Hallo Para Sahabat semuanya, selamat datang di era
globalisasi dan di era keterbukaan. Era dimana semua informasi terbuka dan
semua konektifitas antar individu, kelompok, bangsa, negara dan batas geografi
dibuka dan bisa diakses oleh siapa saja. Akan tetapi apakah benar seperti itu?
Apakah kita sudah sampai pada era seperti itu (globalisasi)? Atau apakah kita
masih dalam proses menuju ke situ? Mungkinkah kita justru berjalan mundur dari
era itu? Lalu apakah era globalisasi dan keterbukaan itu hanya sebatas
slogan-slogan saja? Mungkinkah itu semua hanya doktrin-doktrin saja yang
didengungkan terus menerus sehingga terasa seperti kita sudah sampai pada era itu? Waduh! Sepertinya pertanyaan-pertanyaannya mulai kacau, sehat Mas Kus?
Gak sedang teler kan? Masih menginjak bumikah?
(“Waduh pertanyaan
gendeng iki, diarani edan aku. Yo wes gak popo”)
Jawabnya jelas, kita telah sampai di era ini, era
globalisasi dan era keterbukaan. Dengan semua akses infomarsi yang bisa kita
dapat darimana saja melewati batas teretorial. Dan tentu saja ini adalah era
baru yang berjalan maju.
Yakinkah kita akan jawaban seperti itu? Atau mungkinkah kita
layaknya seekor burung dalam sangkar, yang sudah menikmati keadaanya dalam
sangkar, sehingga melihat sangkar itu bukan lagi penjara baginya, bahkan ketika
ia dilepas liarkan dia akan kembali dalam sangkar. Karena menganggap di alam
liar ia akan mati. Sedangkan dalam sangkar ia bisa hidup nyaman tanpa terganggu
kerasnya alam liar dan tanpa khawatir akan datangnya predator.
“Mungkin kita seperti burung dalam sangkar yang sudah
menikmati kehidupan dalam sangkar, hingga enggan jika dilepas-liarkan. “Wes
kadung jinak”.”
Atau mungkinkah globalisasi itu seperti kubah penangkaran
burung-burung, sehingga tidak lagi dalam sangkar yang kecil-kecil. Atau mungkin
saja globalisasi selayaknya virtual
reality (VR) yang dipasangkan ke kita sehingga kita menganggap bahwa
seolah-olah kita telah hidup bebas?
Ah rasa-rasanya kok tidak mungkin semua ini seperti itu. Itu
hanya sebatas hayalan saja.
Jika dan hanya jika itu hanya hayalan saja, dan yang masih
bebas dan merdeka dalam diri kita hanya hayalan itu. Mungkin sebaiknya kita
biarkan hayalan itu mengembara melihat tubuh ini terpenjara. Atau kita
beranikan diri meninjau ulang semuanya tentang kenyamaman yang kita terima.
Bisa jadi kita menikmati semua kenyamanan semua ini layaknya ikan-ikan dalam
kolam yang menikmati pakan setiap waktunya, tanpa mau berfikir bahwa itu (pakan
tersebut) akan membawanya ke dalam minyak panas pada saat tiba waktunya.
Kita memang sudah dalam masa yang bebas dalam mengakses
informasi, tetapi sejak kita lahir, kita sudah dibatasi oleh aturan-aturan
adat-istiadat, hukum-hukum modern yang ada dalam wilayah tempat kita lahir. Sejak
kita lahir, kita sudah mewarisi agama, adat-istiadat, dan hukum-hukum modern
yang mengikat kita di tempat kita lahir. Dan tidak ada pilihan lain selain
menerimanya. Jika memang agama yang kita warisi adalah agama yang benar,
seharusnya tidak masalah kita sebagai pewaris agama ini menguji kebenarannya.
Jika itu memang benar, tidak perlu khawatir akan hasil uji para pewaris ini
(kita), tentu saja hasilnya akan sama yaitu benar. Dan juga tentang adat-istiadat dan juga hukum-hukum modern.
