Geliat Negeriku Indonesia Memilih Pemimpin
Adakah pengecualian dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, atau adakah pengecualian di setiap perundang-undangan yang berlaku di negeri kita tercinta Indonesia? Mengapa saya bertanya seperti itu? Jika saja Dasar Negera Indonesia bukanlah Pancasila yang sila pertama berbunyi Ketuhanan yang Maha Esa, tentu saya tidak akan pernah bertanya seperti itu. Sila pertama itu adalah jaminan bagi siapapun yang hidup di negeri ini aman dan terjamin hak-hak. Sila pertama juga sebuah pengakuan bahwa seluruh warga negara Indonesia adalah mahluk ciptaan Tuhan. Sila pertama juga pengakuan bahwa kesempurnaan hanyalah milikNya yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
Oleh karena kita hanyalah manusia, seberapa hebatpun kita, sebanyak apapun orang hebat dikumpulkan untuk membuat undang-undang, maka hasil undang-undang tersebut bukan produk sempurna. Maka pada setiap aturan atau undang-undang perlu adanya batas-batas / perlu adanya pengecualian sebagai tanda tunduk dan tawaduk dan berprilaku sesuai sila pertama Pancasila.
Mundur kebelakang atau mengingat sejarah dimufakati dan disepakatinya Pancasila sebagai dasar negara. Leluhur kita dahulu sepakat bahwa kita bersatu membentuk sebuah negara baru. Visi bersama dalam negara baru tersebut adalah mewujudkan negara yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Kesatuan visi tersebut memiliki asas-asas yang kemudian kita jadikan dasar negara yaitu Pancasila. Kemudian untuk bisa mewujudkan visi bersama dalam berbangsa dan bernegara tersebut dibuatlah sebuah aturan-aturan yang kemudian kita sebut dengan undang-undang. Dan salah satu ayat di undang-undang itu adalah perlunya memilih seorang pemimpin yang memandu untuk mewujudkan visi bersama berbangsa dan bernegara. Dan ayat itu kemudian dirinci, atau diturunkan sampai keluar lah Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Yang didalamnya ada kriteria syarat sesorang itu berhak dipilih sebagai pemimpin. Yang kurang diundang-undang tersebut, atau seluruh undang-undang yang ada adalah butuh adanya pengecualian atau batasan-batasan supaya kita tidak melampui batas atau merengut hak sempurna yang hanya dimiliki oleh Tuhan Yang Maha Esa. Batasan itu atau pengecualian itu meliputi batasan waktu dan batasan yang dikenai isi dari undang-undang, atau hasil dari undang-udang tersebut.
Sebelum saya utarakan batasan yang saya maksudkan, berikut adalah analogi antara visi, aturan atau undang-undang dan hasil produk undang-undang. Visi berbangsa dan bernegara itu seperti softfile di komputer, untuk bisa mencetak softfile tersebut dibuatlah sebuah perangkat mesin dengan sejumlah protokol yang kita sebut printer, printer adalah undang-undang, hasil dari printer atau hasil dari cetakan itu adalah produk undang-undang. Jika hasil dari cetakan printer tersebut tidak bersesuaian dengan softfile di komputer, maka kita perbaiki printernya. Jika perbaikan itu juga tidak menunjukan hasil yang bersesuaian, sampai kapan kita akan menggunakan printer tersebut. Sampai kapan inilah yang saya maksud sebagai pengecualian.
Softfile adalah visi bersama berbangsa dan bernegara, printer adalah undang-undang, perbaikan printer adalah amandemen, hasil cetakan adalah produk dari undang-undang. Kembali kita menelaah Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentan Pemilihan Umum. Apakah sudah saatnya kita mengaktifkan pengecualian, atau kita hanya perlu perbaikan atau amandemen. Mari kita berhitung, Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 adalah perbaikan dari undang sebelum yaitu Undang-undang Nomor 42 tahun 2008, Undang-undang Nomor 15 Tahun 2011, Undang-undang 8 Tahun 2012. Artinya si printer sudah pernah diperbaiki. Haruskan kita mencetak lagi dari printer hasil perbaikan, atau disaat yang sama kita mencari alternatif lain untuk mencetak, misalnya menggambar manual atau menulis manual softfilenya (visi bersama berbangsa dan bernegara yaitu merdeka, berdaulat, adil, dan makmur). Untuk mengambil keputusan tersebut kita perlu telaah atau koreksi terhadap hasil yang pernah dicetak. Hasil yang baik dari telaah perlu adanya kejujuran, kerendahan hati kita semua, tuluskan niat kita untuk masih tetap bersama satu visi dalam berbangsa dan bernegara, atau kita masih saja mementingkan ego pribadi atau kelompok. Maka mari semua saja berfikir, dan berintrospeksi diri dan jujurlah dalam bertindak, dan tunduk tulus dengan segala kerendahan hati.
