciri-ciri bahwa seseorang itu hidup di derajat dua selayaknya ciri-ciri mahluk hidup di derajat satu, diantaranya seperti, bergerak, bernafas, makan, minum, tumbuh, berkembang biak, mengalami metabolisme, melakukan sekresi dan laing sebagainya. Jika ada sesuatu memiliki dua atau tiga lebih ciri-ciri mahluk hidup, maka ia kemungkinan adalah mahluk hidup. Jika kita tidak menemukan salah satu ciri-ciri mahluk hidup, kemungkinan ia adalah benda mati, atau jika ia adalah mahluk hidup kemungkian ia sedang sakit, sehingga hilang kemampuan bergerak, makan, atau minum, atau ia sedang mati suri. Sama halnya dengan hidup di derajat satu, hidup di derajat dua juga ada ciri-cirinya. Jika seseorang dikatakan hidup di derajat dua maka ia melakukan sejumlah syariat (ciri-ciri) seperti shalat, puasa, zakat, haji. Syariat pokok adalah ciri utama / ciri primer dari seseorang hidup di derajat dua. Jika ada seseorang tidak kita temukan ciri-ciri hidup di derajat dua, kemungkinannya ia sedang sakit, atau mati suri. Sakit di derajat dua, obatnya adalah dengan memperbaiki pemahaman akan Tuhan, karena sebab sakitnya di derajat dua salah satunya belum tegak, belum lurusnya pemahaman bertuhan. Ada yang salah dengan tauhidnya, maka obatnya adalah pemahaman, pelurusan akan tauhidnya. Pemahaman tentang tuhan itu layaknya obat, betapapun pahitnya ia tetap kita telan. Pemahaman tentang tuhan itu seperti pisau operasi, betapapun sakitnya tetap kita tahan karena itu salah satu caranya kita sembuh dan melanjutkan hidup di derajat dua.

Ada telur yang menetas mandiri, yaitu telur setelah melewati proses pengeraman ia memecah cangkang sendiri dan keluar sebagai organisme hidup, ada pula sebagian telur itu perlu dibantu dalam proses menetasnya. Telur yang menetas mandiri biasanya individu yang kuat, sedangkan yang menetasnya dengan bantuan biasanya perlu perlakuan khusus sampai ia menjadi kuat dan mampu melanjutkan kehidupannya. Selayaknya cara menetasnya telur itu, hidup di dejarat dua juga sama halnya. Ada sebagian dari kita ada yang kuat, dan mendapatkan hidayah kemudian ia memecah cangkangnya sendiri dan melanjutkan hidup mandiri. Ada pula sebagian kita untuk menetas itu perlu bantuan dalam memecahkan cakangnya. Tentu orang yang membantu memecah cangkang tersebut mempunyai semacam ukuran bahwa organisme yang di dalam tersebut sudah sempurna dan bisa hidup, dan juga pertimbangan jika dibiarkan saja, maka organisme yang di dalam cangkang tersebut akan mati. Begitu pula dengan hidup di derajat dua, ada diantara kita yang cukup mandiri memecah cangkang sendiri, ada pula yang butuh bantuan untuk memecahkan cangkang tersebut. Kedua-duanya, baik yang memecah cangkang sendiri ataupun yang dipecahkan cangkangnya statusnya tetap hidup atau mendapatkan hidayah. Memang ada perlakuan khusus pada mereka yang dibantu dalam memecah cangkangnya, yaitu dengan mendampingi dan menyuplai semua keperluan hidupnya sampai ia benar-benar bisa mandiri.

Hidayah, atau anugrah hidup di derajat dua itu bisa datang ke seseorang dengan cara orang tersebut memecahkan sendiri cangkangnya / ketertutupan / kekafirannya. Ada pula hidayah datang itu ke seseorang dengan cara dibantu memecah cangkangnya atau kekafirannya. Tentu saja butuh pengetahuan tertentu untuk mengetahui bahwa di dalam cangkang tersebut ada organisme yang sudah siap menetas dan hanya perlu memecahkan cangkang saja. Bukan sembarang cangkang kemudian dipecahkan cangkangnya, bisa jadi yang di dalam cangkang belum terbentuk organisme atau masih perlu proses pengeraman. Operasi untuk menetaskan seseorang, atau mendapatkan hidayah atau memperoleh status hidup di derajat dua, atau status beriman salah satunya adalah dengan memberi hadiah / harta, Bisa pula dengan menikahkannya. Apapun caranya ia mendapatkan hidayah atau status beriman, maka sejak saat itu ia hidup di dejarat dua. Jika nanti diperjalanan hidupnya ia butuh diinkubasi atau dicukupkan keperluan hidupnya sampai kuat hidup mandiri, itu adalah konsekuensi dari kita atau orang-orang dekatnya yang memutuskan untuk mengoperasi dia. Apapun itu caranya ia tetaplah berstatus hidup di derajat dua, atau beriman.

Pertalian hidup atau nasab hidup

Kita semua, semua manusia yang saat ini sedang hidup di dunia ini. Semua manusia yang hidup di jaman ini, tidak ada satupun yang merupakan manusia pertama. Hal itu artinya setiap manusia yang ada saat ini, ada karena terlahir atau dilahirkan. Maka setiap manusia yang saat ini hidup pasti memiliki orang tua biologis bapak ataupun ibu. Karena itu setiap manusia yang hidup saat ini punya pertalian hidup atau nasab secara biologis dengan orang tuanya. Nasab itu terdokumentasi dengan baik secara biologis dalam DNA setiap manusia. Di DNA tersebut ada peta jalur perjalanan dan perlintasan secara genetik manusia. Di DNA itu, para ahli pembaca peta itu bisa mengetahui siapa jalur genetik yang telah kita lalui sebagai anak keturunan dari para leluhur kita. DNA tersebut tidak mungkin berbohong tentang leluhur kita, dia jujur karena DNA tersebut terbentuk karena reaksi fisibiokimia, yang tidak terkontaminasi, kecuali ada kesengajaan oleh manusia lainnya untuk mengotori atau mematikan sebagian dari reaksi tersebut. DNA adalah peta nasab secara jasad pada diri setiap manusia yang dilahirkan, lalu adakah peta nasab bagi manusia yang hidup / dianugerahi, kehidupan di derajat dua? Siapakah leluhur kita yang hidup di derajat dua? Apakah ada kaitannya nasab secara jasad (hidup di derajat satu) dengan nasab secara ruhani (hidup di derajat dua / dianugerahi hidayah)?

Leluhur kita / nasab kita secara jasad, tertulis, terbukukan dalam bentuk DNA. DNA jika dirunut sampai ujung maka ia akan merujuk pada sepasang manusia yaitu Nabi Adam beserta istrinya, alaihi salam. Nabi Adam alaihi salam adalah induk / bapak dari seluruh manusia yang hidup saat ini, Ia (Nabi Adam) leluhur manusia secara jasad juga secara ruh (metafisika / prafisika). Nabi Adam adalah leluhur seluruh manusia saat ini, tetapi jarak kita dengan Nabi Adam sangatlah jauh. Kemudian siapakah leluhur kita secara ruhani yang terdekat dengan kita? Leluhur seluruh manusia beriman saat ini, seluruh manusia yang dianegerahi hidayah, seluruh manusia yang percaya bahwa Tiada Tuhan Selain Allah adalah Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam. Karena Rasulullah adalah manusia yang nyatakan bahwa ia mengerami seluruh ruh manusia yang hidup saat itu dan seluruh manusia yang hidup di masa yang akan datang (kita semua manusia yang hidup saat ini). Siapapun kita yang dianugerahi hidayah, hidup di derajat dua, hidup secara ruhani yang beriman kepada Allah Subhanahu wata’ala, yang menyatakan bahwa ‘Laa Ilaaha Illallah’ maka saat itu juga bernasab, bertalian hidupnya di derajat dua sampai pada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam. Oleh karena itu tanda kelahiran / menetasnya kita / hidup di derajat dua adalah dengan menyatakan dua kalimat syahadat (dua kalimat persaksian) “Asyhadu an laa ilaaha illallaahu, wa asyhaduanna muhammadar rasuulullah. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah. Dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah.” Dua kalimat syahadat itu menjadikan kita bernasab sampai pada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam. Siapapun kita hari yang menyatakan dua kalimat syahadat tersebut, maka kita secara ruhani telah bernasab, atau bertalian hidup di derajat dua sampai pada Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam.

Siapapun kita hari ini yang dianugerahi hidayah / hidup di derajat dua, kita adalah keturunan dari Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam secara ruhani. Sedangkan secara jasad / raga, biologis / DNA / Genetik kita boleh terputus dari Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam. Memang ada keistimewaan atas saudara kita yang secara jasad / genetic memiliki perbalian lahir / nasab biologis sampai pada Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam, karena bagi mereka nasab yang sampai pada Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam ada dua yaitu nasab biologis / genetik dan juga nasab ruhani jika mereka juga beriman pada Allah subhanahu wata’ala, hari akhir, dan berlaku baik dan selalu melakukan perbaikan seperti Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam. Ada beberapa hal yang mengikat saudara kita yang nasab genetiknya sampai pada Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam yaitu para sarif dan sayyid, diantaranya adalah mereka terikat dengan akhlak keluhuran budi dan kebiasan-kebiasan (sunat-sunat) yang dikerjakan oleh Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam. Belum lagi ada sejumlah aturan yang mengikat mereka seperti mereka tidak boleh menerima zakat, menolak sedekah, kehadiran mereka adalah untuk memudahkan / membantu urusan umat. Tapi mereka boleh menerima hadiah, meskipun berbedaan dari sedekah dan hadiah hanya pada niat dan kalimat saat menyerahkannya (ijab qabul).

Di akhir zaman ini, siapun kita, dari golongan manapun kita, dari ras / suku / bangsa manapun kita, jika kita telah dianugerahi hidup di derajat dua, mendapatkan hidayah, maka saat itu juga kita adalah keturunan Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam secara ruhani. Kita semua mempunyai kesempatan yang sama untuk berjumpa dengan Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam tergantung seberapa kuat, seberapa jauh kita mampu meneladani Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam. Maka saya sampaikan selamat kepada kamu semua yang telah dianugerahi hidayah dan hidup di derajat, “Selamat dan teruslah berusaha istiqomah, berusahalah tetap hidup di derajat dua dengan bersyariat penuh (melaksanakan semua ciri hidup di derajat dua), teruslah berusaha untuk itu semampumu dan berharaplah mati secara jasad masih dalam keadaan beriman.” Karena kita akan dibangkitkan dalam keadaan dan kesadaran terakhir kita sebelum mati secara jasad.

Akhir kata demikianlah tulisan ini yang saya baca dari induk ayam dan juga telur. Saya Raden Kuswanto

“Asyhadu an laa ilaaha illallaahu, wa asyhaduanna muhammadar rasuulullah. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah. Dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah.”

 

Tulisan ini bersifat umum, bebas , terbuka. Bebas menyalin sebagian atau keseluruhan, bebas mengubah, bebas juga menolaknya. Tidak ada ancaman, denda atau kutukan yang menyertainya. Dan terima kasih sudah membaca.

 


The Missing Link is Zero : Empty

  This article was written in Indonesian and a little Javanese. I wrote this article using a lot of synonyms, with the intention of describi...