Mengapa kita dipaksa menerima agama, adat-istiadat dan hukum modern sebagai
doktrin bahwa yang benar itu, sedangkan opsi lain yang melawan itu atau hendak
menguji itu adalah tindakan yang salah.
Agama, adat-istiadat, dan hukum-hukum modern adalah
jeruji-jeruji yang mengurung kita dalam kubah globalisasi, modernisasi, dan era
keterbukaan. Saya mempertanyakan atau menguji kebenaran akan semua itu adalah
sebuah kenekatan, dengan pilihan dihukumi pemberontak, melakukan tindakan
salah, dan wajib dikenakan sanksi sosial dengan cara dikucilkan atau yang
lainnya. Seperti halnya seekor ikan yang mencoba melompat keluar kolam, dengan
pilihan berharap menemukan parit dan hidup bebas tanpa jaminan pakan, atau mati
karena ternyata di luar kolam adalah daratan, bisa juga masuk ke kolam lain
yang isinya ikan predator. Hiiiii seremmmmm! Pantas saja banyak yang takut
melakukannya, taruhannya sepertiga, satu, hidup tanpa jaminan kelayakan, dua
mati kelaparan atau mati dimakan predator. Pilihan yang tidak enak sama sekali.
Belum lagi tentang hukum-hukum baru yang kita sepakati, eh
mereka buat yang mengikat kita atau bahkan calon anak cucu kita. Bagi kamu
mungkin tidak terlihat kita sedang terbelenggu, tapi bagi saya melihat dengan
jelas jeruji-jeruji, batas-batas itu adalah nyata.
Yakinkah kamu bahwa kita sudah ada di era globalisasi, era
keterbukan, era kebebasan? Atau saya yang menyakini kita berada di masa
belenggu, terpenjara dan isolasi? Bagaimana jika kita uji saja? Apakah benar di
sana ada dinding batas yang tak kasat mata, atau kita melihat dengan jelas
dinding itu tapi tidak menganggapnya sebagai batas tapi justru sebagai
kenikmatan dan perlindungan? Cukup beranikan kamu mengujinya untuk membuktikan
kamu yang benar atau saya yang benar?
Ayo ikutlah aku meninjau dinding-dinding batas itu!
Sekarang ini kita sudah terbiasa tentang istilah ilmu dunia
dan ilmu akhirat.
Lho memangnya salah?
Ancene koyok ngono kan!
Baik, jangan buru-buru, kita kunyah pelan-pelan. “Digayemi ae, ben kroso”. Mari kita lihat
efek dari pemisahan ini. Pemisahan ilmu ini sudah seperti air dan minyak yang
disatukan dalam satu wadah. Kemudian ada dua jenis ikan yang bisa hidup dalam
air saja, atau dalam minyak saja. Ketika berani menyeberang maka kematian
datang. Itu hanya perumpamaan saja.
Semakin mendekat ke masa sekarang (saat ini), kita kemudian
membuat lembaga-lembaga, institusi-institusi, badan-badan, atau
organisasi-organisasi berdasarkan pemisahan tersebut, yaitu ilmu dunia dan ilmu
akhirat. Untuk belajar tentang tentang dunia ini, untuk tahu tentang dunia ini,
untuk menguasai sesuatu tentang dunia ini, kita diarahkan menuju lembaga
tertentu, badan tertentu, institusi tertentu dan seterusnya. Untuk mengetahui
tentang akhirat, menjadi ahli waris akhirat kita juga diarahkan ke lembaga
tertentu, badan tertentu atau institusi tertentu. Seolah-olah ketika kita berada
dalam institusi yang mengurus tentang dunia, tidak ada urusannya dengan
akhirat. Ketika kita berada dalam institusi yang mengurus urusan akhirat, kita
adalah ahli waris akhirat.
Ketika kita berada dalam lembaga tentang keduniaan, menjadi terlarang ketika untuk sekedar menyinggung tentang akhirat. Ketika kita
dalam lembaga tentang keakhiratan, adalah kita yang paling benar, dan
yang lain pasti salah dan tidak ada hubungannya dengan keduniaan.
Lembaga-lembaga ini, institusi-institusi ini, badan-badan ini,
organisasi-organisasi ini, atau bentuk-bentuk lain dari ini, memiliki
bangunan-bangunan yang berdinding, mempunyai pagar-pagar wilayah, melengkapi
diri mereka dengan penjaga. Bukankah itu
adalah batas yang jelas? Dinding-dinding, pagar-pagar, dan penjaga-penjaga itu
bisa kamu lihat dengan matamu.
Kembali lagi ke pemisahan dari ilmu dunia dan ilmu akhirat,
kemudian terbitlah buku-buku, kitab-kitab yang membahas tentang dunia, materi
penyusunnya, cara kerjanya, manipulasi materinya, penghuninya dan perlengkapan
lainnya. Hal yang sama terjadi pada buku-buku, kitab-kitab yang membahas
tentang akhirat (agama), ada banyak jenis dan ragamnya, dari caranya,
alirannya, dan seterusnya. Dalam buku-buku tentang dunia, kita tidak akan
pernah menemukan catatan yang mengkaitkan ini dengan akhirat. Tidak ada benang
merah yang menghubungkan buku keduniaan dengan akhirat. Begitu pula dengan
buku-buku tentang akhirat, dibuat dan didesain bahwa ini murni urusan akhirat berisi
doktrin yang tidak bisa atau tidak perlu dibuktikan di dunia ini. Padahal
buku-buku itu juga diperjual belikan untuk urusan dunia.
Seiring waktu berjalan, lembaga-lembaga ini,
institusi-institusi ini, badan-badan ini, organisasi-organisasi ini, dan bentuk-bentuk
lainnya baik untuk urusan keduniaan ataupun keakhiratan saling mengeluarkan sertifikat-sertifikat,
ijazah-ijazah, gelar-gelar. Ketika sebuah lembaga atau institusi atau bentuk
lainnya sudah bisa mengeluarkan ijazah ataupun sertifikat, maka sudah layak
baginya untuk menentukan mahar atau biaya untuk mendapatkan sertifikat atau
ijazah tersebut. Dan bagi orang-perorang yang sudah memegang sertifikat atau
ijazah dari lembaga atau institusi tertentu, maka sudah layak dia disebut
professional yang artinya sudah layak dia menerima upah atau menentukan upah
atau menentukan harga dari produk yang bisa ia buat.
Dari sini sudahkah
kamu melihat jeruji-jeruji batas dari sangkar yang mengurung kita di era
globalisasi?
Jika memang benar, lembaga-lembaga ini, institusi-institusi
ini, badan-badan ini, yand bisa mengeluarkan sertifikat atau ijazah, dan
orang-perorang yang memegang hak atas ijazah ini adalah benar, atau yang
mengusai ilmu, atau yang mengetahui ilmu tentang alat untuk menguji kebenaran.
Maka jangan pernah berharap keadilan itu bisa terasa di muka bumi ini. Karena
semua perangkat untuk menguji tentang kebenaran yang bisa menentukan suatu
masalah itu adil hanya didapatkan bagi mereka yang bisa membayar mahar atau membayar
upah sejumlah ketentuan mereka. Dan lebih parahnya lagi mereka membuat sistem
dan alat untuk membayar itu.
Karena itu jangan heran jika hari ini keadilan itu tidak
terasa atau terlihat. Karena keadilan itu hanya milik mereka yang mampu
membayar mahar akan kebenaran. Karena kebenaran hari ini yang menjadi benda
bukan lagi nilai. Hari ini kita melihat atau menyaksikan, orang yang mengetahui
tentang bagaimana penyebab sebuah penyakit kemudian bagaimana cara menghindari
sebelum penyakit itu datang atau cara mengambil tindakan setelah penyakit itu
datang telah mengambil upah atas pengetahuannya itu atau menentukan harga dari
produk dari pengetahuannya itu. Hari ini kita juga melihat atau menyaksikan,
orang yang mengetahui tentang bagaimana sebuah bangunan dibangun, bahan apa
yang digunakan, bagaimana cara membuat bahan bagunan itu, telah mengambil upah
atas pengetahuannya itu dan menjual produk dari pengetahuannya itu. Hari ini
kita juga melihat dan menyaksikan, orang yang banyak mengetahui tentang suatu
urusan (ilmu), telah mengambil upah dari pengetahuannya itu dan menjual produk
dari pengetahuannya itu. Karena ia (orang-orang yang berpengetahuan itu) juga
telah membeli pengetahuan itu dari badan-badan, lembaga-lembaga dan
instansi-instansi yang menjual pengetahuan itu. Harap maklum.
Pengetahuan tentang sebuah penyakit dan cara menghindari
atau tindakan yang diambil ketika penyakit itu menyerang adalah sebuah
kebenaran. Pengetahuan tentang bahan, alat, cara, dan gambar akan sebuah
bangunan dibangun adalah sebuah kebenaran. Pengetahuan atas berbagai urusan itu
adalah sebuah kebenaran. Maka hari ini kita melihat “Kebenaran adalah segala sesuatu yang bisa mendatangkan uang bagi mereka
yang mengetahui sedikit atau banyak atas sesuatu. Kebenaran hanya untuk mereka
yang mampu membayar untuk mendapatkannya.”. Karena sebab itu pula maka
keadilan hanya bagi mereka yang mampu membelinya.
“La ilaha illallah,
Tiada Tuhan Selain Allah.” Ini adalah kalimat tauhid dan ini adalah sebuah
kebenaran mutlak. Keluar dari mulut siapapun yang menyatakan kalimat tauhid
tersebut dia tetaplah benar. Presiden, menteri, lurah, tukang, buruh, preman,
perampok, psk dan siapaun yang menyatakan kalimat tauhid tersebut, maka pernyataan
tersebut tetaplah benar, dan dengan pernyataan tersebut telah menghilangkan /
meluluhkan / meniadakan arti dari subyek (orang) yang menyatakannya. Akan tetapi
hari ini, kita melihat kalimat tauhid tersebut hanya bernilai benar jika yang
menyatakannya adalah kelompok-kelompok tertentu, aliran-aliran tertentu. Kalimat
tauhid hanya benar jika dari lembaga-lembaga tertentu, organisasi-organisasi
tertentu, badan-badan tertentu, atau instansi-instansi tertentu.
Hari ini kita telah
melihat kebenaran telah dikurung dalam sangkar-sangkar dan diaku-aku
kepemilikannya. Hari ini kebenaran telah diklaim-klaim bahwa hanya dia adalah
pemiliknya. Kenapa bisa seperti itu? Itu muncul karena rasa memiliki. Hanya karena
tangan dan kaki bisa kita gerakkan sesuai keinginan kita, kemudian kita merasa
bahwa badan ini adalah milik kita. Tidak cukup dengan badan ini, kemudian kita
mengaku-aku sesuatu yang lain yang terpisah dari badan kita adalah milik kita. Pakaian
adalah pakaian kita, gawai adalah gawai kita, kendaraan adalah kendaraan kita,
rumah adalah rumah kita, negeri adalah negeri kita.
“Sial betul nasib Kebenaran
hari ini, sudah seperti burung saja, dimaksukkan ke dalam sangkar-sangkar. Diaku-aku
kepemilikannya, dipajang-pajang untuk diperjual-belikan.”
Benarkah kita adalah pemilik sesungguhnya dari badan kita? Bukankah
di tangan dan kaki kita ada kuku-kuku yang tumbuh tanpa menunggu perintah kita.
Bukankah di kepala kita ada rambut yang tumbuhnya tidak perlu kita tarik, dan
ketika rambut itu tanggal kita tidak bisa menahannya. Kita bisa menjadwalkan
makan dan minum kita, tapi kita tidak kuasa menjadwal kapan kita kencing dan
beol kita. Kita tidak pernah memerintahkan jantung kita kapan berdetak kapan
berhenti. Tidakkah kita berfikir bahwa itu adalah tanda bahwa yang sesuatu yang
mengusai badan kita ini, yang selalu bersama kita dimanapun kita berada, yang
mengetahui segala sesuatu tentang diri kita. Kenapa kita tidak mencari tahu
siapa sesungguhnya sesuatu itu yang mengusai badan kita ini? Mengapa kita
justru mengaku-aku badan ini adalah milik kita, akal ini akal kita, pengetahuan
ini adalah pengetahuan kita. Sehingga kita harus membuat kesepakatan
pelindungan Hak Kekayaan Intelektual, bahwa siapun yang menginginkan
pengetahuan kita harus membeli atau membayar ke kita. Sebegitu buruknya kita,
betapa kejinya kita hari ini.
Atas dasar HAKI, hari ini siapapun yang menikmati karya
suara, sastra, lukis, rasa, maka ia harus membayar. Sehingga hari ini kita rebut
akan bayar membayar. Atas dasar HAKI, hari ini siapapun yang ingin sembuh dari
penyakit, menghindari penyakit maka ia harus membayar. Jika tidak mampu
membayar, maka tunggulah kematian datang pelan-pelan. Atas dasar HAKI, hari ni
siapapun yang ingin mengetahui tentang sesuatu maka ia harus membayar atau
harus membeli produk dari pengetahuan itu.
Mengapa kita menjadi dholim hari ini. Kita mengaku-aku
kepemilikan badan kita, sampai mengaku-aku kebenaran adalah milik kita. Hari ini
benar hanya akan bernilai benar jika itu bisa mendatangkan uang untuk kita. Mengapa kita tidak
merespon tanda yang dikirim oleh penguasa sesungguhnya akan badan kita? Kenapa kita
tidak mau mencari tahu siapa penguasa itu? Padahal tanda-tanda itu begitu
nyata, penguasa itu ada dimanapun kita berada. Penguasa itu ada walaupun tidak
ada satupun dari indra kita yang mendeteksi keberadaanya (ghaib), tapi tanda
yang dikirimkannya bukankah sudah sangat jelas?
Apakah hanya karena pengetahuan yang kita kuasai ini masuk
dalam kategori ilmu dunia, maka kita sah-sah saja melakukan jual beli atas
pengetahuan itu? Apakah karena sang penguasa sejati itu tidak mampu kita indra
(kita tanggkap dengan indra) kemudian kita mengikari keberadaannya? Bukankan
tanda yang dikirim di tangan dan kaki kita sudah sangat jelas? Berhentilah sejenak
dalam memburu dunia, dan cobalah cari tahu siapa penguasa itu.
Hari ini kita juga melihat pengaku-akuan akan kalimat
tauhid. Kalimat tauhid hanya benar jika melalui aliran-aliran tertentu,
kelompok-kelompok tertentu, otoritas-otoritas tertentu. Hari ini pengetahuan
tentang agama juga sudah harus dibeli dari lembaga-lembaga,
institusi-institusi, badan-badan, dengan begitu pengetahuan yang didapat
menjadi sah dan legal, bergelar dan berhak mendapat upah darinya. Akibatnya juga
muncul klaim-klaim kepemilikan akan kebenaran. Hari ini kita mengklaim bahwa
kitalah pemilik kalimat tauhid tersebut. Padahal kita tahu pernyataan tegas “MilikNyalah
apa yang ada di langit dan di bumi.”.
Mengapa hari ini kita berani-beraninya mengklaim kebenaran adalah milik kita? Mengapa
hari ini kita berani-beraninya mengambil upah dari manusia lain atas
pengetahuan tentang penguasa langit dan bumi? Apakah pengetahuan kita ini hanya
sekedar hafalan tanpa keyakinan? Apakah kita tidak meyakini tentang
kepenguasaanNya? Apakah kita tidak memperhatikan tanda yang ada pada tangan dan
kaki kita juga badan kita? Padahal jika kita sampaikan pengetahuan ini (tentang
penguasa langit dan bumi) kepada manusia, masih mungkin itu diingkari.
Sekarang sudah jelaslah dan terbukti bahwa Muhammad
bin Abdullah bin Abdul Munthalib adalah benar-benar seorang nabi dan
seorang rasul (utusan). Shalawat serta salam selalu terlimpahkan untuk Beliau
dan keluarganya. Rasulullah menerangkan bahwa penguasa sesungguhnya yang
memberi tanda pada tangan dan kaki kita serta tubuh kita adalah Tuhan yang
memiliki langit dan bumi yaitu Allah
subhanahu wa ta’ala, Allah Yang Maha Suci Lagi Maha Maha Tinggi. Bahwa Tuhan
yang sebenarnya itu tidak ada sesuatu apapun yang serupa denganNya, maka
penggambaran akan tuhan yang berwujud manusia, hewan, mitologi bahkan api
adalah salah. Karena dengan mengambarkan tuhan berwujud manusia, hewan dan lain
sebagainya itu berarti sebuah keingkaran atau penolakan bahwa tuhan yang menumbuhkan
kuku, yang ada dimana saja kita berada pada kenyataanya tidak mampu kita
tangkap dengan indra. Bahwa kemampuan indra kita terbatas, jika kita pergi
menuju cakrawala, kemudian setelah sampai di sana kemudian kita balik badan
memandang ke tempat asal kita, maka asal kita tadi menjadi cakrawala. Sangat keji
jika kita menyatakan bahwa asal kita tadi tidak ada sesuatu apapun, padahal
kita baru saja dari sana. Sebuah kedholiman dalam membuat simpulan karena batas
indra penglihatan. Maka Allah subhanahu
wa ta’ala itu ghaib (diluar
batas indra kita) adalah mutlak benar.
Kenyataan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
tidak menarik upah atas semua pengetahuan dan pengajarannya, tidak pula
menentukan kriteria siapa yang boleh menerima pengetahuan dan pengajarannya
adalah bukti lain bahwa apa yang Beliau bawa adalah sebuah kebenaran. Beliau
mempersilahkan siapa saja yang mendengar / mendapat pengetahuan dari Beliau
untuk mengujinya dan tidak pernah ragu akan hasil uji tersebut. Karena yang Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam ajarkan adalah sebuah kebenaran, maka hasil uji
dari kebenaran tersebut tetaplah benar walaupun sang penguji itu mengikari
hasilnya. Dengan tanpa meminta upah dan tanpa seleksi kriteria yang berhak
menerima pengajaran dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah bukti
juga bahwa Beliau sangat mengenal siapa pemilik langit dan bumi, penguasa
sesungguhnya umat manusia.
Sudah sampai sini, silahkan kamu memikirkan jeruji-jeruji
yang membatasi kita. Terserah kamu menganggapnya itu adalah batas atau bukan,
kamu mau melompat bebas atau menetap di situ menerima pakan layaknya ikan dalam
kolam.
Tibalah saatnya aku menyatakan dengan penuh keyakinan
“Ashadualla
ilahailallah wa ashadu anna Muhammad rasulullah, Aku bersaksi tiada tuhan selain
Allah dan Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.”
“Ya Allah, aku mengakui Engkau adalah Tuhanku, tidak ada
Tuhan selain Engkau dan aku hanyalah mahlukMu. Aku adalah pengabdiMu, dan aku
setia pada janjiku kepadMu semampuku. Aku berlindung kepadaMu dari keburukanku,
karena Engkaulah sebenar-benarnya penguasaku. Aku akui semua nikmatmu kepadaku
dan aku akui semua kelupaanku dan kesalahanku, dosa-dosaku. Maka ampunilah aku,
karena tidak ada yang bisa mengampuni dosa-dosaku kecuali Engkau. Sampaikanlah shalawat
serta salam ke Nabi Muhammad beserta keluarganya.”
Aku yang diberi nama Raden Kuswanto.