Kita mulai berhitung, mungkin saja perhitungan saya, atau pertimbangan saya salah, tapi tolong fikirkan dan renungkan. Kita tahu saat ini kita masih di era reformasi yang dimulai tahun 1998, era reformasi hadir dengan mendobrak era orde baru yang diterjang krisis ekonomi, serta maraknya korupsi, kolusi dan nepotisme. Kemudian lahirlah era reformasi ini, dan era reformasi ini telah berjalan 25 tahun lamanya. Era reformasi hadir juga karena era orde baru nilai gagal memuwujudkan visi bersama berbangsa dan bernegara. Jika kita lihat umur era reformasi yang telah 25 tahun, maka era ini telah lebih lama dari era orde lama dan kurang dari era orde baru. Artinya era reformasi sebetulnya telah diberi waktu yang cukup untuk membuktikan diri. Jika kita lihat hasil dari era reformasi yang ketika lahir menuntut bersihkan korupsi, kolusi, dan nepotisme, apakah hari ini kita telah berhasil membuktikan diri, bahkan banyak dari para aktivis 98 telah diberi kesempatan untuk membuktikannya. Hasilnya? Jujurlah dalam menilai, renungkanlah dengan segala kerendahan hati, hasil harus kita aku masih belum mampu mewujudkan negeri yang makmur. Mungkin sekaranglah saatnya kita menyemai era baru, kita ijinkan era baru bersemi dengan mengaktifkan pengecualian. Sehingga era baru datang dengan segenap doa dan restu kita semua, hingga tidak ada lagi laknat atau sumpah serapah yang menyertainya karena mendobrak, atau merobohkan era yang ada saat ini.
Mungkin sudah saatnya kita mengaktifkan pengecualian untuk memilih pemimpin negeri ini (presiden dan wakil presiden) disaat yang bersamaan kita mencoba sekali mencetaknya dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tersebut. Karena hitungan batas waktu telah terpenuhi, dan telaah akan hasil juga belum bisa mewujudkan visi bersama berbangsa dan bernegara. Mungkin kita butuh alternatif atau pengecualian diaktifkan, karena telah terpenuhi batas-batas waktu, isi, dan hasil dari undang-undang yang bisa kita telah. Mungkin sudah saatnya kita tunduk, tawaduk, berserah diri karena nyatanya kita telah mengerakan seluruh sumber daya, akal dan pikiran untuk memujudkan visi bersama berbangsa dan bernegara tapi belum sesuai harapan. Karena jangan-jangan makmur itu adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, dan kita semua telah lancang, sombong dan angkuh dalam berlaku, karena tidak menambahkan pengecualian dalam membuat undang-undang. Hal itu sama artinya kita mengambil alih kesempurnaan yang hanya milik Tuhan Yang Maha Esa. Karena kita secara tidak sadar berprilaku seperti sombong dan angkuh disebabkan telah mengumpulkan orang terbaik dinegeri ini dan jumawa atas hal tersebut. Marilah siapapun kamu di negeri Indonesia ini, bertobatlah dan berserah dirilah.
Lalu pemimpin kriteria pemimpin yang seperti apakah yang harus kita pilih untuk ditimbang-timbang dengan calon yang memenuhi syarat pada undang-undang No 7 Tahun 2017. Jika makmur itu adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, maka kriteria pemimpin itu syarat hanya satu, yaitu dia hamba Allah dan dia adalahborang yang paling dekat dengan Allah dibuktikan dengan baiknya pemahaman akan Tuhan Yang Maha Esa. Mungkin orang itu adalah wali Allah selevel nabi Musa. Karena kita tahu berita bagaimana Musa dianugerahi membelah lautan ketika sudah terkepung musuh, Nabi Musa juga dianugerahi membelah batu untuk mengeluarkan air minum darinya. Dan semua itu mustahil dicapai oleh akal kita atau akan seluruh warga negeri ini atau umat Nabi Musa. Ya, mungkin kita hanya perlu bertaubat dan berserah diri bersama, karena nyatanya kita telah mengerahkan segala daya, dam upaya, tapi negeri yang makmur itu masih belum juga terwujud. Lalu dimanakah dia saat ini wali Allah yang selevel nabi itu ada?
Sadar dan bertobat wahai penduduk negeriku, sudah seharusnya kita bersatu, bersama mewujudkan visi bersama berbangsa dan bernegara. Bukan malah bercerai berai saling ejek saling olok antar pendukung capres-cawapres. Bukan itu ajaran dari Tuhan Yang Maha Esa, bukan itu yang diajarkan oleh Nabi dan Rasul kita. Bertobatlah kepada Allah, bertobatlah kepada Allah, bertobatlah kepada Allah wahai penduduk negeriku.
Jakarta, 19 Oktober 2023
Raden Kuswanto
Orang yang datang dan menyaksikan langsung pendaftaran capres-cawapres hari ini di Kantor Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar